Mohon tunggu...
Fatmah Afrianty Gobel
Fatmah Afrianty Gobel Mohon Tunggu... profesional -

Seorang pendidik, peneliti, pengajar dan sekaligus ibu dari tiga anak. Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Staf Pengajar FKM Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. Diluar kampus, tercatat sebagai Pengurus Nahdatul Ulama, Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Sul-Sel dan pendiri Center for Policy Analysis (CEPSIS) Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Masalah Sistem Pendidikan dan Penyediaan SDM Bidang Kesehatan

27 Maret 2011   09:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:23 5443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13012301561222608913

[caption id="attachment_97180" align="alignright" width="1024" caption="Mahasiswa Ilmu Keperawatan FKM UMI Makassar salah satu calon tenaga kesehatan Indonesia"][/caption] Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam pembangunan negara dan bangsa. SDM yang diharapkan adalah SDM mampu bersaing dalam percaturan global dalam kualitas dan ketrampilan standar dunia kerja. Demikian pula SDM bidang kesehatan, diharapkan dapat berperan besar dalam pembangunan kesehatan dan mengangkat harkat dan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Masalah SDM berkontribusi pada proses pembangunan ekonomi nasional. Namun kontribusi SDM Indonesia tidak menunjukkan signifikansi selama ini. Pertumbuhan ekonomi bukan didapatkan dari produktivitas SDM yang tinggi dan kemampuan manajerial SDM Indonesia tetapi berasal dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) berupa hasil tambang dan hasil hutan ditambah arus modal asing, tenaga kerja asing (ekspatriat) dan investasi langsung. Bukti nyata rendahnya SDM Indonesia adalah keterpurukan ekonomi nasional akibat ketidakmampuan menghadapi persaingan ekonomi global. Dalam kancah persaingan global, menurut World Competitiveness Report posisi Indonesia menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti. Sementara posisi negara-negara tetangga berada pada posisi ke-8 Singapura, posisi ke-34 Malaysia, posisi ke-38 Filipina, dan posisi ke-40 Thailand. Globalisasi ekonomi dan persaingan global merupakan hal yang tidak bisa dihindari bagi Indonesia di Abad XXI ketika seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi ekonomi meniscayakan persaingan antarnegara dalam hubungan intraregional dan internasional dengan syarat adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Beberapa faktor yang berpengaruhi dalam globalisasi ekonomi adalah upah buruh yang rendah, biaya produksi yang lebih rendah, infrastruktur yang memadai, tarif bea masuk yang murah, dan iklim usaha dan politik yang kondusif. Sistem pembiayaan perusahaan global menggunakan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara, baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung. Khusus tenaga kerja (SDM) pada perusahaan global akan memanfaatkan pasar tenaga kerja dari seluruh dunia. Dari sinilah bersaing SDM dari negara maju dengan negara berkembang dalam pasar tenaga kerja dunia. Selama ini staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional, sementara tenaga buruh berasal dari negara berkembang. Globalisasi ekonomi meniscayakan ketergantungan dan kerjasama ekonomi antarnegara melalui kegiatan transaksi antarnegara (cross-border transactions). Kegiatan transaksi antarnegara dimungkinkan oleh adanya aliran dana internasional (international capital flows), aliran barang dan jasa, dan pergerakan tenaga kerja/SDM (human movement). Negara yang dominan dalam globalisasi ekonomi adalah yang memiliki competitive advantages, baik produksi sumberdaya alam maupun skill tenaga kerjanya (SDM). Dalam kerangka globalisasi ekonomi, dimensi daya saing dalam SDM perlu disiapkan melalui pendidikan tinggi agar dapat mendongkrak peningkatan SDM Indonesia yang masih terbilang rendah. Pembangunan SDM perlu sejalan dengan sistem pendidikan dan pembangunan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi suatu negara didukung oleh unsur SDM suatu bangsa. Dengan demikian, pembangunan pendidikan sebagai subordinat dari pembangunan SDM harus dikedepankan menghadapi persaingan SDM dalam era globalisasi. Masalah utama manajemen sumberdaya manusia Indonesia adalah missalocation of human resources. Pada era Orde Baru yang bercorak ekonomi konglomerasi, menyebabkan dunia kerja yang bercorak konglomeratif, mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan perbankan. Ciri konglomerasi adalah penguasaan korporasi pada segelintir orang yang menguasai sumber daya ekonomi yang sangat besar dan luas sehingga menyebabkan struktur pasar tenaga kerja terdistorsi dan terperangkap dalam kemelut ekonomi politik. Akibat dari dunia kerja yang bercorak konglomeratif, dunia pendidikan pun ikut terseret didalam pusaran corak ekonomi konglomerasi. Lulusan terbaik dari perguruan tinggi memasuki sektor-sektor ekonomi yang berpola konglomerasi yang notabene mempertajam kesenjangan ekonomi, antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil. SDM pun ikut terbangun mengikuti struktur pasar konglomerasi yang bergantung pada kondisi ekonomi politik, namun dominan belum sanggup menciptakan pasar sendiri. Inilah bentuk keterkaitan pendidikan tinggi yang memproduksi SDM dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan rezim Orde Baru yang masih bertahan hingga era reformasi. Malik Fajar ketika menjadi Mendiknas mengakui bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia karena pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Pendapat Malik Fajar menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001). Beberapa masalah dalam wacana SDM Indonesia adalah struktur pendidikan angkatan kerja dan kesempatan kerja. Didin S. Damanhuri mencatat, rata-rata SDM Indonesia masih rendah dengan rata-rata pendidikan angkatan kerja sekitar 63,2 persen berpendidikan sekolah dasar. Sementara kesempatan kerja tidak bertambah sehingga menyebabkan terjadinya pengangguran terbuka (open unemployment). Sejak krisis ekonomi tahun 1998 kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang sementara pencari kerja mencapai 92,73 juta orang. Sejak krisis ekonomi hingga kini, kesempatan kerja tidak sebanding dengan peningkatan angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang. Hingga tahun 2000, ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi sementara tidak semua terserap kedalam lapangan kerja yang tersedia yang memicu meningkatnya angka pengangguran sarjana. Fenomena sarjana pengangguran terkait dengan iklim pendidikan pada perguruan tinggi yang kurang menciptakan semangat wirausaha mahasiswa. Adalah tanggung jawab setiap perguruan tinggi untuk memantau mutu luarannya dalam memperebutkan kesempatan kerja. Kritik besar bagi perguruan tinggi yang berkontribusi menciptakan sarjana pengangguran. Demikian pula terhadap kebijakan pendidikan ketika awal era reformasi alokasi APBN sektor pendidikan hanya sekitar 12 persen dari total APBN. Baru setahun terakhir APBN sector pendidikan mengalami peningkatan hingga 20 persen sebagai hasil dari tuntutan peningkatan SDM bidang pendidikan. Sarjana pengangguran adalah beban pembangunan bangsa. Beberapa pendapat menyebut ada tiga penyebab sarjana pengangguran yakni masalah kultural, kurikulum sekolah dan pasar kerja. Masalah kultural terkait dengan etos kerja, sedangkan kurikulum sekolah terkait dengan mata pelajaran yang kurang mengembangkan kemampuan mengembangkan kemadirian SDM sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Akibat etos kerja dan kurikulum yang kurang mendukung menyebabkan pasar kerja tidak dapat diserap karena rendahnya kualitas SDM Indonesia. Rendahnya daya serap pasar tenaga kerja yang memunculkan pengangguran sarjana terkait pula dengan rendahnya mutu dari SDM pengelola pendidikan. SDM pengelola pendidikan berperan besar karena secara langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Hal ini berkorelasi pada tingkat adaptasi dam sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional Rendahnya kualitas SDM Indonesia terkait dengan faktor pendidikan yang tidak sepenuhnya mendukung kearah penciptaan lapangan kerja dan kemandirian manusia Indonesia. Memang tidak semua jenis pendidikan diarahkan untuk penciptaan lapangan kerja karena jenis-jenis pendidikan dibedakan atas sifat dan kekhususan tujuan serta programnya. Namun esensi dari pendidikan adalah adanya usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar bertanggungjawab pada masa depannya secara individu dan berperan aktif pada lingkungannya. SDM Indonesia terkait dengan sistem pendidikan Indonesia yang diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Karena itu pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia. Secara normatif sebagaimana termaktub dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 menyebutkan, bahwa "Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air." Sementara sistem pendidikan nasional terkait dengan dinamika sosial dan politik. Sebagai suatu kebijakan, sistem pendidikan nasional diatur dalam UUD 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 dan beberapa peraturan perundang-undangan dibawahnya yakni UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003 dan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sedangkan peraturan perundangan dibawah UU adalah Peraturan Pemerintah (PP) No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan serta beberapa rancangan PP yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah). Sistem pendidikan nasional adalah suatu sistem yang kompleks di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat dan rangkaian input-proses-output yang saling mempengaruhi secara internal. Secara eksternal, sistem pendidikan nasional dipengaruhi oleh aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan serta berbagai stakeholder yang terkait dengan pendidikan. Kualitas pendidikan suatu bangsa dengan sistem pendidikan nasional dan subsistem didalamnya yang saling mempengaruhi terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Pengaruh sistem politik terhadap sistem pendidikan nasional terlihat pada pembentukan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang berlangsung sejak 2004. Partai politik yang berkuasa yang cenderung berpihak idiologi kapitalisme dan juga dipengaruhi negara-negara donor asing beridiologi kapitalisme liberal mendesain kebijakan pendidikan dalam bentuk privatisasi sektor pendidikan. Kongkretnya, semua satuan pendidikan (sekolah) yang menjadi badan hukum pendidikan (BHP) wajib mencari sumber dananya sendiri, sementara negara lepas dari tanggungjawab menyediakan dana pendidikan. Pengaruh sistem ekonomi terhadap sistem pendidikan nasional tercermin pada bentuk penyelenggaraan pendidikan yang harus disertai pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara sebagai pengejawantahan dari sistem ekonomi kapitalis. Bentuk nyata system kapitalis dapat dilihat dalam pasal 53 dan Pasal 54 UU Sisdiknas No.20/2003 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pada pasal 53 berbunyi, bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sementara dalam Pasal 54 tertulis, (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Pengalihan tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan nasional dari negara kepada masyarakat, membebaskan pihak sekolah mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan, komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar, menunjukkan pengaruh sistem ekonomi kapitalis terhadap sistem pendidikan nasional. Implikasinya, pihak sekolah memiliki otoritas untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan, sementara rakyat akan dibatasi aksesnya untuk mendapatkan pendidikan berkualitas karena pembebanan biaya pendidikan. Pengaruh sistem sosial terhadap sistem pendidikan nasional tercermin pada kehidupan sosial berlandaskan sekularisme Barat melahirkan budaya materialistik (money oriented), budaya permisif (serba boleh), budaya hedonisme (hura-hura) dan beragam budaya Barat didalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai agama tidak menjadi pegangan utama masyarakat sehingga tercerabut dari budaya sendiri seraya mengadopsi budaya Barat yang mengagungkan kebebasan. Pengajaran agama di sekolah tidak sepenuhnya mampu membangun sistem sosial khas Indonesia karena nilai-nilai agama hanya diajarkan tapi tidak sepenuhnya diamalkan. Ketidakmampuan sistem pendidikan nasional mempengaruhi bangunan sistem sosial Indonesia karena standard pendidikan berorientasi pada pengetahuan (aspek kognitif), bukan berdasarkan pengamalan nilai-nilai agama. Indikator keberhasilan peserta didik hanya diukur pada hasil Ujian Nasional yang terbatas pada beberapa mata pelajaran tertentu seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, sementara mata pelajaran yang membutuhkan pengamalan dan mengajarkan nilai-nilai moral tidak mendapat tempat dalam evaluasi belajar dan standard kompetensi serta mutu pendidikan. Sistem pendidikan nasional mengabaikan aspek pembentukan kepribadian (shaksiyah) peserta didik sebagaimana tujuan pendidikan "membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa...". Dampaknya, banyak peserta didik dan anak-anak usia sekolah yang terjerat dalam seks bebas, terlibat penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang, perilaku kekerasan msssal antar pelajar (tawuran), dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang bersifat kasuistis seperti pencurian, pemerkosaan, pembunuhan. Ragam tindak kriminalitas anak usia sekolah adalah resultante dari sistem pendidikan nasional yang tidak sepadan antara tujuan pendidikan dengan penyelenggaraan proses pendidikan. Upaya membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional (Pasal 2 UU No.20/2003) tidak sesuai dengan realitas. SDM Bidang Kesehatan Data Departemen Kesehatan (Depkes) 2006, jumlah tenaga medis (dokter spesialis, umum dan gigi) tercatat 68.227 orang, bidan 79.152 orang dan perawat 316.306 orang. Target hingga tahun 2010 jumlah kebutuhan SDM tenaga dokter adalah 117.969 orang, bidan 176.954 orang, tenaga keperawatan 587.487 orang, tenaga kesehatan masyarakat 42.649 orang, dan tenaga gizi 42.469 orang. Tenaga kerja perawat adalah salah satu SDM Indonesia yang mulai mampu bersaing di pasar tenaga kerja global. Media di Jepang pada hari Jumat 25 Maret 2011 sebagaimana dilaporkan Tori Minamiyana, pewarta warga Kompasiana memberitakan bahwa Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mengumumkan kelulusan 15 orang perawat asal Indonesia yang telah sukses menempuh Ujian Nasional Keperawatan Jepang yang diselenggarakan pada pada tanggal 20 Februari 2011 yang lalu dan diikuti oleh 250 perawat Indonesia yang bekerja di Jepang dalam kerangka perjanjian ekonomi Indonesia - Jepang (IJEPA), baik dari Gelombang I dan II. Pada ujian keperawatan tahun 2010 lalu, hanya 2 perawat asal Indonesia yang lulus ujian. Mereka adalah peserta program kerjasama Indonesia - Jepang, dalam rangka Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA). Program ini didasari kepentingan kedua Negara, yaitu dari pihak Jepang memang kekurangan tenaga perawat dan pengasuh lanjut usia karena menurunnya populasi dan semakin banyaknya para lansia, sedangkan dari pihak Indonesia karena tersedianya banyak tenaga kerja yang bisa memenuhi kebutuhan itu dan perlunya memberi pengalaman para perawat Indonesia meningkatkan kemampuannya di negara matahari terbit tersebut. Namun dalam pasar tenaga kerja di dalam negeri, SDM bidang kesehatan masih belum mencukupi dalam upaya pelayanan kesehatan pada seluruh pelosok negeri. SDM bidang kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat relatif sudah menyebar, namun SDM tenaga kesehatan seperti epidemiolog, nutrisionist dan tenaga profesi kesehatan masyarakat lainnya belum terdistribusi secara memadai. Bila tenaga kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat berfungsi dalam pelayanan kesehatan bersifat kuratif, maka SDM tenaga profesi kesehatan masyarakat bersifat promotif-preventif. Guna meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan, pemerintah dituntut untuk menyediakan tenaga kesehatan, terutama di daerah terpencil, tertinggal dan wilayah perbatasan (dacilgaltas). Sebagai bagian hak azasi manusia, pemenuhan layanan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945. Berdasarkan data Depkes 2006, dari 364 puskesmas di daerah dacilgaltas yang tersebar di 64 kabupaten pada 17 provinsi, ada 184 buah puskemas (51 persen) belum memiliki tenaga kesehatan (dokter). Didaerah terpencil, layanan kesehatan kerap dirangkap oleh perawat dan bidan desa untuk tugas medis yang seyogyanya dilakukan oleh seorang dokter, seperti pemberian obat-obatan kepada pasien.

Daftar pustaka

Didin S. Damanhuri,SDM Indonesia dalam Persaingan Global”,dalam www.sinarharapan.co.id,diakses 21 Maret 2011

Tori Minamiyana, “15 Perawat Indonesia Lulus Ujian Nasional Keperawatan Jepang, dalam www.kompasiana.com, diakses 26 Maret 2011

Siti Rokhani, “Problematika Pendidikan di Indonesia”, dalam www.infodiknas.com, diakses 21 Maret 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun