Minggu ini masih terdengar juga orang Nyadran. Di Salatiga pun baru beberapa hari lalu. Ternyata tradisi Nyadran masih banyak yang _nguri-uri_ yang artinya tetap dilestarikan.
Saya pun mengikuti dua tempat sedangkan yang satu hanya suami yang berangkat karena agak jauh. Akhirnya jadi tahu tiga tempat penyelenggaraan tradisi nyadran yang berbeda.
Yang pertama saya beserta suami dan adik nyadran di daerah Sumber, dekat  rumah. Tempatnya di sebuah bangunan terbuka yang berada di dekat makam. Acara dilaksanakan pada hari Kamis Wage jelang Ramadan. Untuk kesekian kalinya saya selalu ikut serta. Sebelumnya kami, saya dan adik sudah bersih kubur orang tua beberapa waktu lalu. Jadi kami hanya tinggal mengikuti tradisi nyadran.
Kira-kira pukul 15.30 acara dimulai. Bangunan beratap genteng itu lumayan luas. Di ujung ada tempat yang lebih tinggi seperti panggung. Di situlah para perangkat desa duduk untuk mengikuti acara. Â Sedangkan yang lainnya duduk saling berhadapan. Tak diduga yang mengikuti acara nyadran begitu banyak. Sampai-sampai di teras diberi tikar karena di dalam tidak cukup.
Semua warga membawa aneka makanan yang diletakkan di bakul atau rantang. Ada juga yang dibungkus daun dan ada pula dalam dus kotak. Yang membawa minuman botol berupa jahe, beras kencur pun ada. Aneka roti dan buah juga banyak yang membawa. Mereka ikhlas membawa jajanan untuk dibagikan ke orang lain.
Acara dimulai dengan pembacaan para ahli kubur yang disampaikan oleh panitia untuk didoakan bersama. Biasanya yang ikutan nyadran atau yang tidak bisa datang mengirim infak dan titip nama saudara-saudaranya yang sudah meninggal.
Selanjutnya berdoa bersama dengan dzikir tahlil dipimpin oleh tokoh agama. Kami khusuk mengikutinya lalu dilanjutkan makan bersama. Makanan yang dibawa dibuka untuk dimakan dinikmati. Biasanya ada yang membawa daun sebagai pengganti piring.Yang membawa dus berisi makanan langsung dibagikan ke orang lain yang dekat. Intinya saling tukar. Makanan yang kami  bawa pun saya bagikan  ke orang yang berada di dekat kami. Tampak seru  makan bersama dengan rasa ikhlas berbagi. Alhamdulillah acara berjalan lancar.
Selanjutnya saya ingin juga menceritakan nyadran di kampung. Takmir masjid At-Taqwa Kaliputih menyelesaikan nyadran juga. Hanya selang beberapa hari dengan yang diselenggarakan tingkat desa. Nyadran di kampung Kaliputih dilaksanakan hari Sabtu malam  Minggu. Nah hampir sama dengan yang kemarin. Warga berkumpul di halaman masjid. Hampir semua membawa makanan. Nah ini perbedaan, kalau di depan masjid, warga duduk berhadap-hadapan. Ada tikar  yang sudah digelar. Selanjutnya nasi ditata paling bawah memanjang. Bawahnya sudah diberi alas daun pisang. Setelah nasi, atasnya diberi daun lagi. Atas sendiri diberi semua lauk yang dibawa. Dicampur dengan kepunyaan orang lain. Jadi nasi dan lauk yang biasanya berupa bakmi, sambal goreng, tempe, bergedel, telur goreng dan kerupuk tercampur di atas nasi. Seperti makan besar deh.
Makanan melimpah ruah.
Doa dzikir tahlil pun dilantunkan oleh takmir masjid. Oh ya yang ikutan acara tersebut bukan orang muslim saja tetapi warga non-muslim ikutan nyadran. Orang tersebut ingin mengirim doa bagi leluhurnya.
Nah, beda lagi di Boyolali. Berdasarkan  cerita suami, acara  diselenggarakan di dekat makam. Bedanya setiap orang yang ikutan acara nyadran wajib membawa nasi dan lauknya lima dus. Dus berisi nasi tersebut dikumpulkan lalu dibagikan kepada warga yang hadir. Biasanya yang hadir dari berbagai daerah.