Mohon tunggu...
Risfayanti Muin
Risfayanti Muin Mohon Tunggu... -

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Renungan Jelang Pencoplosan Pilpres

5 Juli 2014   15:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:23 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suatu hari dalam catatan negeri ini, di tahun 1998 sebuah Reformasi dilancarkan anak bangsa melawan pemimpin yang dianggap diktator, otoriter, pemimpin yang tidak adil, sarat dengan Korupsi, kolusi dan Nepotisme, kue pembangunan hanya di nikmati oleh keluarga Cendana dan kroninya, pers bertahun-tahun dibungkam dengan ancaman breidel, kebebasan mengemukakan pendapat dibelenggu oleh ancaman subversif, ruang gerak para politikus pun dibatasi pada kepartaian yang digenggam sepenuhnya oleh penguasa. Hingga pada klimaksnya mahasiswa, para tokoh reformasi dan semua elemen bangsa bergerak menyuarakan perubahan, menjatuhkan diktator. Ada darah anak bangsa tertumpah, ada airmata dan doa para ibu di dalamnya, ada kerusuhan rasial yang menyebabkan sejumlah anak bangsa berlainan bentuk mata melarikan diri keluar negeri. Hingga pada puncaknya akhirnya para reformis berhasil membebaskan negeri ini dari rezim yang menakutkan.

Kini belasan tahun berlalu, dalam ajang pemilihan presiden yang klimaksnya sebentar lagi akan berlangsung, saya tercenung pada adanya kandidat yang kukuh untuk mengembalikan era Orde Baru yang dianggap era gemilang, gemah ripah loh jinawi, di mana Indonesia konon menjadi macan Asia, dan pada ide ingin menganugerahkan gelar pahlawan Nasional pada bapak Suharto. Dan lebih heran lagi melihat sejumlah Reformis berada di barisan pencetus ide ini.

Adalah sebuah kontradiksi dimana para reformis yang mati-matian meneriakkan kejatuhan atas diktatorian Suharto di era 1988, sekarang berbalik mendukung ide atas keberhasilan era Orde Baru, sebuah logika yang sangat sulit untuk diterima. Lupakah para tokoh dan aktifis reformasi ini, bahwa era saat ini adalah hasil perjuangan dan keinginan mereka? Lupakah para reformis ini bahwa Reformasi yang didengung-dengungkan itu bukan tanpa bayaran, Ada kekerasan rasial, ada darah mahasiswa yang tertumpah, Ada orang tua yang sampai saat ini selalu menanyakan nasib anaknya, yang pada era Soeharto gigih berjuang demi kedaulatan rakyat Indonesia.. Ataukah mereka hanya berfikir tentang bagi-bagi kue kekuasaan yang akan menebalkan pundi-pundi keuangannya dan melanggengkan kenyamanannya?

Satu hal lagi, jika benar bahwa era Orde Baru adalah masa keemasan bangsa ini, masa kesejahteraan rakyat, masa dimana kita dihargai oleh bangsa lain, maka tindakan melakukan dan mendorong terjadinya reformasi adalah sebuah kesalahan besar yang dilakukan oleh para tokoh dan aktifis reformasi itu. Jika kemudian bahwa Suharto dinobatkan sebagai pahlawan Nasional, maka para tokoh dan aktifis reformasi harus mengakui kesalahan telah melakukan tindakan mendorong terjadinya Reformasi.

Ajang pilpres adalah sebuah ajang kontestasi dimana kita harus sejenak duduk dan merenungkan ide-ide yang digelontorkan oleh kandidat sebelum menjatuhkan pilihan, dan saya jelas berada di belakang barisan yang tidak ingin era orde baru di hidupkan kembali, keterbelengguan pers, ketercekaman untuk mengemukakan pendapat, ketertimpangan pembangunan, sentralistik kekuasaan, dan kenyamanan yang hanya (sekali lagi) kembali ke tangan cendana.

Ajang pilpres adalah ajang pesta demokrasi, dimana kitalah pemilik pesta ini, dimana kitalah penyelenggaranya, dan pada akhirnya kitalah yang akan menentukan pilihan kita. Kitalah pemilik sah negeri ini, pemilik kedaulatan, maka dibutuhkan nurani dan kecerdasan untuk menjatuhkan pilihan. Maka janganlah kita menjatuhkan bangsa kita kepada rezim diktatorian lagi, mengorbankan anak kita untuk tidak menikmati kue pembangunan, dan tidak menikmati betapa indah dan kayanya negeri ini.

Seorang Pemimpin harus dari rakyat, memahami keinginan dan kebutuhan kita sebagai rakyat, dan bersedia turun berbaur dengan rakyat, bukan sekedar pamer kekuasaan, berbagi-bagi kue kekuasaan pada partai pendukung, atau mengumpulkan tokoh barisan sakit hati di teamnya tapi seyogyanya mencarikan solusi cerdas yang manfaatnya jelas terasakan oleh rakyat.

Pemimpin negeri kita adalah hasil pilihan kita, maka mari memilih pemimpin yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk memikirkan, memahami dan berbuat untuk rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun