Keputusan 3 Majelis Hakim Agung PK 8 orang terpidana kasus Vina (nomor 198/PK/PID/2024, 198/PK/PID/2024 dan 1688/PK/PID.SUS/2024) telah menelan korban jiwa. Sabtu (04/01/2025) kemarin Karsana, ayah Hadi Saputra salah satu terpidana kasus Vina puput usia. Tepat sebulan sebelumnya (Kamis, 5/12/2024) Sairoh, ibu dari Sudirman terpidana lainnya juga telah dipanggil Tuhan. Yang membuat publik menangis adalah Sudirman dan Hadi Saputra menghantar jenazah ibu dan ayah mereka dalam keadaan diborgol dan dikawal polisi dengan senjata serbu laras panjang. Diduga kuat meninggalnya kedua warga negara Indonesia itu berkaitan erat dengan proses peradilan terhadap kedua putra tercinta mereka. Berdasarkan jalannya persidangan PK, mereka berdua dan mayoritas publik meyakini bahwa kedelapan narapidana sama sekali tidak terlibat dalam kematian Vina dan Eki.
Penolakan yang diumumkan pada Hari Senin  16 Desember 2024 tersebut telah berhasil menderaikan air mata tidak saja 8 terpidana, keluarga terpidana dan para pengacara terpidana tetapi juga hampir seluruh rakyat Indonesia yang mengikuti kasus ini dengan penuh perhatian. Terang sekali keputusan penolakan itu hanya mengacu pada narasi yang diuraikan oleh Rudiana, Aep dan Pasren pada pelbagai platform media yang tentu saja tidak punya nilai hukum sama sekali dan pada saat yang sama para wakil Tuhan itu membuang puluhan alat bukti yang sah dan meyakinkan  berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa/terpidana yang terungkap dalam persidangan permohonan Peninjauan Kembali. Publik memahami betul bahwa kesemua alat bukti tersebut bersesuaian antara satu  dengan lainnya dan common sense bisa menyimpulkan bahwa 8 terpidana itu tidak terkait sama sekali dengan kejadian kematian korban Vina dan Eki.
Mengacu pada uraian tersebut diatas penulis berpendapat bahwa paling tidak ada 3 konsep hukum elementer yang telah diabaikan oleh para hakim agung yang tentu saja sudah sangat senior dan sudah menangani kasus ribuan kali atau paling tidak ratusan kali.
Tersebutlah seorang penulis dan ahli fisika keturunan Irlandia, Sir Arthur Ignatius Conan Doyle, yang lahir di Edinburgh, Skotlandia pada hari Minggu tanggal 22 Mei 1859 dan meninggal pada hari Senin, 7 Juli 1930. Dari tangan dingin Conan Doyle lahirlah detektif kriminal  jenius bernama Sherlock Holmes dan partner in crime-nya ahli kimia Dr.John H. Watson yang malang melintang dalam pengungkapan ratusan kasus super rumit pada tahun 1890-an. Holmes dan Watson muncul dalam 4 novel dan 56 cerita pendek. Dalam beberapa serie cerita, Watson menanyakan apa jimat Sherlock Holmes sehingga dia selalu berhasil mengungkap kasus-kasus kejahatan yang sangat rumit dengan data dan barang bukti yang sangat terbatas. Holmes menjawab, temanku, tidak ada kasus yang rumit jika kita mampu mengoptimalkan akal sehat dan bisa fokus pada hal-hal elementer.
Hal mendasar pertama yang diabaikan oleh majelis hakim Agung PK kasus Vina adalah adagium universal yang mendalilkan bahwa lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah dari pada menahan seorang yang tidak bersalah. Prinsip ini berkaitan erat dengan asas hukum "in dubio pro reo", yang berarti "dalam keraguan, berpihaklah pada terdakwa". Asas ini adalah penegasan bahwa system hukum harus memprioritaskan perlindungan terhadap individu yang tidak bersalah dari hukuman yang tidak adil. Vonis bersalah hanya ditetapkan apabila terdakwa terbukti sah (berdasarkan pembuktian formal) dan meyakinkan (berdasarkan pembuktian material) Â telah berbuat sesuai dakwaan dengan kualifikasi beyond the reasonable doubt ( diatas keraguan yang masuk akal). ( Irman Ichandri, 2 Juli 2024, 15.17 WIB).
Dari sidang PK terungkap bahwa dakwaan jaksa hanya didasarkan pada keterangan Aep dan Dede (keduanya tidak pernah disidangkan pada peradilan tingkat pertama). Pada sidang PK, dengan tegas Dede menerangkan bahwa dia telah berbohong kepada penyidik ketika menyatakan bahwa dia menyaksikan para terdakwa melakukan pembunuhan. Lebih dari itu tidak ada secuilpun barang bukti materiil yang mengaitkan secara fisik antara para terpidana dengan peristiwa kematian Vina dan Eki.
Hal elementer kedua yang diabaikan oleh majelis hakim PK adalah ilmu forensik. Nilai sangat penting dari analisis terhadap barang bukti dan tempat kejadian perkara menyebabkan criminal justice system (seharusnya) makin tergantung kepada hasil dan kesimpulan kerja-kerja Laboratorium Forensik yang tidak bisa didapatkan dari proses yang lain ( De Forest 1983 dalam Syamsu, 2024). Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui bahwa pembuktian awal kasus Vina Cirebon pada 2016 silam tidak menggunakan metode scientific crime investigation yang berbasis pada ilmu Forensik. Pernyataan ini dibacakan oleh Wakapolri Komjen Agus Andriyanto di hadapan para wisudawan STIK-PTIK pada hari Kamis, tanggal 20-6-2024 (KOMPASTV, 20 Juni 2024, 21:34 WIB).
Di depan sidang PK terungkap bahwa scientific crime investigation terhadap ponsel milik Widi yang merupakan teman dekat almarhumah Vina yang dilakukan oleh ahli digital forensic atas nama Rismon Hasiholan memastikan bahwa pada 27 Agustus 2016 pukul 22.14.10 WIB masih terjadi komunikasi antara Vina dan Widi. Hal ini diperkuat oleh pengakuan Widi di depan persidangan (Tribunnews, Jum'at, 27 September 2024; 12:21 WIB). Sementara dalam dakwaan jaksa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan oleh penyidik peristiwa pembunuhan itu terjadi pada Sabtu tanggal 27 Agustus 2016 pukul 22.00 WIB (Tempo.co., 17 Mei 2024. 17.45 WIB).
Selain bukti digital forensic tersebut diatas tidak ada bukti fisik lain yang membuktikan bahwa terdapat materi milik para terpidana yang ditemukan pada tubuh korban dan atau di tempat kejadian perkara. Dalam setiap tindak pidana pasti terjadi persentuhan fisik antara pelaku dan korban. Dan pada setiap persentuhan fisik antara dua permukaan pasti akan terjadi pertukaran materi ( Edmond Loccard Principle, 1920). Dengan demikian ilmu forensik bukan hanya berfungsi untuk menghukum orang yang bersalah tetapi juga membebaskan orang yang tidak bersalah.
Hal elementer terakhir yang diabaikan oleh para hakim PK tersebut adalah hati nurani mereka sendiri. Negasi hati nurani inilah yang menyebabkan para wakil tuhan itu berani mengabaikan dua prinsip hukum sebelumnya. Hati nurani selalu parallel dan tidak mungkin berlawanan dengan akal sehat publik, common sense. Common sense yang sudah diungkapkan oleh para saksi ahli, saksi fakta dan para pembela terdakwa di depan sidang pengadilan PK memastikan bahwa pengakuan Dede dan Hasil ekstrak ponsel milik saksi Widi merupakan novum baru. Tetapi 3 majelis pengadil berpendapat lain dan menjadikan keyakinan tuna hati nurani ini yang menjadi dasar penolakan mereka terhadap permohonan para narapidana yang sempat mengalami penyiksaan dan sudah mendekam di penjara selama 8 tahun lebih.