Terang sekali kebrutalan yang jauh menerjang batas-batas kemanusiaan  oleh Tentara Zionis Israel terhadap warga sipil Palestina telah berhasil mempersatukan muslim-non muslim diseluruh dunia. Demonstrasi menyuarakan pembebasan Palestina dari penjajahan bergema di seluruh dunia. Bahkan tidak sedikit Rabbi dan tokoh-tokoh Yahudi senior yang bersuara keras menerangkan bahwa ajaran Yahudi yang hakiki menolak tegas segala macam kekerasan dan penjajahan. Holocaust tidak boleh lagi terjadi dimanapun oleh siapapun dan terhadap siapapun. Tetapi berhasilkah Israel "merukunkan" muslim syuni dan muslim syi'ah ?!
Sejarah akan terus berulang dengan pelaku dan korban yang berganti. Tidak pernah terbayangkan bahwa di jaman Artificial Intelligent ini bencana pembersihan etnis terjadi lagi dengan pelaku militer sebuah bangsa yang dulu menjadi korban terhadap bangsa lain yang telah menolongnya dari kesengsaraan hampir absolut. Ya tentara Israel telah melakukan ethnic cleansing terhadap penolongnya, rakyat sipil Palestina. Pembelaan membabi buta Pemerintah Amerika Serikat bahwa penembakan dan pengeboman terhadap warga sipil terutama Wanita dan anak-anak, sekolah, rumah sakit dan tempat ibadah oleh Tentara Zionis  itu adalah upaya pembelaan diri yang sah telah dipatahkan oleh International Crime Court yang menetapkan PM Israel Benyamin Netanyahu sebagai penjahat perang pada 10 Maret 2024.
Adakah ini suatu keharusan sejarah umat manusia sebagaimana terjadinya peristiwa kelam Karbala sekitar 15 abad lalu ?!. Awal bulan Oktober 680 itu satu kompi pasukan, atau lebih tepatnya satu rombongan ( karena sebagian diantaranya adalah wanita dan anak-anak ) yang terdiri dari sekitar 140 orang yang dipimpin oleh Imam Husein Bin Ali bin Abi Thalib sedang di kepung oleh satu divisi (sekitar 30.000 prajurit) tentara militer bersenjata lengkap utusan Khalifah Bani Ummayyah ke-2, Yazid Bin Muawiyah Bin Abi Sufyan. Pasukan pengepung menutup akses air untuk rombongan Imam Husein yang terdiri dari keluarga dekat dan orang-orang yang yang setia kepada cucu kesayangan nabi Muhammad SAW itu. Padahal pada peristiwa Fathu Makkah sekitar 50 tahun sebelumnya ( 1 Januari 630) Datuknya Imam Husein yakni Nabi Muhammad SAW telah menyelamatkan Hindun Binti Utbah (nenek dari Yazid bin Muawiyah) dari amukan kaum muslimin yang mengingat betul bahwa pada perang Uhud (23 Maret 625) Hindun telah memakan hati Hamzah Bin Abdul Mutholib, pahlawan Islam yang merupakan paman Nabi Muhammad SAW.
Akhirnya setelah blokade selama 3 hari, berlangsunglah pertempuran yang hebat pada 10 Oktober 680. Satu kompi pasukan itu dengan gagah berani menghadapi satu divisi tentara terlatih. Akhirnya terjadilah peristiwa paling kelam itu, pasukan Muawiyah memenggal kepala sang Sayyidul Syahid Imam Hussein Bin Ali kemudian mengaraknya di sepanjang jalan menuju Damaskus untuk dipersembahkan kepada Khalifah Yazid bin Mu'awiyah. Yang harus disyukuri oleh ummat Islam adalah terselamatkannya cicit Rasulullah, Imam Ali Zaenal Abidin Bin Hussein Bin Ali yang pada peristiwa itu merupakan seorang remaja 14 tahun yang sebetulnya bertekat untuk bertempur membantu ayahanda namun dalam keadaan sakit parah. Pahlawan penyelamatan keturunan Ahlul Bait itu tentu saja adalah bibinya sendiri, Zaenab Binti Ali yang begitu saja menjadi orator  sekaligus negosiator ulung yang menggetarkan siapa saja, bahkan sang khalifah Yazid sekalipun.
Begitu Kanjeng Nabi wafat ( 12 Rabiul awwal 11 H/ 8 Juni 632 M) maka terjadilah penggumpalan umat Islam dalam dua golongan yakni Syi'ah ( yang meyakini bahwa kepemimpinan umat adalah milik syah Ali dan keturunannya ) dan Syuni ( yang meyakini bahwa Ali adalah sahabat nabi yang sama saja dengan sahabat-sahabat lainnya terutama Abu Bakar, Umar dan Ustman). Penggumpalan itu semakin mengeras setelah terjadi perang Jamal ( 8 Desember 656, dimana pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam bertempur melawan pasukan Khalifah Ali Bin Abi Thalib di Basrah) dan Perang Shiffin ( 26 -- 28 Juli 657, merupakan peperangan antara pasukan Khalifah Ali Bin Abu Thalib melawan pasukan Gubernur Syam yang memberontak, Muawiyah Bin Abu Sufyan). Pertentangan antara Syiah dan Syuni semakin mengkristal oleh even kelam Karbala dan tidak pernah akur hingga saat ini.
Secara umum, mayoritas umat Islam ( sekitar 80 %) bermadzab Syuni, 10 % bermadzab Syi'ah dan 10 % lainnya mengikuti berbagai madzab diluar Syi'ah-Syuni. Muslim syuni menjadi mayoritas di negara-negara Arab, Palestina, Mesir, Suriah, India, Pakistan, Malaysia dan tentu saja Republik tercinta Indonesia. Sedangkan Syi'ah menjadi mayoritas di Iran dan Irak. Meskipun tidak selalu, madzab mayoritas dianut oleh pemerintah pada negara-negara muslim tersebut. Arab Saudi pernah berperang dengan Yaman sedikit banyak disebabkan oleh Arab Saudi membela mantan presiden Yaman yang bermazdab Syuni yang diusir oleh Houthi Yaman yang bermadzab Syiah. Perang saudara di Suriah juga disebabkan oleh pihak luar yang memanfaatkan pertentangan antara Syi'ah dan Syuni ini. Begitulah bila sebuah negara muslim memiliki penganut Syuni yang seimbang dengan penganut syiah maka potensi peperangan ini menjadi semakin besar.
Lalu bagaimana perbedaan antara Syuni-Syiah ?! Parameter yang paling jelas dan termudah  dalam identifikasi tersebut adalah dengan memperhatikan bagaimana persepsi mereka terhadap relasi antara Sayyidina Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Kaum Syi'ah menganggap Sayidina Ali adalah imam pertama sekaligus sebagai sahabat yang paling berhak memegang tampuk kepemimpinan umat Islam sepeninggal nabi Muhammad SAW dan meyakini Muawiyah sebagai pemberontak yang  kafir dan munafik. Sementara kaum Syuni pada umumnya menghormati sayidina Ali sebagai sahabat utama Nabi, tetapi tidak terlalu menyalahkan Mu'awiyah bahkan menganggap  putra Abu Sufyan ini sebagai tokoh Islam yang berhasil dalam pemerintahan. Jadi pemicu perpecahan antara Syuni dan Syiah adalah murni persoalan politik kekuasaan.
Mayoritas muslim Palestina menganut madzab Syuni sehingga semestinya yang membela mati-matian adalah negara-negara Islam yang bermadzab sama dan tetangga terdekat Palestina seperti Saudi Arabia, Mesir dan Yordania. Tetapi kenyataan yang terjadi tidak seperti itu. Yang berani dan mampu melawan Israel adalah Republik Islam Iran dan sekutunya Houthi Yaman dan milisi Hizbullah Lebanon serta Syuriah yang mengizinkan wilayahnya menjadi penghubung antara Iran dan para sekutunya dalam mendukung Hamas dan Palestina. Sebaliknya pemerintah Yordania pada 5 Oktober 2024 telah mencegat rudal Iran yang sedang meluncur menuju Israel.  Lain lagi pemerintah Mesir yang mengizinkan kapal berbendera Jerman yang membawa bahan peledak untuk kepentingan penjajah Israel untuk berlabuh dan membongkar muatan di Dermaga Militer Pelabuhan Alexandria pada hari Senin tanggal 28 Oktober  2024. Padahal negara-negara non muslim seperti Malta, Namibia, Spanyol dan Portugal telah melarang keras Kapal itu berlabuh di negaranya masing-masing.
Pada saat artikel ini sedang ditulis terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan, pemberontak Syuriah Hayyat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil menguasai kota Damaskus pada hari Minggu 8 Desember 2024 yang mengakibatkan Presiden Bashar Assad harus melarikan diri. Kemudian berkembang narasi bahwa HTS yang beraliran Syuni telah berhasil mengusir Bashar Assad yang dianggap beraliran Syi'ah. Banyak ahli timur tengah yang mencurigai bahwa keberhasilan pemberontak itu tidak terlepas dari campur tangan Israel dan Amerika Serikat. Dan mereka meyakini kondisi Syuriah akan sama dengan Irak dan Libya yang kedaulatan dan kesejahteraannya lebih dahulu diporak-porandakan oleh Amerika. Jangankan membantu Palestina (Irak dan Libya sepertinya halnya Syuriah dikenal sebagai negara Islam yang konsisten membela Palestina), untuk mengelola negaranya sendiripun negara-negara Islam itu tidak mampu. Dan hal ini tentu saja mengakibatkan pemerintah Zionis Israel akan semakin leluasa menerapkan praktek Aphartheid-nya di Palestina.