Mohon tunggu...
Yani Nur Syamsu
Yani Nur Syamsu Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Biografometrik Nusantara

Main ketoprak adalah salah satu cita-cita saya yang belum kesampaian

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Piagam Madinah, Piagam Jakarta, Pancasila dan Muslim Indonesia

6 Desember 2017   10:26 Diperbarui: 6 Desember 2017   10:30 3021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piagam Madinah (Sumber : rachavidya.blogspots.com)

Mencermati dengan seksama dinamika politik 3-4 tahun terakhir ini serta "konfirmasi" oleh acara "Indonesian Lawyer Club" di sebuah stasiun TV swasta tadi malam, maka mau tidak mau, suka tidak suka, kita mesti menerima realitas ini : pemilihan presiden RI 2014  telah membelah umat Islam (termasuk para ulama/cendekiawan/tokoh nya) menjadi dua "madzab", Muslim Pro Jokowi (MPJ) dan Muslim Pro Prabowo (MPP). Berdasarkan tingkat-fanatismenya kedua kelompok muslim Indonesia tersebut, secara umum, bisa dikelompokkan dalam tiga level, kritis-moderat, menengah dan militan-fanatik. 

MPJ kritis-moderat, adalah muslim realistis dan fair sehingga senantiasa siap untuk meninggalkan pak Jokowi jika sang presiden tidak memenuhi standard minimal yang ditetapkan oleh mereka.  MPJ tengahan "berkarakter" di  antara MPJ kritis-moderat dan MPJ militan-fanatik. Sedangkan MPJ militant-fanatik "berkeyakinan"  bahwa presiden Jokowi tidak bisa salah sedangkan pak Prabowo sama sekali tidak layak menjadi presiden karena masa lalunya yang "tidak terlalu terang". 

Seperti halnya MPJ kritis moderat, MPP kritis moderat juga tidak segan berpindah ke lain hati jika "performance" pak Prabowo tidak memuaskan hati mereka. MPP tengah berada di tengah. Sedangkan MPP militant-fanatik, "meyakini" bahwa presiden Jokowi tidak "bersih lingkungan" sehingga tidak layak menduduki kursi presiden NKRI, lebih dari itu pak Jokowi tak lebih dari petugas partai (PDIP) dan merupakan antek aseng dan asing.

Tulisan ini mencoba menganalisis kontur keterbelahan itu kemudian menghubungkannya dengan piagam Jakarta, piagam Madinah dan Pancasila. MPJ dan MPP merupakan mayoritas penduduk Indonesia yang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, dengan demikian "relasi epoleksosbud hankam" kedua kelompok ini adalah faktor penentu dari corak epoleksusbudhankan NKRI saat ini. 

Pak Jokowi, selaku presiden terpilih, dalam banyak kesempatan menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk segera menghentikan perselisihan akibat perbedaan pilihan dalam pemilu, pilpres dan pilkada dan segera melaksanakan tugas pokok dan fungsi masing-masing dengan kerja, kerja dan kerja. Namun ajakan ini rupanya belum mendapatkan tanggapan semestinya, mereka tetap teguh di posisi masing-masing terutama MPP dan MPJ  militant-fanatik. Hal ini nampak jelas terutama ketika berlangsung pilkada DKI 2017.

Pilkada yang melahirkan aksi massa "bela Islam" beberapa serie ( yang paling popular dan ada reuni akbarnya baru baru ini adalah aksi "212") dan menjadi perhatian nasional bahkan internasional itu telah mengkristalkan keterbelahan MPP dan MPJ dengan segala drama permusuhan baik di dunia nyata maupun di dunia maya, yang sering membuat miris publik. Dua drama yang paling memilukan  adalah larangan menyolatkan jenazah yang pada waktu hidup memiliki pilihan berbeda dan arak arakan takbir keliling yang "dihiasi" kata-kata "bunuh" oleh anak anak. Keterbelahan ini sepertinya akan semakin menganga dengan  datangnya pilkada serentak 2018 dan pemilu/pilpres 2019.

Kategorisasi islam jawa oleh Clifford Geertz (terj,1981) tentu saja tidak memadai untuk menyisir fenomena MPJ-MPP ini, karena distribusi santri-priyayi-abangan di kedua kubu, sepertinya adalah seimbang. Tidak sedikit santri yang "bergabung" dengan MPJ, namun demikian banyak juga abangan yang memilih menjadi "anggota" MPP. Bahkan, berdasarkan pengamatan penulis terhadap beberapa rekan dan keluarga terdekat, tidak sedikit keluarga keluarga itu yang berkarakter "campuran" (istri MPP, suami-anak MPJ atau sebaliknya). 

Strata pendidikan juga bukan merupakan variable berpengaruh dalam "kasus" ini. Namun yang patut mendapat catatan khusus adalah  adanya  aparat sipil Negara dan bahkan perwira TNI-Polri (dalam jumlah yang cukup signifikan) yang "terang-terangan" menyatakan dirinya sebagai MPP militant-fanatik, sehingga, bagi mereka apapun yang dilakukan presiden Jokowi adalah salah. Padahal sebagai aparat pemerintah, berdasarkan Sumpah Prajurit, Tribrata dan Sapta Prasetya Korpri, mestinya mereka tunduk dan patuh dengan pemimpin tertingginya.

Kazanah dan keanekaragaman aliran dan madzab dalam agama Islam sepertinya juga tidak cukup memadai untuk mendistingsi antara MPJ dan MPP ini, karena mayoritas anggota dua kelompok ini mengakui sebagai pengikut ahlusunnahwaljamaah. Yang patut dicatat adalah bahwa dalam konteks persepsinya terhadap aliran atau madzab minoritas umat Islam Indonesia seperti Syiah dan Ahmadiyah, umat muslim MPP cenderung "kurang ramah" terhadap "madzab" Islam minoritas ini. 

Sedangkan MPJ lebih lapang untuk menerima Syiah dan Ahmadiyah sebagai bagian dari keluarga besar Islam. Terkait dengan isu-isu komunisme dan terorisme, pada umumnya MPP lebih "takut" pada "bangkitnya PKI" sedangkan MPJ beranggapan bahwa bahaya yang sudah ada didepan mata adalah terorisme sedangkan bangkitnya PKI adalah ngaya wara.

Hemat penulis, teori yang cukup memadai untuk menganalisis perbedaan dari  MPJ dan MPP adalah teori kepribadian Jungian. Menurut Jungian terdapat dua tipe dasar manusia, yaitu tipe abstract/intuitive (intuitive) dan tipe concrete/objective (concretist/the certainty seeking). Orang orang yang intuitive-penulis berpendapat mayoritas MPJ dalam "berislam"  memiliki sifat ini-cenderung lebih kreativ dalam menyelesaikan masalah dan suka mengekplorasi perasaan atau instingnya, serta ide-ide baru, lebih imaginative, suka perubahan dan problem oriented serta subjective. Sedangkan orang-orang concretist-hemat penulis mayoritas MPP dalam berislam cenderung memiliki sifat ini-"prefere a concrete way of perceiving the world,........perhaps simple and possibly simplistic, and strongly solution-oriented". Artinya, kelompok intuitives melihat "what could be", sedangkan concretist melihat pada "what is". (Ronald Johnson, 2004 dalam Mirza Tirta Kusuma, 2014). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun