Pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi Polri ditunda. Begitulah keputusan presiden Jokowi dalam rapat terbatas di istana Merdeka Jakarta Selasa (24/10) malam lalu. Bakda ratas menkopolhukam, Wiranto, menjelaskan bahwa presiden telah memerintahkan kementeriannya untuk melakukan pendalaman dan pengkajian lebih lanjut terhadap urgensi pembentukan Densus Tipikor.Â
Sejak dihembuskan pertama kali, pembentukan densus tipikor langsung memunculkan pro dan kontra. Yang pro berargumentasi bahwa sumber daya yang dimiliki KPK sangatlah terbatas sementara wilayah operasinya sangat luas, sehingga operasi pemberantasan korupsi bisa lebih efektif, KPK memerlukan dukungan lembaga lain yang memiliki banyak personil  berkompetensi sebagai penyidik TP korupsi. Sementara yang kontra berpendapat bahwa pembentukan densus tipikor telah ditunggangi kepentingan pihak pihak tertentu yang tidak nyaman dengan "tingkah polah" KPK sehingga detasemen baru itu hanya akan menghambat pekerjaan KPK yang sudah terbukti mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat.
Wakil Presiden, Yusuf Kalla, menyampaikan kepada pers bahwa tugas Polri sudah sangat banyak mulai mengurusi SIM, tilang, narkoba, kejahatan siber, terorisme bahkan polisi juga sudah memiliki direktorat tipikor sehingga tanpa densus tipikorpun polri "berhak" berperan aktif dalam upaya upaya pemberantasan korupsi. Dikhawatirkan, masih menurut wapres, pembentukan densus Tipikor akan membuat Polri semakin terbebani dan  kehilangan fokus. Disamping itu terdapat kendala psikologis bagi Polri dalam melakukan penindakan kasus korupsi apabila tersangka pelaku adalah kepala daerah atau "koleganya sendiri", jaksa dan hakim.Â
Dalam kedinasan sehari hari seorang kepala kepolisian kewilayahan, katakanlah seorang Kapolres, harus menjalin hubungan yang erat dengan Bupati/wali kota, para jaksa di kejaksaan negeri dan para hakim di pengadilan. Hubungan emosional ini tentu saja akan membuat pak Kapolres atau para penyidik polri akan mengalami ewuh pakewuh apabila harus "memberkas" para koleganya itu. Kendala non teknis ini tentu saja tidak dialami oleh KPK.
Dengan demikian tepat sekali apabila Pemerintah memutuskan untuk lebih fokus pada penguatan KPK yang saat ini tengah "kewalahan" menghadapi pansus angket KPK DPR. Pembentukan Pansus KPK diyakini terkait erat dengan upaya gigih KPK untuk mengungkap tuntas kasus megakorupsi KTP elektronik yang diduga kuat melibatkan Ketua DPR saat ini dan banyak anggota dan mantan anggota Dewan yang terhormat itu. Hemat penulis disamping beberapa alasan tersebut diatas, keterbatasan dana yang dimiliki negara juga merupakan faktor sangat penting tertundanya pembentukan densus yang membutuhkan dana sekitar 2,4 riliun rupiah tersebut. Untuk kepentingan bangsa yang lebih besar dan lebih mendesak, presiden Jokowi berharap supaya polemik densus tipikor yang banyak menguras energy bangsa ini disudahi.
Berdasarkan track record-nya selama ini, diyakini bahwa Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, secara tulus membentuk densus tipikor benar benar dalam rangka membantu KPK yang hanya memiliki sekitar 200 penyidik. Tito berharap dengan lahirnya Densus Tipikor, KPK bisa fokus menangani kasus kasus kakap sedangkan yang kecil kecil bisa diselesaikan oleh densus. Kenyataan menunjukkan bahwa  Tito telah berhasil mengangkat Polri dari kubangan sebagai  lembaga Negara terkorup. Menurut  survey oleh Transparency international Indonesia, tahun 2017 ini Polri "turun tahta" dan berada di posisi ke 5 ( lembaga terkorup pertama telah "diambil alih" oleh DPR). Sementara itu  Litbang kompas yang baru baru ini menyigi citra  lembaga Negara mendapatkan hasil bahwa Polri merupakan lembaga Negara terbaik ketiga tepat dibawah KPK pada posisi kedua dan TNI yang menjadi pemuncak.
Namun demikian Hasrat Polri yang menyala-nyala untuk ambil bagian secara aktif dalam peperangan melawan korupsi rupanya belum direstui presiden. Lalu apa yang harus dilakukan ?! Menurut hemat penulis tiga hal berikut ini bisa menjadi modal Polri untuk merebut hati "majikannya", rakyat Indonesia.
Pertama, polri harus mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki untuk segera mengungkap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Sebagian publik sudah terlanjur menilai bahwa polri "tidak terlalu sungguh sungguh" dalam menangani kasus yang menarik perhatian warga dari Sabang sampai Merauke ini. Mereka tentu akan terus ingat bahwa  Presiden pernah memanggil Kapolri khusus untuk membahas masalah yang sepertinya sangat "merepotkan" Polri ini. Terlepas dari beberapa "dosa" yang pernah dilakukan oleh Novel terhadap Polri, lembaga yang telah melatih, mendidik dan melahirkannya sebagai penyidik handal, sebagian (besar ?) masyarakat sudah menganggap Novel sebagai representasi KPK.Â
Sehingga ketika ada  dua orang perwira tinggi dan menengah polri mengadukan Novel dengan dugaan pencemaran nama baik, maka (sebagian) anggota masyarakat  serta merta menganggap  peristiwa cicak dan buaya telah terjadi lagi. Pihak pihak inilah yang cenderung mencurigai bahwa pembentukan densus tipikor adalah upaya polri untuk merintangi gerak langkah KPK. Sehingga, sekali lagi, salah satu jalan terbaik untuk menepis kecurigaan ini adalah Polri harus segera mengungkap dan menangkap pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, baik pelaku lapangan maupun aktor intelektual dibalik perbuatan pengecut ini.
Kedua, Polri mesti memastikan dan meyakinkan publik bahwa mereka sudah berupaya keras untuk betul betul menutup celah celah yang selama ini sangat rawan sogok menyogok. Sedikitnya ada empat "zona" yang rawan dimanfaatkan baik pihak polisinya sendiri maupun pihak pihak eksternal untuk melakukan kong kalingkong. Pertama, "zona pelayanan" yang berlangsung dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya. Zona kedua adalah wilayah kewenangan khususnya dalam pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum. Kemudian yang ketiga adalah korupsi fiskal atau anggaran. Selanjutnya yang terakhir adalah korupsi kepolisian di ranah manajemen personalia, misalnya dalam perekrutan, promosi, mutasi, termasuk dalam seleksi mengikuti pendidikan pengembangan.
Sebetulnya sudah banyak bukti bahwa polri sudah berusaha beranjak meninggalkan kebiasaan buruk terkait korupsi dan penyalahgunaan wewenang, misalnya pelayanan online pada pengurusan  SIM dan surat surat Kendaraan. Bahkan terkait penganggaran, saat ini Polri sepenuhnya dan secara ketat mengikuti system perbendaharaan dan anggaran Negara (SPAN) yang diberlakukan oleh Departemen Keuangan. SPAN dan semua aplikasi turunannya diyakini cukup ampuh melindungi  pos-pos belanja barang kepolisian yang selama ini  menjadi sasaran empuk para cukong dan pemburu ekonomi rente negeri ini. Dan perlu juga dikemukakan bahwa pada lima tahun terakhir ini Polri selalu mendapatkan penilaian WTP (wajar tanpa pengecualian) oleh tim pengawasan dan pemeriksaan dari BPK.