Setelah menikah sang perwira remaja sangat ingin segera mendapatkan momongan. Namun tidak seperti pelaksanaan tugasnya yang selalu berhasil. Keinginan nya untuk punya momongan belum juga kesampaian. Akhirnya sepuluh tahun sudah sang opsir membina rumah tangga. Berbagai upaya sudah dilaksanakan, namun sang putra belum juga menunjukan tanda-tanda akan hadir. Sang bapak yang sudah sangat mendambakan cucupun dipanggil yang maha kuasa, begitu pula ibunda tercinta menyusul setahun berikutnya. Sang opsir yang lembut hati itupun limbung, dia mulai mempertanyakan kemahaadilan tuhan.
Dia semakin terjerembab ke lembah frustasi ketika memergoki sang istri bergumul dengan komandannya sendiri. Sang opsir masih seorang lelaki yang berhati embun, dia membawa istri dan komandan durjananya ke depan hukum. Tetapi akhirnya tokoh kita ini menjadi gelap mata, dia memuntahkan 3 butir peluru di sidang itu. Satu untuk istrinya, satu untuk kepala sang komandan dan satu butir lagi untuk bapak hakim ketua yang memutuskan bahwa para terdakwa tidak bersalah karena mereka melakukannya dengan suka sama suka.
Cerpen ketiga yang menurut hemat saya juga meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca adalah sebuah cerpen yang bersetting luar negeri (saya tulis ketika saya mendapatkan kesempatan mengikuti kursus singkat di salah satu negeri Eropa). Kali ini tokohnya adalah seorang dosen yang mendapatkan beasiswa paska sarjana. Dosen yang baru pertama kali pergi keluar negeri tersebut dijemput oleh seorang gadis penjemput, mahasiswi S-3 di kampus yang sama. Akhirnya mereka bergaul akrab. Sang mahasiswi menjadi tentor tetap dari sang dosen dan dengan sukarela menjadi pemeriksa pertama dari tugas-tugas program masternya. Tanpa terasa dua tahun sudah dosen itu menjalani perkuliahan. Mereka diwisuda dalam waktu bersamaan. Di hari terakhir, si doktor jelita mengutarakan keinginannya untuk menikah dengan sang dosen dan menjadi warga Negara Indonesia. Pak dosen yang awet muda itupun kelimpungan, selama ini dia tidak pernah berterus terang bahwa dia sudah berkeluarga dan memiliki sepasang anak yang lucu di Indonesia.
Sebetulnya bukan saya saja yang menyatakan tiga cerpen itu sangat layak untuk dimuat. Seorang guru besar sastra yang sangat produkif menulis cerpenpun berpendapat demikian. Menurut pak professor, "nama", "catatan seorang narapidana" dan "Tori" adalah cerpen-cerpen yang bernilai sastra cukup tinggi.
Tapi begitulah, rupanya para redaktur cerpen beranggapan lain. Dua puluh lima tahun menulis cerpen, kemudian selalu mengirimkannya ke redaktur cerpen, ternyata tidak sebijipun cerpen dimuat. Sejauh ini saya tetap berprasangka baik kepada para redaktur itu. Saya yakin tidak dimuatnya cerpen-cerpen saya itu semata-mata karena ada begitu banyak naskah-naskah lain yang jauh lebih memikat.
Tapi satu tahun terakhir ini mulai tumbuh rasa curiga dalam hati. Jangan-jangan mereka tidak seobyektif yang saya bayangkan. Jangan-jangan para redaktur itu hanya melihat nama penulis. Dan langsung melempar naskah itu, jika pengarangnya tidak dia kenal.
Dengan seizin pak profesor, saya mengirimkan tiga cerpen terbaru beliau yang belum sempat dikirim ke media massa, kemudian mencantumkan nama saya sendiri sebagai pengarang. Dengan berdebar-debar saya menunggu, dua minggu, dua bulan, tiga bulan. Setelah enam bulan ternyata tidak satupun cerpen-cerpen itu dimuat.
Sayapun mengirim kembali "nama", "catatan seorang narapidana" dan "Tori" ke redaktur cerpen tiga koran itu. Kali ini dengan nama pengarang sang profesor. Nah minggu lalu, pagi-pagi sekali pak guru besar tilpon,
"Selamat mas, cerpen-cerpen sampeyan hari ini dimuat semua, sayangnya nama saya yang tercantum sebagai pengarang disitu.....he....he !"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H