Mohon tunggu...
Yansean Sianturi
Yansean Sianturi Mohon Tunggu... Lainnya - learn to share with others

be joyfull in hope

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Moeldoko, Cawapres Jokowi 2019

2 April 2018   23:29 Diperbarui: 3 April 2018   08:25 1973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramainya pembicaraan mengenai siapa yang cocok sebagai Cawapres Jokowi pada Pilpres tahun 2019, telah meningkatkan suhu politik tanah air. Berbicara Cawapres Jokowi, maka publik akan melihat beberapa nama calon yang potensial. Sebut saja dari partai pendukung Pemerintah yaitu: Airlangga Hartarto (Golkar), Muhaimin Iskandar (PKB), Wiranto (Hanura), Surya Paloh (Nasdem) dan Romahurmuziy (PPP) serta beberapa kandidat lainnya. Partai Kebangkitan Bangsa bahkan lebih awal mendeklarasikan "Cak Imin" sebagai Cawapres yang akan diusung. Partai boleh saja memberikan dan menyodorkan nama agar kadernya dapat dipilih menjadi Cawapres Jokowi. Namun, semua akan berpulang kepada Presiden Jokowi yang akan menentukan siapa calon pendampingnya. Faktor kecocokan dan dapat bekerja sama merupakan faktor menentukan, selain elektabilitas yang tinggi serta dukungan logistik (dana).

Berdiskusi mengenai jabatan Capres dan Cawapres, berarti membicarakan tentang bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan yang identik serta sarat dengan berbagai kepentingan. Perbedaan kepentingan dari masing-masing partai tidak dapat dihindari, karena adanya perbedaan ideologi yang digunakan sebagai cara untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat. Banyaknya Cawapres potensial dan mumpuni di koalisi pendukung Jokowi pada satu sisi memang sangat menguntungkan, tetapi disisi lain akan membuat dilema posisi Jokowi. Dilema, bila harus memilih, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan pecah "kongsi" koalisi partai Pemerintah sehingga memerlukan alternatif baru.

Kemungkinan alternatif yang dapat diambil untuk menghindari konflik di tubuh partai pendukung Jokowi adalah dari kalangan profesional. Pilihan tersebut merupakan jalan tengah untuk menjaga kesatuan dan persatuan atas perbedaan kepentingan serta ideologi masing-masing partai pendukung. Kaum profesional yang dipilih bisa dari kalangan ahli ekonomi, militer, atau tokoh ulama. Memilih "Jendral Purn. Moeldoko" merupakan cara atau alternatif lain, yang dapat diambil untuk menghindari kebuntuan dan semoga dapat diterima semua pihak.

Pengalaman Moeldoko sebagai Panglima TNI, dikenal dekat dengan semua kalangan termasuk para politisi dan tokoh ulama. Kedekatan tersebut sedikit-banyaknya akan memuluskan dan mempermudah jalan beliau memperoleh dukungan dari kaum elit Republik ini. Lulus pendidikan militer, Moeldoko merupakan pemegang "Bintang Adhi Makayasa", sama seperti mantan Presiden SBY sebagai alumnus terbaik di AKABRI.  Hebat ya, tidak semua perwira bisa mendapat anugerah tersebut, karena harus menjadi yang terbaik di periode dan matra angkatannya. Kelebihan lainnya, bila head to head kembali dengan Prabowo yang berlatar belakang militer, Moeldoko memiliki nilai tambah karena pernah menduduki puncak karier militer tertinggi. Ditambah, semasa menjabat sebagai Panglima, Moeldoko telah bekerja dengan baik, bersih tanpa noda hingga memasuki usia pensiun (purnawirawan). Latar belakang militer Moeldoko diyakini oleh berbagai pihak  dapat meredam isu PKI, antek asing dan disetir partai serta isu-isu lainnya, yang dipakai pihak lawan untuk menyerang Jokowi.

Selesai menjabat sebagai Panglima TNI, beliau dengan lapang dada kembali ke masyarakat dan berbaur kembali menjadi rakyat biasa. Nothing to lose, tanpa ambisi dan beban ingin segera mendapat jabatan menandakan kematangan jiwa seorang Moeldoko. Sementara rekan lain, banyak yang menggebu-gebu ingin masuk kembali ke kancah perpolitikan dan merebut posisi serta kekuasaan. Retorika- retorika politik murahan tidak dilepaskan ke publik dan memilih berorganisasi serta membangun jaringan di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Karir organisasi saat ini, sebagai Ketua umum HKTI gencar melakukan terobosan dan inovasi dengan istilah "Petani Zaman Now". Terobosan yang dilakukan yaitu, memberikan penyuluhan kepada para petani agar memanfaatkan dunia maya dalam memasarkan hasil pertanian.  Inovasi lain, yakni ingin menggunakan pesawat drone untuk pemupukan tanah serta penyemprotan dalam membasmi hama. HKTI, di era Moeldoko juga telah melakukan kegiatan workshop dan pembekalan ilmu pertanian dengan menggandeng pondok pesantren untuk mensukseskan program ketahanan pangan nasional. Kedekatan dengan para petani merupakan modal untuk menarik simpati pemilih masyarakat pedesaan dan meningkatkan elektabilitasnya. 

Selain pendidikan militer, Moeldoko juga menyandang gelar akademik  doktor (S3) ilmu administrasi dengan predikat sangat memuaskan dari  Universitas Indonesia. Berpikir secara ilmiah sebagai gaya masyarakat kampus sudah biasa dilakukan dan menambah daya tarik serta popularitas beliau. Kepiawaiannya terlihat, saat diundang pada acara Mata Najwa di Metro TV, yaitu ketika memberikan penjelasan kepada pengurus BEM UI yang telah memberikan "kartu kuning untuk Jokowi". Argumen yang disampaikan ke BEM UI dan publik mulai dari pembangunan tol sepanjang 346 km, kuota haji naik menjadi 221.052.200 dan dana desa naik menjadi 60 trilyun semuanya disertai data, sebagai ciri masyarakat ilmiah.

Kemampuan untuk meredam demonstrasi dan memberikan solusi atas permasalahan (krisis) yang timbul di masyarakat, tidak perlu diragukan lagi. Rapat baru-baru ini, di Kantor Staf Presiden dengan para pimpinan perusahaan aplikasi transportasi online cukup ampuh dalam menyelesaikan perang tarif pada penyedia jasa tersebut. Jabatan sekarang sebagai Kepala Staf Presiden, tentunya akan membuat keduanya berinteraksi semakin rutin dan lebih dekat. Komunikasi intens merupakan modal awal terciptanya chemistry dan saling pengertian.

Perpaduan sipil militer merupakan modal utama bangsa ini dalam menghadapi tantangan dan menyongsong Indonesia Jaya.

Mari, sama-sama kita nantikan

Salam Demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun