Pekan ini, Indonesia dihebohkan oleh pemberian kartu kuning kepada Presiden Jokowi oleh Ketua BEM UI yaitu Zaadit Taqwa. Kegaduhan, pro dan kontra atas tindakan Zaadit tersebut terlihat pada berbagai media hingga saling sindir-menyindir di medsos. Apa sih yang menarik dari tindakan Zaadit tersebut, mulai dari pihak Istana hingga DPR turut berkomentar? Sebetulnya yang menarik karena tindakan tersebut dilakukan di kampus yang notabene merupakan kumpulan dari masyarakat akademis, apalagi terjadinya di UI salah satu kampus ternama Republik ini. Â
Pertanyaan berikut yang muncul adalah, apakah tindakan masyarakat ilmiah boleh disamakan dan diidentikkan seperti wasit di lapangan bola atau seperti tanda lampu kuning aturan dalam berlalu-lintas di jalan raya? Masyarakat ilmiah dikenal dengan pola berpikir kritisnya, kreatif, objektif dan bebas dari prasangka. Masyarakat ilmiah juga terkenal dengan metode penelitiannya yaitu memperoleh fakta-fakta atau mengembangkan prinsip-prinsip melalui kegiatan mengumpulkan, mencatat dan menganalisa data (informasi/keterangan) secara hati-hati, sistematis serta berdasarkan ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah sehingga bisa menguji suatu gejala bahkan melakukan penemuan baru yang berguna bagi kemajuan masyarakat.
Hari pertama, ketika Zaadit mengeluarkan kartu kuning, ketua BEM UI tersebut dielu-elukan, laksana seorang pahlawan yang baru pulang ke rumah setelah memenangkan suatu pertempuran, tetapi beberapa hari kemudian kisah seorang Zaadit mulai berubah dan dihubungkan dengan kedudukannya sebagai mahasiswa yang merupakan representasi dari masyarakat ilmiah. Tuntutan yang diajukan oleh BEM UI dalam hal ini Zaadit, antara lain :
- Masalah gizi buruk di Papua dan Suku Asmat,
- PLT Gubernur dari Polri dan,Â
- Permenristekdikti tentang organisasi mahasiswa
kemudian diperhadapkan dengan ciri-ciri dari masyarakat ilmiah yang seharusnya menggunakan analisa data serta pengujian yang valid menggunakan metode ilmiah. Maka, tuntutan tersebut perlu diuji berdasarkan bukti dan fakta-fakta empiris dan diolah secara sistematis menggunakan metode ilmiah sehingga bukan hanya kritik yang dimunculkan tetapi juga ada "output" berupa saran bagi perbaikan selanjutnya yaitu kemajuan masyarakat maupun pengetahuan itu sendiri. Cerita kemudian bersambung pada topik penyempritan pluit dan pemberian kartu kuning yang kemudian dihubungkan dengan sikap dan etika dari masyarakat ilmiah, bagaimana sebagai seorang tuan rumah seharusnya bersikap ketika menerima tamu?
Tuntutan BEM UI dan Zaadit sebagai ketuanya memang masih bisa diperdebatkan dari sisi ilmiah karena ada kelemahan dalam hal penyajian argumen data, tetapi sebagai negara demokrasi mereka diperbolehkan menyuarakan aspirasi yaitu idealisme pemuda. Tindakan Zaadit memang bertolak belakang dengan ciri-ciri dari masyarakat ilmiah di atas, tetapi kisah perjuangan seorang Zaadit belum tentu berhenti hingga disini. Belajar sejarah awal pergerakan perjuangan Bangsa Indonesia hingga reformasi saat ini tidak pernah terlepas dari peran para pemuda. Peristiwa lahirnya Sumpah Pemuda, Proklamasi 17 Agustus 1945, Orde Baru, Orde Reformasi semuanya berawal dari pemuda termasuk didalamnya mahasiswa. Persoalan berikutnya adalah, apakah ide dan gagasan serta tuntutan yang dilontarkan oleh BEM UI dan Zaadit tersebut merupakan persoalan nasional bersama dan bersifat urgent juga bagi mahasiswa kampus lainnya? Atau tuntutan yang dikemukakan tersebut hanya bersifat lokal dan mengatasnamakan kelompok saja? Mahasiswa "jaman now", kami rasa sudah cukup cerdas dan bisa menjawabnya. Zaadit akan tetap dianggap sebagai seorang pahlawan yang memberikan kritik kepada pemimpin Bangsa, bila yang bersangkutan kelak berhasil menyelesaikan pendidikannya dan bisa terus memberikan darma bakti bagi negara ini dikemudian hari. Namun, kisah seorang Zaadit bisa juga berakhir dan akan hilang dengan sendirinya, jika yang bersangkutan gagal menjaga idealisme dan tidak bisa mengembangkan diri sendiri menjadi seorang profesional yang sesungguhnya.
Tak kalah dengan Zaadit, sang Presiden Jokowi sebagai sosok yang dikritikpun memahami hal ini sebagai dinamika dan ingin mengajak Zaadit dan anggota BEM UI lainnya untuk melihat secara langsung kondisi masyarakat Papua (Asmat) dengan harapan dapat membantu pemerintah memberikan saran maupun solusi. Sang Presiden merespons kritik dengan baik dan terus berangkat ke Sumatera dengan menunjukan kerja-kerja melalui kegiatan meresmikan berbagai proyek pembangunan serta bertemu dengan masyarakat bahkan hadir pada Hari Pers Nasional. Sang Presiden yang pernah menjadi mahasiswa sepertinya sudah mengerti akan hal ini, semoga menjadi masukan dan kritik yang membangun bagi beliau.Â
Kelak, waktu juga lah yang  akan menentukan, karena wasit berikutnya pada tahun 2019 nanti bukanlah seorang Zaadit maupun BEM UI, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Jika Presiden Jokowi mencalonkan diri dan terpilih kembali maka "kartu kuning" sebagai tanda hati - hati akan berubah menjadi "kartu hijau", namun jika tidak terpilih kembali maka berubah menjadi "kartu merah". Mari, kita sama-sama menantikan dan turut menentukan hasilnya kelak ................................
Selamat berjuang Zaadit semoga cepat jadi sarjana dan selamat juga bagi Presiden Jokowi yang bersedia menerima kritik.
Salam Demokrasi
sumber gambar : https://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2018/02/05/topil-kartu-kuning-jokowi-5a785b60caf7db33e4723ed2.jpg?t=o&v=480&x=240
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H