Mohon tunggu...
Yohanes Yanris
Yohanes Yanris Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ceria adalah salah satu pilihan di antara banyak pilihan untuk menyikapi keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan (yanris)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Tinju dan Sifat Aneh Manusia

7 Mei 2015   07:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:18 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Tentu Anda, terkhusus pecinta tinju, masih ingat petarungan dua petinju besar pada minggu 2 Mei 2015 yang lalu. Pertarungan antara Mayweather ( The Money ) vs Manny Pacquaio ( Pacman ) yang bertajuk “Pertarungan Abad Ini” tersebut telah mengundang banyak perhatian masyarakat. Apalagi setelah hasil pertarungan yang diluar dugaan dan masih menjadi bahan perbincangan menjadikan pertarungan tersebut tampak begitu istimewa.

Saya tidak akan mengulas tentang pertandingan tersebut karena saya melihat dan membaca telah banyak tulisan orang mengulas tentang laga tersebut. Sebenarnya tulisan ini merupakan hasil lamunan saya sejak lama dan entah mengapa baru saat ini sempat menuangkannya dalam sebuah tulisan yang harapannya dapat dipahami. Kalaupun tidak itu bukan salah Anda yang membaca, namun salah saya dalam menuangkannya.

Disadari atau tidak, tinju telah menjadi salah satu olah-raga favorit masyarakat Indonesia. Sejak masa kecil saya, ketika stasiun televisi (kala itu masih ada TVRI saja) menyiarkan siaran langsung tinju, hampir seluruh orang di kompleks rumah keluarga saya berkumpul untuk menyaksikkan pertarungan tinju. Kami hanya berteriak riang ketika kedua petinju saling melakukan jual beli pukulan.

Terlepas dari itu semua, ada sesuatu yang ganjil menurut saya terhadap olah raga satu ini. Apa? Tenang, saya akan coba ceritakan.

Setiap kali menyaksikkan sebuah laga tinju, tidak jarang kedua petinju babak belur, wajah lebam, dan darah bercucuran. Setiap penonton memiliki jagoannya masing- masing yang mereka unggulkan sebagai juara. Para penonton berteriak, bergemuruh ketika pukulan Sang jagoan mendarat tepat pada sasaran. Teriakan semakin menggema ketika Sang Jagoan dengan membabi buta melesakkan pukulan pada lawannya dan semakin keras lagi ketika Sang jagoan berhasil mengkanvaskan lawannya yang jelas tak berdaya. Lalu wajah Sang pemenang di close up dengan masih penuh darah dan lebam. Dengan keringat yang masih bercucuran Sang pemenang diwawancara dan penonton masih bersorak mengelu-elukan pemenang. Di sisi lain,pendukung yang kalah memilih diam menyaksikkan pesta kemenangan itu.

Di mana anehnya? Setiap kali melihat sebuah pertandingan tinju, saya teringat sekian tahun yang lalu. Teringat suatu masa di mana di kampung saya dan leluhur saya begitu marak terhadap sebuah pertandingan laga yang tak kalah seru dari sebuah laga tinju yang bertajuk pertarungan abad ini. Pertandigan yang saya maksud adalah “pertandingan” Ayam Jago (jantan). Orang lebih mengenal denga istilah sabung ayam.

Tidak berbeda jauh dengan sebuah laga tinju. Dalam arena sabung ayam ada dua ayam yang siap berlaga di mana keduanya memiliki pendukung dan pelatih. Ketika laga dimulai semua penonton bersorak, berteriak memberi semangat jagoannya. Petarungan berdarah-darah hingga yang lemah kalah melarikan diri dari arena atau yang masih kuat nyali masih berdiri hingga terkadang sampai mati.

Perbedaannya adalah ketika sabung ayam dianggap sebagai sebuah tempat perjudian kemudian dilarang dan kegiatan semacam itu dianggap sebagai salah satu tindakan melanggar hukum. Tentu yang dihukum adalah orang-orangnya bukan ayam yang sedang berlaga. Ironisnya, tinju yang mengadu dua manusia untuk saling baku hantam justru legal dan bahkan disiarkan langsung oleh televisi. Lalu wajah sang petinju di pajang di berbagai media. Di kemudian hari, foto mereka ketika sedang menerima dan atau menerima pukulan menghiasi halaman surat kabar.

Di situlah letak keanehannya bagi saya. Betapa tidak, saya yakin dalam sebuah laga tinju juga terjadi praktik perjudian. Bahkan sebelum pertandingan dimulai terkadang berbagai macam bentuk taruhan telah disepakati. Betapa jahatnya manusia bertaruh atas nasib orang lain yang saling beradu pukul hingga babak belur.

Percaya atau tidak, binatang memilik insting bertahan dan mempertahankan diri. Maka dalam dunia mereka (binatang) bertarung adalah suatu yang alami karena petarungan adalah bagian dalam siklus hidupnya. Sebaliknya, manusia diagung-agungkan sebagai makhluk yang memiliki akal budi justru berperilaku seperti binatang. Bersorak gembira melihat sesamanya beradu. Bahkan menjadwalkan dan diklankan jauh-jauh hari sebelum petarungan digelar. Atau jangan-jangan manusia itu juga semacam binatang, ya? Sehingga perilaku sebenarnya tidak jauh berbeda dengan binatang? Akhh… aneh dan rasanya saya juga semakin aneh. Aneh-aneh saja. Salam Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun