Konon, saat orang yang kita cinta tiada, akan bertambah satu bintang di angkasa. Kata-kata itu selalu keluar dari mulutnya setiap kali saya bertanya mengapa ia betah berlama-lama duduk sembari menatap angkasa setiap malam tiba.
Seperti pada malam-malam yang lalu, lelaki itu telah duduk di gardu ronda. Hanya ada satu gardu ronda yang ada di ujung kampung. Bila malam menjelang, memang gardu tidak pernah sepi orang, terutama remaja kampung yang sering menggunakan tempat itu untuk berkumpul sambil meronda. Dan lelaki itu bukanlah salah satu warga di kampung kami.
Orang-orang kampung pun tidak ada yang mengenal dan mengetahui latar belakang lelaki itu. Dari tingkah dan gelagatnya yang aneh, orang-orang kampung menganggapnya sebagai orang gila. Lelaki itu memang belum lama ini sering duduk di gardu ronda setiap malam mulai berangkat.
Saya sendiri, semula, tidak terlalu mempedulikan lelaki itu. Tetapi, entah mengapa akhir-akhir ini saya menjadi tertarik untuk mengetahui siapa sebenarnya lelaki itu. Apakah dia benar-benar gila? Atau…?
Pernah suatu ketika, lelaki itu kuajak berbincang, tetapi seperti yang Anda duga juga, lelaki itu sama sekali tidak menanggapi. Yang terlontar dari mulutnya hanyalah angka-angka sambil sesekali telunjuknya mengarah ke langit. Ia menghitung bintang.
“ To, sudahlah! Lelaki itu gila! Orang gila, kok, mau kamu ajak bicara, bisa-bisa kamu jadi ikut ketularan gila!” kata Martoyo yang kebetulan malam itu ikut ronda bersama saya dan dua teman lain; Masijan dan Purwadi.
“Kamu mau minta nomor? Percuma !” Sahut Masijan, “ kemarin, aku coba minta nomor sama dia. Nggak tahunya dia kasih aku nomor, langsung aku beli nomor yang dia kasih itu. Tapi, nggak ada yang tembus!”
“ lha, wong dia itu gendheng karena kalah main nomor, kok, kalian malah minta nomor sama dia. Ya, jelas luput semua!” Kata Purwadi ikut mengomentari.
“ Memang begitu ?” saya penasaran.
“ Lha, siapa tahu begitu ! “ balasnya
“ Siapa tahu ? “ tanya saya lagi.
Meraka bertiga saling menatap, kemudian menatap saya. “ Mbokmu !” kata mereka serempak sambil terbahak dan saya hanya diam. Bingung dan semakin tidak mengerti. Lelaki itu juga diam dan masih menatap angkasa. Menghitung bintang, saya kira.
Kali ini, saya beranikan diri untuk menghampiri dan duduk di sampingnya. Lelaki itu tetap diam. Seolah tidak merasakan kehadiran saya atau barangkali tidak mempedulikan keberadaan saya. Dan untuk kesekian kalinya, saya tanyakan kembali sebuah pertanyaan yang sama.
“ Mengapa kau tak bosan menatap menatap angkasa?” Lelaki itu tetap diam. Ia menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Ia melirikku sebentar, mengeluarkan sebatang rokok dari balik saku bajunya, kemudian menyalakannya.
“ Konon, saat orang yang kita cinta tiada, akan bertambah satu bintang di angkasa “ katanya perlahan sambil menghisap rokoknya. Di sudut lain, Martoyo, Masijan, dan Purwadi masih asyik bermain domino.
Saya tidak menangkap maksud kata-kata itu. Saya lupa, bukankah lelaki itu gila seperti kata orang-orang terhadapnya. Tetapi aku tidak mengagapnya demikian, entah mengapa. Atau jangan-jangan, saya sudah ikut gila?
“ Dari mana asalmu ?” tanya saya lagi
“ Satu…”
“ Rumahmu ?”
“ Dua…”
“ Saudaramu ?”
“ Tiga… “ lelaki itu terus mengurutkan angka-angka. Tidak ada satu pun pertanyaan saya yang dijawabnya.
“ Hai Jan, lihat itu itu Karto sudah ketularan gendheng. Orang gila, kok, diajakrembugan!”
“ Biarkan saja, nanti kita katakan sama Mbok Dalimah kalau anaknya sekarang sudah jadi orang pintar!”
“ Lho kok ?”
“ Lihat saja! Dia sudah pinter ngomong sama orang edan, berarti sudah punya daya linuwih “. Mereka bertiga tertawa. Aku tetap tidak menghiraukannya.
“ Apa kamu telah ditinggal oleh orang yang kamu cinta?” tanya saya kemudian dan lelaki itu tetap tidak menghiraukan pertanyaan saya. Namun, tiaba-tiba lelaki itu bangkit berdiri. Dihempaskannya rokok yang sedari tadi ia nikmati.
“ Astaga…astaga…tidak…tidak mungkin !” serunya.
“ Hai, ada apa ? “ saya bertanya dengan penuh penasaran.
“ Kumat !!!” Seru Purwadi menanggapi saya dan mereka bertiga tertawa. Lelaki itu bersimpuh tanah. Tampak ada kaca di matanya.
“ Tidak…ini tidak mungkin !” katanya berulangkali. Lelaki itu menatapku. Mulutnya kini bergetar dan matanya benar-benar bagai lilin menyala yang siap mengalirkan lelehannya.
“ Sepuluh…duapuluh…akh…tidak…ratusan, ya…ratusan…!!!” serunya lagi. Dan saya menatapnya, semakin penasaran, tapi saya tetap tidak mengerti. Tiba-tiba saja lelaki itu menggenggam kerah baju saya dan menarik dengan kuat, sehingga wajah saya menatapnya begitu rapat. Terlalu rapat.
“ Konon, saat orang yang kita cinta tiada, akan bertambah satu bintang di angkasa ! “ katanya lirih.
“ Maksudmu…? “ Tanya saya mencoba untuk lebih mengerti. Tetapi, lelaki itu mkenghempaskan tubuh saya. Segera pula lelaki itu menyumpal telinganya dengan kedua tangannya.
“ Cukup…!! Mereka menangis..!”
“ Mereka? Mereka siapa? Keluargamu?” lelaki itu tak menjawab. Ia tersungkur pada tanah. Kini ia menangis. Ya, lelaki itu benar-benar menangis. Saya yakin itu.
“ Terlalu banyak…terlalu banyak malam ini!” lelaki itu tertunduk tak berdaya. Mulutnya tampak terus bergerak, menggumamkan sesuatu yang masih saja tidak saya mengerti.
Kini, saya mencoba menatap angkasa, mencoba meraba sesutu yang berada di sana untuk mengerti. Ya, sekedar mengerti sesuatu yang tidak juga saya mengerti.Bintang memang begitu banyak malam ini. Hampir rata bintang mengantung manja di atas sana, berkerlap-kerlip bergantian, kadang terang, dan terkadang suram. Tetapi, maafkan saya. Saya masih belum mengerti. Atau justru sekarang saya telah benar-benar terhasut kata-kata lelaki itu dan benar-benar talah menjadi gila? Lelaki itu bangkit berdiri dan berlahan berjalan menghampiri saya.
“ Semoga esok malam, bintang tidak bertambah sebanyak malam ini, karena konon, saat orang yang kita cinta tiada, akan bertambah satu bintang di angkasa. Olehnya, tak bosan ku lumat cakrawala untuk sekedar melepas kerinduan bagi mereka yang kucinta” bisiknya kepada saya sambil berlalu.
“ Ya,semoga…!” saya menanggapi seolah mengerti apa yang sedang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H