Mohon tunggu...
Yohanes Yanris
Yohanes Yanris Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ceria adalah salah satu pilihan di antara banyak pilihan untuk menyikapi keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan (yanris)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Namanya Kuat

8 April 2015   07:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:23 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Kuat, Kuat Simalagat lengkapnya. Konon kabarnya, ini keluar langsung dari mulutnya, nama itu diberikan oleh bapaknya. Nama itu juga tidak mewakili latar belakang asalnya, ia tidak dari daerah yang identik dengan nama-nama bermarga. Simalagat sendiri adalah kependekan dari siang malam giat. Ya, karena dia kuat hingga bapaknya berharap ia jadi orang yang kuat dan giat bekerja siang dan malam, karena sekali lagi dia adalah Kuat, Kuat Simalagat lengkapnya.

Bapak ibunya bukan orang hebat atau keturunan ningrat. Katanya, Bapaknya dari Jogja, anak buruh tani. Ibunya sendiri dari Solo, hanya anak pedagang intip. Keduanya dipertemukan nasib di tanah rantau yang jauh dari asal mereka masing-masing. Mereka berharap Kuat benar-benar menjadi berkat yang kelak menjadi orang hebat, yang dapat mengangkat derajat keluarga, yang berakhlak mulia, dan yang pasti dapat berguna bagi nusa dan bangsa. Itu juga katanya.

Sebagai anak keluarga biasa, ia cukup bersyukur dapat menyelesaikan sekolahnya sampai sarjana. Dan percaya atau tidak, Kuat adalah satu-satunya anak di daerah tempat tinggalnya yang punya gelar sarjana. Bapaknya dulu pernah bilang, sewaktu membujuk Kuat untuk meneruskan sekolah di perguruan tinggi, kalau orang yang punya pendidikan tinggi pasti nanti hidupnya juga bahagia, gampang dapat kerja, gajinya tinggi, dihormati, dan yang pasti tidak bakal sengsara seperti hidup bapak ibunya. Kuat hanya mengangguk. Maklum, Kuat adalah anak yang berbakti pada orang tua. ia turuti saja kata bapaknya sebab kalau tidak ia takut kualat.

Sewaktu kuliah pun, kuat belajar dengan rajin demi mencapai cita-citanya seperti yang digambarkan bapaknya. Katanya dulu sewaktu ada pergerakan mahasiswa besar-besaran, Kuat juga ikut ambil bagian. Bagiannya bukan berbaris dan berjalan di depan, bukan juga yang berteriak-teriak orasi, atau pun yang ikut berteriak serentak sambil menggenggam berbagai macam tulisan. Kuat ikut membawa plastik berisi bungkusan nasi buat dibagi kepada teman-temannya yang asyik berteriak dan berorasi. Ya, ia ambil bagian sebagai seksi konsumsi. Tapi jangan pikir itu pekerjaan sepele dan tidak berarti. Coba bayangkan kalau tidak ada orang seperti Kuat, pasti mereka tidak kuat berdiri di tengah hari bolong sambil terus berteriak seharian. Lagi pula, katanya, “ berjuang itu tidak melulu di garis depan. Coba banyangkan kalau semua di depan dan tidak ada yang di belakang? Siapa yang mampu memberi dorongan?” Kuat memang memberi kekuatan bagi teman-temannya.

Suatu ketika, masih katanya, mereka dihadang polisi yang berseragam lengkap dengan tameng, pentungan, dan senapan. Tanpa dikomando terjadilah dorong-mendorong. Akhirnya jadilah perang lokal. Batu-batu beterbangan, banyak sandal dan sepatu mahal berserakan di jalanan, yang tertangkap digebuki, yang terkapar jadi obyek foto para wartawan, dan yang lain lari menyelamatkan diri sambil sesekali melempari batu lalu semua itu nanti jadi berita di tipi-tipi dan esok juga muncul di Koran pagi.

Kuat saat itu sudah sembunyi sambil mendekap plastik yang berisi bungkusan nasi yang belum sempat dibagi. Dia benar-benar merasa takut. Lututnya bergetar, jantungnya berdetak kencang, ia hanya pasrah dan menyebut nama Tuhan. Syukurlah namanya Kuat dan doanya pun jadi obat mujarab. Dirinya selamat dari hujan batu dan desing peluru. Tapi beberapa temannya yang diciduk polisi belum kembali dan pasti punya kisah sendiri. Kuat tak sanggup menceritakannya.

Sekian tahun lamanya, lebih tepatnya lima setengah tahun, Kuat pun dapat menyelesaikan sekolah hukumnya. Ia benar-benar dapat gelar sarjana. Namanya kini tidak hanya sekedar Kuat Simalagat, tapi ada embel-embel SH dibelakangnya. Maka, dia kini resmi bernama Kuat Simalagat, S.H. jelas saja itu membuat bapak ibunya gembira. Satu harapan tercapai. Kuat benar-benar jadi orang terpelajar. Peristiwa membanggakan itu diabadikan dan dipajang di rumah, biar orang-orang tahu kalau sekarang ada sarjana di lingkungan rumahnya, ia adalah Kuat, Kuat Simalagat, S.H. lengkapnya. Ini juga masih katanya.

Tapi, kenyataan memang tidak selalu seperti yang dibayangkan. Pekerjaan yang diharapkan tidak dengan mudah ia dapatkan. Berbagai lowongan pekerjaan yang berlatar belakang pendidikannya ia coba, tapi hasilnya sama saja. Tidak satu pun lamaran yang ia masukkan mendapat tanggapan. Sekedar membalas untuk menyatakan penolakan pun tidak ada. Barangkali, alamat yang ia tulis menyulitkan petugas pos menemukan rumahnya, sehingga suratnya hanya berhenti di tong sampah, pikirnya.

Pernah juga ia ikut tes seleksi pegawai negeri. Tapi, hasilnya juga sama. Saat tiba hari pengumuman, namanya tidak muncul di salah satu halaman koran yang biasa menampilkan pengumuman hasil tes. Berulangkali ia baca Koran itu, tapi hasilnya sama saja. Namanya juga tetap tidak muncul. Bukan kuat namanya kalau hanya karena itu ia menyerah kalah. Kuat masih punya cita-cita mewujudkan apa yang menjadi gambaran bapaknya. Ternyata pendidikan tinggi pun bukan jaminan mendapatkan kerja yang layak yang membuka jalan ke kehidupan yang enak.

Suatu hari, ia membaca sebuah lowongan pekerjaan di sebuah Koran yang dijadikan pembungkus nasi. Tidak biasanya pembungkus nasi menggunakan Koran yang masih baru. Mungkin si penjual kehabisan Koran bekas buat pembungkusnya sehingga Koran baru pun dijadikan pembungkus, pikirnya.

Keesokan harinya, Kuat telah berdandan rapi. Syarat-syarat yang dibutuhkan sudah terbungkus rapi dalam map coklat besar. Ia berjalan menyusuri lorong sempit kampungnya sampai akhirnya ia berjalan di barisan took-toko bercat warna-warni yang baru saja diresmikan. Tampak berbagai barang dipajang di etalase toko. Maka, mulailah pikirannya membangun mimpi-mimpi tentang kehidupan yang enak, naik mobil yang sedang trend masa kini, pakai sepatu kulit produk Itali, mengenakan setelan jas dan berdasi, tentu saja dengan seorang wanita cantik sebagai pendampingnya.Kuat juga bermimpitentang derajat yangtinggi, tentang uang yang banyak, tentang kehormatan, dan tentang mimpi-mimpi yang orang tuanya titipkan di pundaknya.

Semua itu segera buyar dari pikirannya. Gemuruh orang berdesakkan memasuki sebuah pertokoan menghancurkan mimpinya yang baru saja ia susun dalam otaknya. Ia sadar itu hanya khayalannya saja. Yang ada dihadapannya hanyalah orang-orang yang berdesakkan memburu barang-barang impian. Dan Kuat? Memeram mimpinya.

Tiba-tiba, seorang wanita yang kebetulan berjalan dihadapannya berteriak ketika menyadari ada sesuatu miliknya yang hilang.

“ copet !” seru wanita itu. Tentu saja hal itu membuat orang-orang yang berada di sana segera berkerumun. Mereka saling menatap.

“ mana copetnya ? “ tenya seseorang. Tanpa ragu wanita itu, entah sengaja atau tidak, entah sadar atau tidak, entah terencana atau spontan, langsung menunjuk kearah Kuat. Kuat tentu saja kaget. Hal ini tidak pernah ada dalam mimpinya.

“ bukan…bukan saya copetnya ! “ bela Kuat.

“ mana ada copet ngaku copet ! “ seru yang lain.

“ demi Tuhan, saya tidak mencopet ! “ Kuat semakin ketakutan.

“ kalau copet ya copet saja, tidak usah membawa-bawa nama Tuhan !“ potong yang lain lagi.

“ tapi benar saya tidak nyopet. Lagi pula masak copet rapi begini ! “ Kuat mencoba membela diri.

“ lha, justru copet sekarang itu pintar-pintar, pakaiannya rapi-rapi, mukanya bersih dan alim ! “ sergah yang lain

“ tapi benar saya tidak…”

“ hajarrrrrrrr!!! “ seru seseorang yang memotong ucapan Kuat. Tanpa ragu-ragu, orang-orang yang berada di situ langsung menghajar Kuat. Kali ini Kuat benar-benar tidak bisa lari sembunyi. Kuat pasrah sambil nyebut nama Tuhan berulang kali. Ia berharap semua itu bagian dari mimpi yang sedang ia bangun, tapi ia sadar itu bukan mimpi. Itu kenyataan yang dihadapinya.

Kuat sadar yang mendarat diwajahnya adalah kepalan tangan. Kuat sadar yang mengenai perutnya adalah tendangan. Kuat sadar yang terasa sakit di punggungnya adalah pukulan sebatang kayu. Kuat sadar ratusan pukulan tidak ia tepis. Kuat sadar banyak kaki meninggalkan bekas biru di sekujur tubuhnya. Kuat sadar yang meleleh dari lubang hidungnya adalah darah. Kuat sadar kali ini ia benar-benar mainan. Kuat sadar dan kesadarannya lebih dari apa yang ia sadari. Kuat sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Kuat sadar telah mencium aspal. Kuat sadar ia masih memeluk erat amplop coklat besar berisi lamarannya. Kuat masih sadar ketika terdengar suara polisi datang. Kuat masih sadar ketika orang banyak berhenti menghajarnya. Kuat sudah tidak sadar ketika ditanya oleh polisi, kata orang.

“ lapor, copetnya sudah mati ! “ kata seorang polisi kepada atasannya.

“ barang bukti ? “

“ siap, hanya ditemukan ini di saku celana ! “ kata polisi itu sambil menunjukkan sebuah dompet yang berisi beberapa lembar uang ribuan dan foto wisuda Kuat bersama kedua orang tuanya.

“ biarkan rumah sakit yang mengurusnya ! “ kata sang atasan.

“ Kasus dan berita acaranya, Pak ? “

“ Batalkan saja, toh, hanya copet ini !” kata sang atasan sambil berlalu.

***

Namanya Kuat, Kuat Simalagat,S.H. lengkapnya. Anak dari keluarga biasa yang telah berhasil jadi sarjana. Katanya, nama itu diberikan oleh bapaknya yang punya harapan besar padanya. Kelak, Kuat jadi orang hebat, orang yang punya kuasa, orang yang mampu mengangkat derajat keluarga, orang yang giat bekerja, dan orang yang berguna bagi negaranya. Kalau tidak salah, itu pernah dikatakannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun