Mohon tunggu...
Yanny Melko
Yanny Melko Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Selalu mencoba

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sertifikasi Guru Lenyapkan Pendidikan Berkarakter

22 Juli 2012   10:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:43 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permendiknas Perlu Digugat

Polemik tunjangan sertifikasi guru terus bergulir. Beban kerja minimal 24 jam tatap muka dalam seminggu yang tertuang dalam Permendiknas No 39 Tahun 2009 tersebut berpotensi memicu persaingan tak sehat antar guru. Selain itu, juga bisa mematikan program pendidikan berkarakter yang dicanangkan saat ini.

“Harus ada gugatan terhadap Permendiknas tersebut. Beban kerja 24 jam tatap muka yang menjadi syarat pemberian tunjangan sertifikasi tidak pas. Karena, beban kerja guru tidak hanya di tatap muka di kelas saja, tapi ada pembinaan yang dilakukan guru di luar kelas, tapi ini tidak dihitung,” ujar Aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumbar Suharyati.

Suharyati menyebutkan, Permendiknas hanya menghitung jam tatap muka dalam kelas sebagai patokan untuk pemberian tunjangan sertifikasi. Sementara, pada dasarnya fungsi guru tidak hanya mengajar dalam kelas, tapi juga memberi pendampingan dan pembinaan terhadap siswa di luar kelas. Jika ini tidak dianggap, artinya guru akan kesulitan memenuhi beban kerja tersebut.

Dengan kondisi demikian, kata Suharyati, guru hanya akan mengejar beban kerja tatap muka, dan kesulitan melakukan pendampingan terhadap siswa. Padahal, pendidikan di luar kelas ini jauh lebih ampuh untuk membina karakter siswa ketimbang teori yang diajarkan di dalam kelas.

“Dalam pendidikan berkarakter, guru diharuskan lebih aktif bertatap muka dengan siswa di luar kelas. Di sana, guru dan siswa bisa lebih dekat sehingga tujuan pendidikan bisa lebih mudah diberikan dan siswa lebih mudah menerima. Aturan ini bisa mematikan hal tersebut,” ujarnya.

Di sisi lain, kata Suharyati yang juga guru di SMP 26 Padang ini, persaingan antar guru untuk berebut jam kerja juga bisa terjadi. Bagi guru di beberapa bidang studi akan kesulitan mengejar target 24 jam tersebut. Pasalnya, pada beberapa bidang studi, beban kurikulum yang akan diajarkan tidak terlalu banyak. Sehingga, dalam satu minggu, guru hanya bertatap muka dengan siswa hanya 2 jam.

“Misalnya saja guru sejarah, paling dalam seminggu hanya 2 jam pelajaran. Artinya, guru sejarah akan kesulitan mencari tambahan jam mengajar. Untuk memenuhi jam kerja tersebut, guru akan berusaha mencari ke sekolah-sekolah lain. Artinya, di sini ada persaingan yang akan muncul antar guru bidang studi tersebut,” ujarnya.

Berbeda dengan bidang studi lain yang memiliki beban kurikulum yang lebih banyak. Seperti matematika dan bahasa Indonesia yang memiliki beban kurikulum 5-10 jam dalam seminggu. Hanya saja, untuk saat ini, guru matematika dan bahasa Indonesia juga kesulitan memenuhi beban kerja karena jumlah guru yang cukup banyak.

Hal ini dipeparah dengan buruknya distribusi guru. Dia mencontohkan, untuk Kota Padang saja, jumlah guru untuk tingkat SMP dan SMA sudah berlebih. Semakin banyak jumlah guru, akan semakin sulit bagi guru untuk memenuhi jam kerja. “Jadi, dengan kondisi ini, apakah salah guru jika beban kerja tidak terpenuhi?,” ujarnya.

Ketua Forum Guru-Guru Kota Padang, Mirwan mengatakan, ketentuan yang terdapat dalam Permendiknas Nomor 39 tahun 2009 dan Permendiknas No 30/2011, tidak seharusnya digunakan sebagai acuan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) dalam mengklarifikasi beban mengajar minimal guru.

“Dalam kedua Permendiknas tersebut, dikatakan pemerintah kota/kabupaten harus selesai melakukan perencanaan kebutuhan dan retribusi guru pada akhir Desember 2011. Namun saat ini, Pemko Padang belum melakukan kewajiban tersebut,” ujar Mirwan.

Kuasa Hukum FKG Miko Kamal mengakui tengah mempelajari upaya yudicial review (tinjau ulang) terhadap aturan beban kerja 24 yang tertuang dalam Permendiknas 39/2009 dan Permendiknas No 30 tahun 2011. Menurutnya, ada perbedaan persepsi antara permendiknas dan guru.

“Permendiknas hanya melihat beban kerja tatap muka di kelas saja, sementara guru menilai 24 jam itu jangan hanya di kelas, tapi ada pembelajaran yang juga dilakukan guru di luar kelas. Ini yang sedang kami pelajari, apakah akan ada yudicial review,,” kata Miko.

Dia mengatakan, tunjangan sertifikasi adalah hak yang diberikan kepada guru yang sudah memenuhi syarat. Mulai dari ujian kompetensi yang dilakukan untuk meperoleh sertifikasi hingga beban kerja. Namun, dia menilai aturan beban kerja yang ditetapkan Permendiknas tidak logis jika hanya memakai jam tatap muka kelas.

Sama dengan dosen universitas, dimana jam kerja yang dihitung tidak hanya tatap muka di kelas, tapi juga penelitian yang dilakukan, serta mendampingi mahasiswa dalam skripsi atau tesis. “Seharusnya guru juga diberlakukan sama. Sehingga guru tidak sulit memenuhi beban kerja, dan mereka bisa memperoleh hak tunjangan,” ujar Miko.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun