Sebuah kota kecil, di sudut jalan yang jarang dilalui, ada sebuah kafe sederhana bernama "Rindu". Suatu sore, Nesa,seorang penulis muda, memutuskan untuk menghabiskan waktu di sana. Ia tengah mencari inspirasi untuk novel terbarunya.
Saat Nesa menyeduh kopi, pintu kafe terbuka, dan seorang pria bernama Nika masuk. Ia terlihat bingung, seolah mencari tempat. Tanpa sengaja, pandangan mereka bertemu. Ada kilatan ketertarikan dalam tatapan itu, namun keduanya berpaling. Nika memilih duduk di meja dekat jendela, sementara Nesa kembali fokus pada laptopnya.
Beberapa menit kemudian, Nika melihat Nesa mencatat sesuatu dengan penuh semangat. Tiba-tiba, laptop Nesa mati mendadak. Dalam kepanikan, ia menjatuhkan charger dan mengeluarkan serangkaian kata yang kurang pantas. Nika, yang mendengar, tak bisa menahan tawa. Nesa menoleh, terkejut.
"Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu," Nika berkata sambil tersenyum. Nesa merasa malu, namun senyumnya kembali merekah. Mereka mulai berbincang, bertukar cerita tentang hobi dan impian. Ternyata, Nika juga seorang penulis, namun masih berjuang untuk menyelesaikan novelnya.
Saat matahari mulai terbenam, Nesa dan Nika menyadari betapa cepatnya waktu berlalu. Mereka setuju untuk bertemu lagi, tanpa menyangka bahwa pertemuan itu akan menjadi titik awal sebuah cerita baru dalam hidup mereka.
Sejak saat itu, mereka rutin bertemu di kafe Rindu. Obrolan ringan berubah menjadi diskusi mendalam, saling mendukung dalam proses menulis. Seiring waktu, benih rasa saling suka mulai tumbuh. Mereka menjadi inspirasi satu sama lain, dan cerita dalam novel masing-masing mulai berkembang.
Nesa sering berpikir, jika saja ia tidak memilih kafe itu, atau jika Nika tidak masuk pada waktu yang sama, mungkin mereka tidak akan pernah bertemu. Namun, entah bagaimana, pertemuan yang tampaknya tidak sengaja itu seolah ditentukan oleh takdir.
Akhirnya, pada suatu malam penuh bintang, Nika memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Nesa, aku merasa kita lebih dari sekadar teman. Apakah kau merasakannya juga?" Nesa tersenyum, matanya berbinar. "Aku merasakannya."
Sejak itu, mereka bukan hanya penulis yang berbagi cerita, tetapi juga dua hati yang saling melengkapi. Takdir yang membawa mereka bertemu di persimpangan jalan itu ternyata adalah awal dari kisah cinta yang indah, yang terus mereka tulis bersama, dengan tinta yang takkan pernah pudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H