Mohon tunggu...
Yan Karina Agatha
Yan Karina Agatha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Airlangga

Halo! Nama saya Yan Karina Agatha, mahasiswi Universitas Airlangga angkatan 2024 Prodi Teknik Industri. Saya suka menulis jurnal, blog, dan karya ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bukan Belanda ataupun Pihak Asing, Tapi Pihak Kita Sendiri yang Menjajah Indonesia

2 Januari 2025   08:56 Diperbarui: 2 Januari 2025   08:57 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ketika berbicara tentang penjajahan, pikiran kita sering kali melayang pada era kolonial dengan sosok penjajah asing seperti Belanda atau Jepang. Namun, penjajahan di era modern memiliki wajah yang berbeda, yaitu penjajahan dari anak bangsa sendiri merupakan kondisi tragis yang harus diakui kenyataannya di negara kita tercinta, Indonesia.  Orang-orang yang tidak bertanggung jawab mengambil sumber daya bangsa ini tanpa ampun, meninggalkan jejak kemiskinan dan ketidakadilan. Namun, jika kita melihat kondisi negeri sendiri saat ini, penjajahan justru datang dari pihak kita sendiri---dari mereka yang memiliki kekuasaan dan kepercayaan tetapi memilih untuk mengkhianati rakyat demi kepentingan pribadi.

Korupsi adalah wujud nyata penjajahan yang lebih keji dalam menghancurkan masa depan bangsa ini. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi dengan 1.695 tersangka, yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp28,4 triliun. Pasalnya, jika penjajahan dari pihak asing berasal dari orang-orang luar yang bukan bagian dari bangsa ini. Tetapi bayangkan apabila orang-orang yang menusuk, mengkhianati, dan menggerogoti bangsa nya sendiri adalah anak kandung ibu pertiwi yang merupakan kawanan kita. Bayangkan, ratusan triliun uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur justru dirampok oleh segelintir orang. Ironinya, para pelaku kejahatan ini sering kali mendapatkan hukuman yang tidak sebanding dengan kerusakan yang mereka sebabkan.

Salah satu buktinya adalah berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyoroti pada alokasi anggaran pendidikan yang mengalami penyelewengan dan belum sepenuhnya diprioritaskan untuk pendidikan dasar. Sebagai contoh, dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, anggaran pendidikan awalnya direncanakan sebesar Rp 722,6 triliun, yang mencakup berbagai program untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, namun dalam pelaksanaannya sebagian anggaran rencana digunakan untuk program lain yang belum jelas dan meskipun bermanfaat, tidak secara langsung terkait dengan peningkatan akses dan kualitas pendidikan dasar.

Fenomena ini menjadi salah satu alasan utama mengapa kesenjangan sosial dan pendidikan  di Indonesia semakin melebar. Banyak studi telah menyoroti hubungan antara korupsi dan buruknya kualitas pendidikan. Salah satu laporan yang sering dikutip adalah dari Transparency International, yang menunjukkan bahwa korupsi di sektor pendidikan mengalihkan dana yang seharusnya untuk infrastruktur, gaji guru, dan fasilitas siswa, sehingga memperburuk akses dan kualitas pendidikan, sehingga negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memiliki kualitas pendidikan yang buruk.

Ironisnya, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi seringkali tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. ICW mencatat bahwa mayoritas pelaku korupsi divonis ringan sepanjang 2023, dengan hukuman penjara rata-rata hanya 3 tahun 4 bulan. Salah satu contoh mencolok adalah kasus seorang pengusaha yang terlibat dalam korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun, namun hanya divonis 6,5 tahun penjara.

Bagaimana mungkin seseorang perampok uang negara hingga ratusan triliun hanya dihukum beberapa tahun penjara? Hukuman ini bahkan terasa seperti sindiran pahit bagi rakyat yang harus bekerja keras untuk sekadar bertahan hidup ataupun seorang nenek yang hanya mencuri 7 batang kayu dan dipenjara 1 tahun. Bandingkan dengan seorang pedagang kecil yang mencuri makanan karena lapar; ia bisa menghadapi hukuman lebih berat karena tidak memiliki kuasa atau uang untuk melindungi dirinya. Dan seorang pencuri beras yang akhirnya mati diamuk massa. Bukannya mewajarkan pencurian dalam jumlah sedikit, tetapi ingin memelekkan dimana sebenarnya letak keadilan di negeri ini yang selama ini dikoar-koarkan oleh aparat penegak hukum atau pejabat pemerintah, namun mereka lah yang menjadi pedang bermata dua yang justru menusuk dan membunuh masa depan negeri. Hukuman ringan terhadap pelaku korupsi besar adalah tamparan keras bagi rakyat yang terus berharap akan perubahan. Jika para penguasa tidak segera bertindak tegas, maka rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap sistem.

Sistem ini menciptakan ketidakadilan yang mencolok. Uang, pengaruh, dan "relasi" sering kali menjadi tameng bagi mereka yang melakukan pelanggaran besar. Dengan kekayaan yang masih tersisa, para pelaku kejahatan ini tetap dapat hidup nyaman, sementara rakyat terus menanggung beban akibat kerugian yang ditimbulkan.

Meski diusahakan sekeras apapun, apabila masalah utama penggerogotan untuk kepentingan pribadi ini tidak teratasi, maka sampai kapan pun usaha meningkatkan kesejahteraan warga sendiri hanyalah omong kosong belaka. Mereka yang memiliki kekayaan dan koneksi terus memperkaya diri, memanfaatkan celah hukum dan kebijakan untuk melindungi kepentingan mereka. Sementara itu, rakyat kecil terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit ditembus. Kini nyatalah gagasan teori ekonomi yang mengacu pada Matthew Effect pada tahun 1968 oleh Robert K. Merton, seorang sosiolog Amerika bahwa "orang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin akan semakin terpuruk dalam kemiskinannya."

Setiap rupiah yang dikorupsi, berarti satu anak kehilangan akses pendidikan yang layak. Setiap anggaran proyek infrastruktur yang dikorupsi, berarti ada jalan yang tetap berlubang mengancam keselamatan rakyat. Setiap penggelapan dan penyuapan dana sosial, berarti ada keluarga yang kelaparan. Dan ketika hukuman bagi pelaku kejahatan besar ini terkesan ringan, pesan yang diterima masyarakat adalah: hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.

Sudah saatnya kita sebagai rakyat Indonesia dan anak kandung ibu pertiwi mempertanyakan dan menuntut keadilan yang sejati. Penegakan hukum tidak boleh tunduk pada uang dan kekuasaan. Hukuman bagi koruptor harus setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan, bahkan seharusnya, mereka para koruptor, penyuap, dan segenap keluarganya dimiskinkan dengan peraturan perundang-undangan dan harta kekayaan mereka seharusnya disita untuk mengganti kerugian negara.

Lebih dari itu, kita harus memberdayakan masyarakat untuk lebih terlibat dalam pengawasan penggunaan dana publik. Transparansi dan akuntabilitas bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Teknologi digital harus dimanfaatkan untuk memudahkan rakyat mengakses informasi tentang anggaran dan proyek pemerintah. Transparansi dengan digitalisasi untuk mempermudah dalam mengurangi kasus korupsi di Indonesia dapat dilakukan dengan sistem blockchain untuk proses audit seperti yang telah dilakukan negara Estonia. Estonia telah menjadi pelopor penerapan teknologi blockchain dalam pengauditan dan terbukti telah berhasil mengurangi korupsi. Menurut Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis oleh Transparency International, Estonia telah menunjukkan perbaikan signifikan dalam peringkatnya yaitu di tahun 2012 memperoleh skor 64 dalam hal kesejahteraan penduduk, peringkat 32 dari 176 negara menjadi skor 74, peringkat 13 dari 180 negara di tahun 2021 mengenai kesejahteraan penduduk akibat berkurangnya korupsi. Selain itu, rakyat juga harus dibekali dengan kecerdasan dan pelatihan yang memadai agar kualitas sumber daya manusia Indonesia semakin unggul sehingga tidak terus menerus dibodohi dengan kata-kata dan janji manis yang omong kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun