Mohon tunggu...
Sri Mulyani
Sri Mulyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya Berkuliah Di Universitas Pamulang Pendidikan Ekonomi S1

Ibu Rumah Tangga yang menjadi Mahasiswa, Berharap lebih baik dari sebelumnya.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Mahasiswa yang Bermental Mahasiswa, seperti Apa Sih?

10 November 2024   17:09 Diperbarui: 10 November 2024   17:10 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Menjadi mahasiswa seringkali diidentikkan dengan masa pembentukan jati diri, di mana pemikiran kritis, kemandirian, dan kemampuan untuk menerima perbedaan pandangan seharusnya berkembang. Namun, di tengah perjalanan menuju kedewasaan ini, ada fenomena yang sering kali justru menyimpang dari esensi seorang mahasiswa. Fenomena ini adalah munculnya sosok-sosok yang menganggap dirinya memiliki ‘mental mahasiswa’—sosok yang berani bersuara lantang, bahkan vokal terhadap berbagai isu, namun sayangnya tidak diiringi dengan kedewasaan dalam bertindak.

Mahasiswa tipe ini kerap kali sulit menerima kritik, merasa dirinya selalu benar, dan lebih senang mengurusi kehidupan orang lain daripada berfokus pada pembelajaran dan pengembangan diri. Mereka beralasan bahwa kepedulian ini adalah bentuk kontribusi, namun dalam praktiknya, tindakan mereka cenderung memaksa, melontarkan kritik dengan kata-kata yang kasar, dan bahkan mengganggu privasi orang lain seakan-akan kehidupan rekan-rekan mahasiswa adalah urusan pribadinya.

Apakah ini yang dimaksud dengan mentalitas mahasiswa sejati? Apakah menjadi mahasiswa berarti bebas bertindak tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain? Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang fenomena ini, menguraikan sisi-sisi yang seringkali terabaikan, dan mengajak para pembaca, terutama mahasiswa, untuk berefleksi: apakah tindakan kita selama ini sudah mencerminkan sikap yang dewasa dan bertanggung jawab, atau justru menjadi cerminan dari ego dan ketidakmatangan?

Artikel ini saya tulis dalam rangka kegiatan menulis di Unit Kegiatan Mahasiswa Disabilitas (UKMD), yang merupakan bagian dari LLD atau Lembaga Layanan Disabilitas di Universitas Pamulang. LLD ini dibentuk oleh universitas untuk mendukung mahasiswa disabilitas dalam menempuh pendidikan tinggi, menyediakan berbagai layanan yang memudahkan akses, bimbingan, dan fasilitas agar kami dapat mengikuti perkuliahan dengan baik dan merasa menjadi bagian penuh dalam kehidupan kampus. Dengan adanya UKMD, kami yang memiliki keterbatasan fisik atau sensorik mendapatkan ruang untuk berbagi, berkolaborasi, dan mengembangkan diri secara setara di lingkungan kampus.

Namun, di tengah upaya mulia ini, muncul fenomena yang perlu kita renungkan bersama. Di UKMD, ada sebagian yang merasa bahwa posisi mereka sebagai pengurus atau senior memberi mereka hak untuk mengkritik rekan-rekan lain secara terbuka tanpa memperhatikan tata krama. Kritik yang semestinya bisa membangun sering kali berubah menjadi kata-kata kasar yang diklaim sebagai "keakraban" atau "humor antar teman," meskipun tidak jarang justru melukai perasaan dan menimbulkan perpecahan. Mengingat ruang ini seharusnya menjadi tempat yang aman bagi kami semua, tindakan yang tidak sopan semacam ini justru merusak harmoni yang ingin dibangun.

Mirisnya, hanya karena tidak ada dosen atau pengawas, mereka yang mengaku memiliki ‘mental mahasiswa’ merasa bebas bertindak semaunya, tanpa mempertimbangkan etika atau dampak emosional yang dirasakan oleh rekan-rekan lainnya. Dengan tulisan ini, saya berharap kita semua bisa lebih memahami bahwa menjadi mahasiswa, terlebih lagi mahasiswa yang memiliki tanggung jawab di dalam organisasi, berarti juga belajar menjadi pribadi yang bisa menghargai dan memperlakukan orang lain dengan baik. Kesopanan, empati, dan kemampuan untuk menyampaikan kritik secara bijak bukanlah sekadar pelengkap, tetapi justru menunjukkan kualitas sejati seorang mahasiswa.

Perlu saya sampaikan dengan jelas bahwa artikel ini tidak ditujukan untuk menyudutkan atau merusak nama baik salah satu organisasi atau lembaga, termasuk UKMD maupun LLD di Universitas Pamulang. Tulisan ini bukan kritik terhadap UKMD pada umumnya, yang justru memiliki misi mulia dalam mendukung mahasiswa disabilitas agar dapat berkuliah secara setara. Fokus artikel ini adalah pada oknum mahasiswa yang menyalahartikan konsep 'mental mahasiswa' sebagai alasan untuk bertindak seenaknya terhadap sesama mahasiswa.

Di antara mereka, ada yang merasa berhak untuk mengkritik mahasiswa lain tanpa mempertimbangkan tata krama, seolah mereka bebas berbicara kasar hanya karena merasa lebih senior atau memiliki posisi tertentu di organisasi. Di grup WhatsApp, misalnya, jika ada percakapan atau kritik dari mahasiswa baru yang tidak mereka sukai, mereka kerap menghapus pesan-pesan tersebut untuk menghilangkan jejak, seakan ingin menghindari tanggung jawab atau mengesankan seolah tak ada kritik yang pernah ada. Tanpa keberadaan dosen pembimbing LLD, kata-kata kasar seperti 'goblok' atau hinaan kepada rekan mahasiswa lain yang dianggap kurang pintar kerap dilontarkan. Fenomena ini mengusik hati saya, karena jauh dari esensi menjadi mahasiswa yang sebenarnya, yang seharusnya memiliki empati, kesabaran, dan sikap bijak dalam menghadapi perbedaan.

Melalui artikel ini, saya mengajak kita semua, baik mahasiswa baru maupun yang sudah lama, untuk merenungkan apakah sikap ini layak disebut sebagai mentalitas mahasiswa sejati. Semoga dengan memahami dampak dari tindakan semacam ini, kita bisa lebih menghargai nilai-nilai kesopanan dan tanggung jawab yang menjadi pilar penting dalam kehidupan mahasiswa di lingkungan akademik.

Sebagai ibu rumah tangga yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di tahun 2023, saya merasa bahwa langkah ini adalah perjalanan yang sangat berarti. Keputusan untuk kuliah setelah sekian lama terhenti bukanlah hal yang mudah. Saya memilih Universitas Pamulang bukan hanya karena memiliki fakultas yang saya inginkan, tetapi juga karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari rumah saya di Bekasi, membuat saya merasa lebih nyaman dan mudah mengikuti perkuliahan.
Saya sangat bahagia dan bersyukur bisa kembali melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda. Dengan adanya kesempatan ini, saya berharap dapat terus berkembang dan memberikan teladan yang baik bagi anak-anak saya. Proses belajar di Universitas Pamulang juga semakin memberi saya perspektif baru, terutama dalam memahami dinamika kehidupan kampus, termasuk berbagai tantangan dan fenomena yang ada di dalamnya.

Selain itu, suami saya juga sangat mendukung semua kegiatan yang saya lakukan, baik itu mengikuti perkuliahan maupun berpartisipasi dalam berbagai event dan kegiatan yang diadakan oleh UKMD dan LLD di Universitas Pamulang. Dukungan dari suami saya sangat berarti, karena tanpa dukungannya, saya mungkin akan kesulitan menjalani semua aktivitas ini sambil mengurus rumah tangga. Keputusan untuk melanjutkan pendidikan ini bukan hanya untuk diri saya, tetapi juga untuk masa depan keluarga kami.
Ketika pertama kali masuk kuliah, saya merasa sangat bahagia dan bersyukur karena saya dibimbing oleh LLD dan UKMD dalam mengikuti perkuliahan berbasis online atau e-learning. Sistem perkuliahan ini sangat membantu saya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan keadaan dan rutinitas saya yang masih mengurus rumah tangga. Selain itu, saya juga merasa sangat diberdayakan karena mendapatkan bimbingan yang sangat bermanfaat untuk mendukung proses pembelajaran saya.
Selama menjalani perkuliahan, saya tidak merasa sendirian. Semua dosen yang mengurus LLD sangat baik dan lebih dari sekadar baik. Mereka dengan sabar dan penuh perhatian membantu saya beradaptasi di kampus, memastikan bahwa saya bisa mengikuti perkuliahan dengan lancar. Tidak hanya itu, mereka juga membimbing saya dengan penuh perhatian dalam setiap mata kuliah yang saya ambil, serta membantu saya mendapatkan hak pendidikan yang sangat layak—sebuah hak yang saya rasakan sangat berarti untuk saya, sebagai mahasiswa disabilitas. Tanpa bantuan dan perhatian mereka, saya mungkin akan kesulitan menjalani pendidikan ini dengan baik.
Bahkan sampai sekarang, seluruh dosen yang menjadi pengurus di Lembaga Layanan Disabilitas (LLD) terus memberikan bimbingan, nasihat, dan arahan yang sangat berarti bagi saya sebagai seorang mahasiswa disabilitas. Mereka tidak hanya sekadar mengajar, tetapi juga berusaha memahami kebutuhan saya, memberi dukungan yang saya butuhkan, dan memastikan saya tetap semangat menjalani perkuliahan. Mereka terus mendorong saya untuk tidak hanya menjadi mahasiswa yang baik, tetapi juga mahasiswa yang berprestasi, meski saya tahu masih banyak hal yang harus saya pelajari dan perjuangkan.
Dengan bimbingan mereka, saya merasa semakin percaya diri untuk terus melangkah maju, menjadi bagian dari dunia pendidikan tinggi, dan berkontribusi sebagai mahasiswa yang dapat memberikan dampak positif, baik bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan sekitar. Mereka mengingatkan saya bahwa kesempurnaan itu tidak datang dengan mudah, tetapi melalui proses yang terus-menerus. Bahkan, mereka mengajarkan saya bahwa keberanian untuk terus berusaha menjadi hal yang lebih penting daripada mencapai kesempurnaan itu sendiri.
Begitu juga dengan para dosen dan seluruh civitas akademika di Universitas Pamulang yang memberikan saya ruang yang tepat untuk berkembang. Mereka memberi kesempatan bagi saya untuk berkolaborasi dalam dunia inklusi, berinteraksi, dan berbaur dengan mahasiswa yang non-disabilitas. Ini adalah pengalaman yang sangat luar biasa dan mengharukan bagi saya. Saya merasa diterima sepenuhnya, tanpa diskriminasi, dan itu membuat saya semakin yakin bahwa pendidikan adalah hak yang harus dimiliki oleh semua orang, tanpa terkecuali. Saya sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan saya kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan ini dengan penuh semangat dan keyakinan.
Namun, di pertengahan perjalanan pendidikan saya, ketika saya sedang belajar hal-hal baru, terutama dalam berkontribusi—seperti merangkai dan merancang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Pengabdian Kepada Masyarakat, membuat jurnal, dan mencoba belajar menentukan judul buku untuk diterbitkan, saya bertemu dengan oknum mahasiswa disabilitas lainnya yang justru mengobok-ngobok kehidupan saya. Mereka mengkritik mahasiswa baru, termasuk kami, dengan alasan harus 'upgrade diri', harus tahu diri, dan harus mengabdi. Mereka tidak segan-segan untuk menghina, berkata kasar, dan merendahkan kami di forum grup WhatsApp yang tidak ada dosen pembimbingnya.
Ketika mereka mengkritik, itu bukan kritik yang membangun. Mereka menyerang personal kami, menilai kami berdasarkan kemampuan yang menurut mereka tidak memadai—seperti tidak bisa menulis dengan rapi, meragukan analisis yang kami buat, atau bahkan mempertanyakan tujuan kami di dunia pendidikan. Mereka mengklaim bahwa hinaan-hinaan tersebut adalah cara untuk menunjukkan 'mental mahasiswa' yang seharusnya dimiliki. Bahkan salah satu dari mereka mengatakan kata-kata seperti 'goblok', dan mereka mencoba membenarkan itu dengan alasan bahwa kata-kata kasar seperti itu adalah bentuk keakraban antara teman. Bagi mereka, itulah cara seorang mahasiswa seharusnya berinteraksi dengan sesama mahasiswa, seolah-olah itu adalah hal yang wajar dan dapat diterima.
Perilaku ini sangat menyakitkan, apalagi datang dari sesama mahasiswa disabilitas, yang seharusnya saling mendukung dan memberi semangat. Bukannya mengajak untuk berkembang bersama, mereka malah menyebarkan kebencian dan penghinaan. Ini sangat jauh dari esensi yang katanya mental mahasiswa yang sesungguhnya. Mental mahasiswa yang sejati seharusnya adalah mental yang penuh empati, pengertian, dan rasa hormat terhadap sesama, bukan yang mengandalkan hinaan sebagai cara untuk menegakkan posisi atau eksistensi mereka.
Lebih parah lagi, ketika saya berusaha menegur oknum mahasiswa yang mengaku bermental mahasiswa itu, saya melakukannya dengan niat baik dan berdasarkan fakta. Namun, alih-alih menerima kritik, mereka justru berdalih bahwa saya tidak mengikuti diskusi dengan baik di grup WhatsApp yang tidak ada dosen pembimbingnya. Mereka dengan mudah menyatakan bahwa jika ada yang emosi, maka orang tersebut harus dikeluarkan dari diskusi. Seolah-olah mereka menilai diri mereka lebih berhak mengatur jalannya percakapan hanya karena mereka menganggap diri mereka lebih tahu, dan menyamakan situasi ini dengan kondisi di kelas atau lingkungan mahasiswa non-disabilitas.
Yang lebih mengiris hati, mereka langsung mengunci grup WhatsApp dan menghapus pesan kritikan saya, seolah-olah kritik tersebut tidak pernah ada. Mereka tidak bisa menerima pandangan atau pendapat lain selain dari mereka sendiri. Mereka membenarkan segala tindakan mereka, tanpa peduli seberapa menyakitkan atau merendahkan kata-kata yang mereka lontarkan kepada kami—mahasiswa baru yang sedang berusaha belajar dan berkembang. Mereka menghina kami dengan kata-kata kasar, merendahkan kemampuan kami, dan menyamakan kami dengan diri mereka sendiri, hanya karena mereka merasa lebih ‘bermental mahasiswa’. Ini bukan sekadar penghinaan; ini adalah perlakuan yang melukai perasaan dan menghancurkan semangat belajar kami.
Yang lebih mengecewakan, ini terjadi di lingkungan UKMD, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa disabilitas untuk berkembang bersama. Bukankah kita seharusnya saling mendukung, terutama di tempat seperti ini? Bukankah kita seharusnya tahu betul bagaimana rasanya dihina atau dipandang sebelah mata? Tetapi kenyataannya, di tempat yang seharusnya penuh dengan empati dan dukungan, saya malah menemukan perilaku yang sangat jauh dari itu.
Harapannya, setelah artikel ini terbit, teman-teman disabilitas yang baru masuk ke Universitas Pamulang dan mendapatkan bantuan dari LLD, serta bergabung dengan UKMD, tidak akan lagi mengalami kejadian yang saya alami. Tidak ada lagi oknum mahasiswa yang merasa mereka memiliki hak untuk merendahkan atau menghina sesama, terlepas dari latar belakang atau kondisi fisik yang berbeda, atau kondisi situasi yang berbeda. Saya ingin memastikan bahwa mahasiswa baru yang bergabung dalam lingkungan ini dapat merasakan pengalaman yang penuh dukungan, bukan rasa sakit hati atau penurunan semangat karena perlakuan yang tidak pantas.
Ke depannya, saya berharap tidak ada lagi mahasiswa yang merasa terpojok atau diperlakukan dengan cara yang tidak adil hanya karena mereka masih dalam proses belajar dan beradaptasi. Mereka berhak untuk mengungkapkan pendapat dan berkontribusi dalam forum-forum diskusi tanpa rasa takut dihina atau dianggap tidak kompeten. Pendidikan harus menjadi ruang yang aman untuk berkembang, bukan arena untuk saling menjatuhkan dan menyakitkan perasaan. Jangan sampai mahasiswa baru nanti terbawa suasana buruk yang bisa merusak semangat mereka untuk terus maju. Kami, sebagai mahasiswa disabilitas, berhak mendapat perlakuan yang sama adilnya, baik di lingkungan akademis maupun dalam organisasi seperti UKMD.
Selain itu, saya berharap agar UKMD dan LLD menjadi lebih dari sekadar tempat untuk mendapatkan pendidikan, tetapi juga menjadi ruang yang benar-benar inklusif dan penuh dengan rasa saling menghargai. Setiap mahasiswa, tanpa memandang kondisi fisik, harus merasakan kehangatan, dukungan, dan rasa aman untuk mengembangkan potensi diri mereka. Pendidikan bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang membangun karakter, memperkaya pengetahuan, dan memperluas perspektif untuk menjadi individu yang lebih baik. Saya ingin agar setiap mahasiswa, baik yang disabilitas maupun non-disabilitas, bisa merasakan kebersamaan yang sejati dalam proses pendidikan ini. Kita semua memiliki hak yang sama untuk belajar, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung satu sama lain.
Ini adalah komitmen yang seharusnya kita miliki bersama, untuk menciptakan atmosfer yang lebih baik di Universitas Pamulang, terutama bagi mahasiswa disabilitas. Tidak ada tempat untuk perilaku yang merendahkan, menghina, atau menganggap rendah orang lain. Setiap individu, baik yang baru maupun yang sudah lama bergabung, berhak untuk mendapatkan ruang yang aman dan penuh dengan dukungan dari semua pihak. Semoga dengan terbitnya artikel ini, kita semua dapat merenungkan pentingnya menjaga rasa saling menghargai dan memahami di lingkungan akademis, agar tidak ada lagi kejadian-kejadian yang merugikan dan menyakiti sesama. Semua mahasiswa—terlepas dari kondisi mereka—berhak untuk mendapatkan hak pendidikan yang layak dan kesempatan yang setara untuk berkontribusi dan meraih kesuksesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun