we love mom-sumber : mim yahoo Saat itu aku belum menikah. Sudah terasa suasana tidak nyaman antara mami dan papi sejak aku belia. Tapi sebagai anak, aku merasa ada yang mengganggu dan saat itu aku tidak menemukan jawabannya. Mami dan Papi tidak pernah menunjukan ribut-ribut didepan semua anak-anaknya. Aku hanyalah seorang anak. Bukan anak berbakti aku rasa. Aku kesal saat pagi aku mau berangkat sekolah , mami masih tertidur. Aku kesal kalo yang kumau ga mami wujudkan. Suatu malam, aku terbangun ingin buang air kecil aku melihat mami sedang mencuci pakaian dengan manual karena mesin cuci kami rusak. Kulirik petunjuk waktu sudah jam 02.10. Aku cuma bertanya sepintas kenapa mami belom istirahat tanpa menunggu jawaban mami lalu kembali ke atas ranjang yang empuk tanpa memikirkan mami yang berdingin-dingin saat membilas pakaian. Suatu pagi mami berusaha bangun dan aku melihat kepala mami dililit tali yang biasa mami gunakan untuk bajunya karena begitu sakitnya kepala mami,begitu mami jelaskan. Dan aku pergi begitu saja setelah mendapatkan uang saku dari mami. Menginjak aku remaja, aku sering tidak menemukan mami saat aku pulang sekolah. Bahkan bisa dibilang mami belakangan ini sering keluar rumah dan pulang larut. Waktu kutanyakan pada Mbok Nah pengasuhku sejak kecil, Mbok Nah hanya menjawab mami pergi dengan Tante Esri yang suaminya adalah rekan sekantor papi. Aku kesal sama mami, benci sama mami karena mami cuma urus urusannya sendiri. Aku marah-marah sama mami. Saat hendak pergi sekolah, aku mengetuk pintu kamar mami dan papi. Mami membalas ketukan dengan kalimat 'iya'nya yang agak panjang.Setelah pintu terbuka, aku melihat mata mami agak sembab. Aku ingat, karena kamar mami papi dan kamarku bersebelahan semalam samar-samar aku mendengar ada yang menangis. Kantuk mengalahkan rasa ingin tahuku.Tapi pagi itu saat melihat mata mami dan bertanya pada mami, mami cuma jawab gakda apa-apa,kurang tidur aja. Mami tetap 'menjalankan' aktifitasnya ; sering keluar rumah dan pulang larut. Sementara aku ingat papi memang suka jarang pulang dengan alasan yang kuketahui sejak kecil adalah menagih keluar kota. Beberapa hari lagi usiaku menginjak 17 tahun,sebagian menganggapnya sebagai usia pembatas dewasa. Paling tidak ditandai oleh boleh nonton film-film untuk orang dewasa. Tapi aku tidak berani mengajukan ke mami untuk membuatkan sekedar nasi kuning. Karena belakangan aku semakin merasa galau. Semakin merasa tidak nyaman, karena sering kali tiap malam sekarang terdengar bunyi gaduh dari kamar mami dan papi. Dan yang membuat aku semakin kacau, mami sekarang sering mengenakan lengan panjang. Saat aku tidak sengaja melihat mami ganti baju, aku melihat luka lebam di paha dan di tangan mami. Aku pengecut tidak menanyakan asal lebam-lebam itu. Tapi naluriku mengarah pada orang-orang yang kucintai. Aku jadi makin sering marah-marah tanpa sebab. Benci tanpa sebab pada mami bukan pada papi. Karena hatiku mulai 'belajar' menyangkal. Hari ulang tahunku tiba, aku sudah siap pergi sekolah. Saat mendekati mami,aku tidak berharap banyak di hari ulang tahunku. Mami memelukku saat aku mendekatinya. Kemudian mami menangis, bukan karena terharu. Menangisnya mami ini adalah hal yang bisa dibilang tidak pernah dilakukan mami paling tidak di depan kami anak-anak mami. Ada apa? "Kamu sudah dewasa, sudah waktunya kamu tahu apa yang terjadi. Papi menikah lagi!" Jduuuuaaaaarrrrrrrrrr..!! seperti disambar petir,terjawab semua segala tanya dari galau dan gundahku selama ini. Aku melepaskan diri dari pelukan mami, tapi mami sepertinya tetap ingin memelukku dan aku meronta mengatakan mami jahat. Aku tinggalkan mami sendirian terduduk di teras dalam tangisnya. Sambil menahan tangis, aku pergi sekolah. Perasaanku bercampur aduk, pikiranku ga konsen ke pelajaran. Saat istirahat sahabat sebangkuku menjadi tempat curhatku. Selanjutnya hari-hariku makin tidak nyaman. Setiap mami ingin mengajakku berbicara, aku selalu menghindar. Aku tidak tahu bagaimana perasaan saudara-saudaraku, aku tidak tahu bagaimana mami memberitahukan kenyataan yang menyakitkan tersebut. Kuperhatikan saudara-saudaraku juga sibuk menghibur diri. Sampai pada suatu hari sepulang aku dari sekolah saat masih di becak, mendekati gerbang rumah aku melihat kerumunan para tetangga. Salah seorang ibu berkata kalo mami kaya orang kemasukan, cekikikan dan teriak-teriak. Aku langsung buru-buru menghampiri mami dan seperti kata tetangga itu mami memang sedang dalam kondisi meraung-raung kemudian cekikikan sendiri. Aku tanpa sadar sudah menangis juga dan menghampiri mami sambil meminta mami sadar dan istigfar. Tapi mami seperti tidak mendengarkanku, tetap cekikikan sambil menangis. Aku melihat papi datang dan papi berusaha melakukan hal yang sama sperti yang aku lakukan ; meminta mami sadar dan istigfar. Kemudian papi menggendong mami dan mendudukannya di lantai kamar mandi lalu menyiraminya dengan air dari bak. Aku menangis dipelukan Mbok Nah apalagi saat melihat mami setelah diguyur papi. Tampak tidak berdaya. Kupapah mami duduk di closet sambil kubuka bajunya dan kuhanduki. Mbok Nah menyiapkan baju salin. Mami tidak cekikikan lagi tapi air matanya masih menetes dan merayap pelan di daerah pipinya. Setelah mami kembali ke kamar, aku menemaninya dan mamih bersandar pada bahuku seolah-olah status kami terbalik; mami-lah anakku. Biasanya, aku tidak berani berhadapan dengan papi. Papi adalah sosok sempurna; idolaku. Aku juara kelas, aku aktif di sekolah semua itu karena papi. Malam itu dengan perasaan bercampuraduk aku tanyakan apa yang sekarang sedang terjadi. Papi menolak berkomentar kemudian papi tidak di rumah berhari-hari. Sejak kejadian itu, aku selalu menemani mami. Dan berusaha mendengarkan curhat mami. Akulah anak perempuan satu-satunya mami dan tempat mami merasa nyaman bercerita. Aku kemudian yang meminta mami supaya tidak menutupi lebam yang tersisa. Aku yang mengoleskan salep dan mengingatkan obat yang harus diminum setelah kubawa mami ke dokter. "Mami, kalo mami tidak tahan dengan perlakuan papi. Aku rela kalo mami harus berpisah dengan papi. Aku akan temani mami hadapi semuanya." Mami menggelengkan kepala. Mami bilang kalo mami akan bertahan sampai kapanpun dan akan tetap berdoa ujian ini segera berlalu. "Sayang, mami akan mengembalikan papimu supaya mau berkumpul bersama kita. Sampai kapanpun, kecuali mami dipanggil yang kuasa mami akan terus berusaha." Sambil memelukku mami melanjutkan,"Satu hal yang harus kamu ingat sayang...andai kau menikah kelak,akulah yang akan mendampingimu di pelaminan bersama papimu. Bukan wanita lain." Saat itu ucapan mami hanyalah sebaris kalimat yang tak kupahami benar. Tapi dikemudian hari aku sadar, itulah pengorbanan mami paling besar untuk kami anak-anaknya. Itulah pencerahan dari mami untuk kami. Terima kasih mami. Selamat Hari Kartini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H