Bulan Muharram adalah bulan yang penting bagi umat Muslim. Tidak hanya karena bulan ini dipakai sebagai penandai masuknya tahun baru Hijriah tetapi karena memang pada bulan ini ada ibadah khusus yang dianjurkan, yakni berpuasa. Selain itu bulan Muharram juga dikenang sebagai bulan penuh duka lara. Ini berangkat dari peristiwa tragis yang menimpa cucu Rasulullah SAW, yakni Imam Husein AS. Tepat pada tanggal 10 Muharram, Imam Husein - putera dari Imam Ali dan Sayyidah Fatimah- terlibat dalam pertempuran yang tidak seimbang melawan pasukan reguler pemerintahan Yazid bin Muawiyah, penguasa dari klan Umayyah yang pada masa itu tengah memegang tampuk pemerintahan.Â
  Didahului dengan beberapa adegan dramatis, pertempuran di area yang bernama Karbala itu berlangsung sengit. Meskipun kalah jumlah, namun rombongan Imam Husein yang lebih kurang berjumlah 60 orang itu mampu memberikan perlawanan berarti bagi 4000 orang pasukan yang dikomandani Umar bin Sa'ad itu (besaran jumlah personil yang terlibat biasanya berbeda antar rujukan sejarah, yang pasti disepakati jumlah kedua pasukan itu memang sangat senjang).  Putra Imam Husein, Ali Akbar, tampil luar biasa dalam palagan itu. Tidak ada satupun musuh yang mampu melumpuhkan pria bertubuh besar ini. Ali Akbar, sebagaimana ayahnya adalah pewaris darah petarung dari Kakeknya, Imam Ali, pria yang merontokkan gerbang besi benteng Khaibar hanya dengan satu pukulan tangan.  Satu-satunya musuh yang akhirnya berhasil menundukkan Ali Akbar hanyalah kelelahan. Musuh itu muncul setelah Ali Akbar mengerahkan seluruh staminanya untuk menjatuhkan musuh yang terus datang slih berganti ke arahnya laksana air bah. Ia gugur pada petang hari itu.
 Kematian putera tertuanya membuat Imam Husein berduka yang teramat sangat. Namun duka itu tidak mampu membuyarkan darah pendekar dalam tubuhnya. Kesyahidan puteranya justru menjadi "re-charging" bagi semangat adik Imam Hassan itu. Para sejarawan menggambarkan betapa pertempuran di Karbala berhasil menampilkan figur Imam Husein sebagai pahlawan sejati. Ia tangguh berduel, tetapi juga bersabar menjadi imam ketika waktu shalat tiba yang makmumnya tidak hanya para pengikutnya tetapi juga musuh-musuhnya (tidak ada seorang pun di padang Karbala yang berani menjadi imam shalat ketika masuk waktu, sekalipun pasukan musuh. Mereka semua mengakui kapasitas dan otoritas Imam Husein dalam hal ini). Bahkan di tengah-tengah pertempuran, Imam Husein selalu menyempatkan diri untuk berbalik ke tendanya hanya sekadar menyapa putri kecilnya, Sukayah. Seolah Ia hanya pergi sejenak untuk bekerja, bukannya berperang.
  Pada akhirnya pendekar besar itupun gugur. Meninggalkan duka dan cerita luar biasa yang akan terus dikenang umat manusia hingga akhir zaman. Kisah tentang keperwiraan, kasih sayang, ironi, keyakinan, sikap kritis, dan kesetiaan, itulah kisah di Karbala pada hari Asyura.Â
  Mari tinggalkan sejenak Karbala dan Asyura. Nun di belahan bumi lain di anak benua India, juga ada satu arena pertempuran yang juga memiliki kisah luar biasa. Perang besar yang juga ditulis melampaui banyak zaman. Memuat banyak cerita yang bisa menginspirasi dan juga memuat banyak ironi. Perang Bharatayudha namanya. Perang besar yang meletus di tempat bernama Kurusethra.Â
  Mari tidak masuk terlalu jauh dalam diskusi sejarah, mengingat kisah Baratayudha memiliki tempat dan nilai yang khusus bagi kawan-kawan pemeluk agama Hindu. Tetapi paling tidak perang ini mengajarkan kita tentang banyak hal. Perang di padang Kuru ini melibatkan dua pihak yang merupakan satu keluarga. Ikatan kekeluargaan itu harus pecah hanya karena persoalan politik. Ambisi politik, melahirkan dendam. Dendam menghilangkan akal. Dan akhirnya kehilangan akal sehat membuat orang bisa melakukan apa saja. Inilah dialami oleh Raja Gandara, Sengkuni dan para Kurawa.Â
  Di sisi lain, orang-orang idealis yang selalu berpandangan linear, akhirnya terjebak dalam idealismenya sendiri sehingga tidak mampu bertindak benar, meskipun sadar sepenuhnya bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Bisma, Guru Drona, dan Raja Angga Karna adalah representasi untuk itu. Berpegang teguh secara kuat pada prinsip hidunpnya, meski dengan pasti tahu bahwa berada di pihak yang salah.
  Para Pandawa pun tidak kurang menyumbangkan kesalahan yang memicu pecahnya perang saudara ini. Sikap sopan santun yang dijunjungnya, membuat Yudhistira tidak kuasa menolak ajakan permainan dadu yang digelar Duryudana atas supervisi Raja Sengkuni. Yudhistira bahkan rela mengajukan adik-adik dan istrinya sendiri sebagai bahan taruhan. Padahal tidak ada pihak yang memaksanya melakukan hal tersebut. Demikian pula Arjuna. Kstaria terhebat Pandawa ini terlalu merendahkan Karna yang hanya anak seorang kusir, tanpa menghargai kemampuannya sebagai sesama pemanah. Sikap inilah yang menjadikan Karna sebagai orang yang terikat seumur hidup pada pengabdian kepad temannya, Duryudana.
  Tapi apakah kisah ini hanya berisi kesalahan-kesalahan? tentu tidak. Bharatayudha menunjukkan banyak sekali inspirasi kebaikan. Lihatlah Duryudana. Meski kerap digambarkan sebagai antagonis, tetapi Ia adalah orang memandang Karna dari kemampuannya, bukan dari keturunanya, Duryudanalah yang mempromosikan Karna menjadi seorang perwira, meski bukan siapa-siapa. Sikap Duryudana ini melampaui pemikiran pada zamannya.
  Bisma, sebagai keturunan langsung Raja Santanu, berhasil memegang penuh janjinya hingga akhir hayat untuk terus membela kerajaan peninggalan ayahnya. Meski untuk itu Ia harus bunuh-membunuh dengan Pandawa, cucu kesayangannya.  Ia tidak mengambil alih kekuasaan ketika adiknya, Wicitawirya, raja yang sah, meninggal dunia. Bisma menunjukkan karakter perwira dan negarawan sekaligus.
  Karna, menunjukkan bagaimana seharusnya sikap gentle dan fairplay. Meski sadar sepenuhnya akan menghadapi Arjuna, tapi Karna dengan kesadaran penuh melepas anting dan rompi saktinya untuk diserahkan kepada dewa Indra. Karna menunjukkan contoh keyakinan dan kepercayaan diri yang luar biasa. Suatu sikap yang harusnya dimiliki setiap pendekar.Â