Mohon tunggu...
Yani Tri Handayani Prasetyo
Yani Tri Handayani Prasetyo Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu rumah tangga yang hobby menulis, pernah berkarir di Citibank Indonesia, Pembangunan Jaya Group, dan beberapa perusahaan suasta lainnya. Alumni Fakultas Hukum UGM 1989 dan meraih Magister Hukum UI 2005 dalam bidang Hukum Tata Negara. Pernah tinggal di Jepang, Inggris, Shanghai, dan saat ini sudah kembali di Jakarta - Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cileduk yang Kita Impikan

2 Maret 2012   03:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:38 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak memlilh tinggal disebuah perumahan di belakang daerah  Alam Sutra, Serpong udara terasa lebih nyaman karena jauh dari perkotaan .Namun ternyata  posisi kami ke kantor dan sekolah atau kampus anak menjadi lumayan jauh jarak tempuhnya.

Faktor pemilihan sekolah kadang diluar kekuasaan , saat anak kita diterima di sekolah yang menjauh dari rumah, atau diterima di Universitas, tentunya walau jauh semua bercita-cita ingin berkampus di Depok, salah satu PTN yang diidam-idamkan.

Resikonya walau masih di Jabotabek, anak-anak terpaksa kos untuk mendekati kampus dan sekolahnya. Keputusan ini bukan tanpa pertimbangan sejuta kali, namun melihat kondisi yang sangat tidak kondusif.

Awalnya kami masih berusaha Home Sweet Home.. Jika kuliah di Depok mulai pukul delapan pagi maka berangkat pukul enam sudah sangat mepet. Itupun sudah memakai teori jalan tol , atau teori jalan tikus dsb. Kalau mau santai, seusai sholat Subuh harus berangkat. Belum lagi BBM yang harus dikeluarkan.

Mau naik kereta ? jarak tempuh ke stasiun juga tidak dekat. Apalagi dengan sistim commuter, penumpang dari Serpong menjadi lebih lama perjalanannya.

Begitu juga yang SMA, siswa SMA DKI Jakarta masuk pukul 6 .30, paling aman berangkat pukul 5 pagi. Berarti anak terburu-buru sholat, sarapan dikendaraan , lelah di jalan dan ongkos transport dan BBM tidak murah.

Dengan lokasi sedikit tanggung antara ke stasiun atau lewat kendaraan biasa, maka kami harus pandai-pandai melakukan riset kecil jarak tempuh.

Diantara dua pilihan jalan menuju pusat kegiatan kami di Jakarta Selatan , jalan terdekat ternyata  ditempuh lewat Cileduk Raya, Jaraknya kira-kira 18 km. Tapi jika kita lewat tol Bintaro ternyata jaraknya menjadi 22 km. plus biaya tol  . Dan jika kita lewat Tol Alam Sutra selain jarak km nya menjadi 22 km, kita masih harus membayar ongkos tol. Paling ideal untuk mobil dan juga motor ,memang  melewati jalan Cileduk Raya.

Setelah diamati, kenapa kita bisa lancar perjalanan dipagi buta ?, teentu saja , jalanan masih sepi. Selain padat , Cileduk Raya juga harus menghadapi kemacetan seputar pasar Cileduk dan Pasar Cipulir ( padahal di Cileduk sudah ada under pass nya , namun begitu muncul kita sudah dihadang angkot ngetem yang bisa berhenti dimana saja )

Penyebab kemacetan ternyata , bukan hanya kendaraannya yang banyak, tapi tidak berfungsinya pembatas jalan, entah dirusak atau sengaja di buat, akibatnya nyaris setiap dua ratus meter selalu ada celah untuk kendaraan putar balik, menyeberang dsb. sehingga kendaraan harus berjalan merambat.

Seandainya pembatas jalan memang benar-benar berfungsi, maka setiap orang harus mematuhi sesuai rambu, lokasi mana kendaraan bisa memotong atau putar balik.

Yang paling bahaya adalah motor tanpa lampu atau mobil yang tiba-tiba muncul dari setiap celah jalan . Baik si motor maupun kendaraan seperti mobil dan bis yang lewat akan menghadapi resiko buruk yang sama.

Suatu hari kami pulang larut malam , termyata tanpa adanya kendaraan yang memotong setiap dua ratus meter, jarak tersebut bisa ditempuh dalam 20 menit, tanpa ngebut ! Sementara jika di siang hari paling tidak dibutuhkan 1 jam.

Selisih 40 menit, sebenarnya sangat berharga untuk siapapun, apapun profesinya: pak Dokter bisa mengobati leboh banyak pasiennya, anak sekolah bisa sampai lebih awal untuk membuka pelajaran,  karyawan dapat lebih maksimal bekerja karena tubuh fit tiba dikantor masih bisa minum secangkir kopi.

Dan 40 menit identik menyelamatkan BBM yang terbuang sia-sia, juga menyelamatkan lingkungan dari polusi . Tak terhitung kebaikan yang seharusnya bisa diselamatkan

Believe it or not: Cileduk Raya adalah jalan terpanjang strategis yang bisa diselamatkan. Namun impian tinggal impian, kelihatannya justru semakin banyak pembatas jalan yang hancur untuk memudahkan orang  seenaknya memotong jalan dari arah manapun.

Dari urusan jalan saja, betapa carut marutnya kedisiplinan di negeri ini. Semoga para pejabat terhormat yang membawahi wilayah tersebut sesekali bisa membuktikan teori penyelamatan ini, tentunya dengan menikmati secara langsung kemacetan, tanpa embel-embel pengawalan.

Semoga terwujud Cileduk impianku, impian kita !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun