Pada tanggal 3 - 7 Juli 2024, Kota Solo sempat menjadi sorotan nasional akibat polemik seputar Festival Kuliner Pecinan Nusantara yang menyajikan berbagai makanan non-halal. Acara ini awalnya mendapat penolakan dari beberapa organisasi masyarakat (ormas) setempat karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan mayoritas di kota tersebut.
 Kasus ini cukup unik dari segi hukum ekonomi syariah yang menyoroti adanya konflik antara nilai-nilai individualisme (kebebasan memilih) dan nilai-nilai kolektif (keharmonisan sosial). Melibatkan pertentangan antara hak individu untuk memilih makanan dan prinsip-prinsip dalam hukum ekonomi syariah, terutama terkait dengan konsep halal dan haram dalam makanan. Masalahnya setiap aktivitas ekonomi harus membawa manfaat bagi masyarakat secara umum. Dalam konteks ini, menyediakan makanan yang halal akan memberikan manfaat bagi konsumen Muslim yang ingin menjaga ketaatannya.
 Dalam aturan hukum ekonomi syariah dalam al-Qur'an dan hadis memiliki aturan yang sangat jelas tentang makanan dan minuman yang halal dan haram. Makanan seperti babi, darah, bangkai, hewan yang disembelih tidak sesuai syariat, minuman keras, dan makanan yang diragukan kehalalannya adalah haram.
 Mengkonsumsi makanan haram dapat berdampak negatif bagi kesehatan spiritual dan fisik seseorang. Prinsip keadilan dan juga tanggung jawab penyelenggara. Setiap konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jelas tentang produk yang mereka konsumsi, termasuk status kehalalannya, dan penyelenggara acara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa acara yang mereka selenggarakan tidak merugikan pihak lain, termasuk konsumen Muslim yang memiliki hak untuk mendapatkan makanan halal.
 Bagaimana aliran positivisme hukum dan sociological jurisprudence menganalisis kasus ini?
 Aliran positivisme hukum berfokus pada hukum yang tertulis dan berlaku, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau sosial di baliknya. Positivisme akan melihat putusan-putusan pengadilan sebelumnya yang relevan dengan kasus serupa. Positivisme hanya berfokus pada hukum tertulis, sehingga mengabaikan aspek-aspek sosial, budaya, dan agama yang juga relevan dalam kasus ini. Dan tidak menampung nilai-nilai yang memberikan ruang untuk mempertimbangkan nilai-nilai moral dan keagamaan yang menjadi dasar dari protes terhadap festival tersebut. Sociological Jurisprudence. Aliran sociological jurisprudence melihat hukum sebagai produk sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Interaksi antara berbagai kelompok masyarakat (pemerintah, penyelenggara, masyarakat, ormas) dalam merespons kasus ini terlalu subjektif karena sangat bergantung pada interpretasi peneliti terhadap faktor-faktor sosial yang sulit diprediksi perkembangan sosial yang dinamis.
Kesimpulan
Kasus festival kuliner non-halal di Solo yang sudah diselenggarakan kemarin merupakan kasus yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek hukum, sosial, dan budaya. Masing-masing aliran hukum memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menganalisis kasus ini. Dengan mengintegrasikan ketiga perspektif, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang akar permasalahan dan mencari solusi yang adil dan lebih bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H