(Sambungan artikel “Jogja, Sepuluh Tahun Yang Lalu”, Bagian II)
Semalaman di base camp, mataku sulit terpejam. Terbayang warga nDodotan yang kedinginan kehujanan di dusun sendiri. Tidur beralas tanah, beratap langit.
Aku sampaikan usulku kepada teman2 untuk membangun 'base camp' sederhana dilapangan supaya bisa berdampingan dengan warga. Seperti yang kuduga, tak ada yang keberatan, semua setuju. Aku segera kontak tim EET pengganti di RS Emanuel Purwareja Klampok. Mereka-pun setuju dengan usul kami dan mempersiapkan ‘uba-rampe’ yang diperlukan.
Hari itu, hari ke tiga pasca gempa dahsyat itu, kami sudah sampai nDodotan lebih awal daripada kemarin. Beberapa warga sudah datang menunggu kehadiran kami. Segera kami setting poskes darurat di lokasi kemarin. Hari ini teman2 EET sudah lebih terbiasa dengan kondisi lapangan khususnya terkait pelayanan kesehatan. Saya bersama mas Catur berkesempatan berkeliling menyaksikan kondisi kampung nDodotan secara langsung.
‘nDodotan Luluh Lantak’
Sepanjang mata memandang, reruntuhan bangunan rumah tinggal serta bangunan lain menjadi pemandangan memilukan. Sepanjang hari berkeliling kampung, sulit menemukan warga berwajah ceria. Wajah-wajah murung mewarnai setiap orang yang saya temui. Keramahan ‘wong Jogja’ nyaris hilang tanpa bekas. Spontanitas warga menyambut orang luar, hampir-hampir lenyap. Mereka bagaikan ‘gong’ yang malas berbunyi jika tidak ‘ditabuh’. Mereka cenderung memilih diam jika tidak ditanya.
‘Nyaman Di Kandang Sapi’
Trauma psikologi masih tampak di sebagian besar warga. Kebanyakan rumah tinggal tidak aman dihuni. Dinding tembok yang retak-retak dikhawatirkan bisa roboh sewaktu-waktu, terlebih jika gempa susulan datang mengguncang. Rumah mereka yang tampak utuh-pun tidak berani mereka huni terlebih di malam hari. Ketakutan datangnya gempa susulan menjadi alasan utamanya. Mereka merasa lebih nyaman tinggal dan tidur di kandang sapi samping rumah.