Mohon tunggu...
Budhi Hendro Prijono
Budhi Hendro Prijono Mohon Tunggu... Freelancer - Belajar Terus dan Terus Belajar! Pensiunan Karyawan YAKKUM RS Emanuel Purwareja-Klampok Banjarnegara. Alumni Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Belajar Terus dan Terus Belajar! Pensiunan Karyawan YAKKUM RS Emanuel Purwareja-Klampok Banjarnegara. Alumni Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Jogja, Sepuluh Tahun yang Lalu" (Bagian II)

28 Mei 2016   23:14 Diperbarui: 28 Mei 2016   23:35 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bangunan dampak gempa (dokumen pribadi: hp)

(Sambungan tulisan kemarin: "Malam Ini, Sepuluh Tahun Yang Lalu di Jogja")

Pagi-pagi hari ke dua, 28 Mei 2006, EET (Emanuel Emergency Team) sudah meluncur ke arah selatan, Bantul. 

Perjalanan tidak semulus yang aku bayangkan, jalan Parangtritis nyaris bagai jalur satu arah dari sisi selatan. Berbagai kendaraan dipenuhi penumpang menuju ke arah utara menjauh dari laut. Bagaimana-pun isue dari mulut ke mulut tentang akan datangnya Tsunami mempengaruhi nalar sebagian besar masyarakat. Panther Biru yang kami naiki bak kendaraan melawan arus. Ada kesan aneh. 

Singkat cerita, Panther Biru memasuki Kecamatan Bambang Lipuro. Sesuai informasi seorang staf YEU yang faham kondisi lapangan pasca gempa, kami menyusuri jalan kampung sisi timur jalan raya menuju sebuah dusun nDodotan yang konon cukup banyak korban meninggal dan luka-luka. Kami ketemu mas Tri, seorang pemuda dusun di halaman sebuah bangunan SD yang nyaris rata tanah. Setelah berbincang sejenak tentang maksud EET datang ke dusun ini, kami disarankan tinggal dan berkegiatan di halaman sekolah. Dengan bantuan beberapa pemuda, kami 'dirikan' posko kesehatan darurat. Terpal plastik biru yang kami bawa dibentangkan dengan ikatan tali ke beberapa pohon dan bangunan gedung yang tersisa.

 Berdirilah sebuah 'bangunan' beratap yang cukup lumayan untuk berlindung dari sengatan terik matahari. Dua helai daun pintu bangunan SD yang masih utuh dengan sepasang drum, kami jadikan meja tempat obat dan alat-alat periksa sederhana. Posko Kesehatan dengan 'ruang periksa pasien plus apotik' siap menerima pasien yang sudah antri sejak kami datang.

img-0038-5749c04a5a7b61d209f2c379.jpg
img-0038-5749c04a5a7b61d209f2c379.jpg
Sementara tim Kesehatan melayani pasien yang datang tanpa dipungut biaya ini, petugas UPKM mengadakan pendekatan dengan sejumlah tokoh masyarakat yang ditemui sekaligus mengadakan penilaian kondisi lapangan secara singkat. Dari mulut ke mulut, posko Kesehatan YEU segera dibanjiri pasien dari dusun nDodotan dan sekitarnya. Kebanyakan pasien datang dengan luka-luka akibat gempa. 

Tanpa terasa hari sudah mulai gelap ketika hujan deras mengguyur dusun nDodotan. Dengan bantuan sinar beberapa buah lilin karena arus listrik masih padam, semua pasien yang datang kami layani sampai selesai. Hujan terus turun tanpa henti, halaman sekolah mulai tergenang air dan membuat kami tidak bisa lagi berkegiatan. Ketika menunggu hujan reda sebelum kami kembali ke Jogja di base camp YEU, di balik kegelapan malam, datang dua orang pemuda membawa makanan untuk kami. 

"Puji Tuhan!", ungkapan spontan kami hampir bersamaan. "Matur nuwun mas...." ungkapan ini-pun keluar dari mulut kami seperti layaknya paduan suara. Nasi putih dengan sayur lodeh segera kami santap sampai habis untuk menebus rasa lapar seharian. Benar-benar berkat yang luar biasa, Uenaaak banget! 

Berkat Nasi Sayur yang luar biasa! (dokumen probadi: hp)
Berkat Nasi Sayur yang luar biasa! (dokumen probadi: hp)
Ketika Panther Biru beranjak meninggalkan kegelapan nDodotan, tampak sederetan 'bangunan' yang dihuni penduduk di bawah guyuran hujan. Mereka tidak berani tinggal dalam rumah yang sebagian memang tidak aman dihuni. Dengan atap seadanya terbuat dari kain sprei dan plastik taplak meja, mereka merasa lebih tenang. Terus terang, berat rasanya meninggalkan mereka kedinginan di luar rumah.

Sampai di base camp, mataku sulit terpejam. Terbayang penduduk yang kedinginan di dusun mereka sendiri. Besok pagi akan aku sampaikan usulku membangun 'base camp' sederhana di lapangan berdampingan dengan penduduk nDodotan.

(Bersambung)

Maguwoharjo, 28 Mei 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun