Tanggal 1 April 2016, berdasarkan Perpres No. 19 tahun 2016, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, naik. Sontak terdengar keberatan di sana-sini seperti: fasilitas masih kurang, pelayanan belum memadai, koq menaikan iuran; prosedur pelayanan masih lambat dan berbelit, serta banyak keluhan lain yang menggambarkan ketidak-puasan masyarakat atas kinerja BPJS selama ini.
BPJS Kesehatan sebagai BUMN ini ditugaskan menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia secara serentak di seluruh Indonesia dengan azas gotong royong sehingga terjadi subsidi silang. Mandat ini merupakan tanggungjawab cukup berat terlebih jika pasokan dana tidak mencukupi karena belum semua penduduk menjadi peserta. Pemerintah menyikapi ini dengan mewajibkan seluruh rakyat Indonesia menjadi anggota BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2019, dengan demikian sumber dana otomatis lebih besar berasal dari iuran peserta. Sampai tanggal 25 Maret 2016 jumlah peserta 164.087.566 orang (sumber data: BPJS-Kesehatan.go.id/).
Konon, salah satu alasan menaikan iuran karena keuangan BPJS mengalami defisit cukup besar. Memang bukan tugas mudah mengelola iuran peserta yang prosentasenya masih kecil dibanding jumlah penduduk, sementara kebutuhan pembayaran fasilitas kesehatan cukup tinggi. Peserta BPJS terdiri dari 3 tipe. Tipe pertama adalah PNS, TNI, Polri dan keluarganya, otomatis ikut dan pembayaran iurannya dengan memotong gaji secara rutin. Tipe kedua, kelompok keluarga dengan kategori miskin yang iurannya dibayar oleh pemerintah. Sedangkan peserta mandiri sebagian besar adalah mereka yang sudah terlanjur sakit. Mereka rutin membutuhkan penanganan kesehatan berbiaya tinggi karena penyakit menahun seperti jantung, kanker atau gagal ginjal kronis.
Mengoptimalkan Jumlah Peserta
Jumlah peserta yang belum optimal dan sebagian besar sudah dalam kondisi sakit kronis dan berat mengakibatkan iuran peserta tidak cukup menutup biaya pelayanan kesehatan peserta. Kondisi ini berarti pasien membayar biaya pelayanan kesehatan dengan iurannya sendiri. Prinsip gotong-royong dan subsidi silang, tidak terjadi.
Menaikan besaran iuran peserta tidak banyak membantu mengatasi defisit keuangan BPJS. Kebijakan ini justru akan memberatkan peserta. Penyelenggara memang memberi keleluasaan peserta menurunkan kelas kepesertaannya yang artinya menurunkan jumlah iuran. Namun kebijakan ini justru akan berdampak menurunnya pemasukan dana ke penyelenggara.
Salah satu kebijakan ideal menutup defisit keuangan BPJS yakni dengan mengoptimalkan jumlah peserta khususnya peserta kategori sehat. Pemahaman dan penanaman prinsip gotong-royong dan subsidi silang perlu ditumbuhkan di kalangan peserta baru. Dengan demikian defisit keuangan secara bertahap akan teratasi. Â
Promotif dan Preventif Oriented
Menjadi peserta BPJS Kesehatan karena sudah sakit dan memerlukan pelayanan kesehatan, tidak terlalu salah. Selama ini pemahaman masyarakat dengan BPJS masih sebatas pelayanan kuratif untuk mengobati atau menyembuhkan yang sakit. Program promotif dan preventif masih jarang sekali tampak baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) apalagi di fasilitas kesehatan di atasnya.
Prolanis (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) sebagai program promotif untuk pasien Diabetes Mellitus dan Hipertensi sudah dijalankan di FKTP. Namun belum tampak ada program sejenis untuk peserta sehat.
Sudah waktunya BPJS membuat program rutin peserta sehat supaya tetap sehat dan peserta yang sudah terlanjur sakit untuk mampu mengendalikan penyakitnya supaya tidak menjadi berat dan kronis. Kegiatan promotif berupa penyuluhan dan ajakan masyarakat agar berperilaku sehat, perlu rutin dilakukan. Deteksi dini penyakit tertentu misalnya kanker leher rahim atau kanker payudara, mestinya juga dijalankan. Demikian juga upaya preventif penyakit tertentu untuk mencegah seseorang menjadi sakit. Jika fokus penanganan BPJS hanya ada pada upaya kuratif, niscaya biaya iuran peserta tidak akan cukup menutup beban pembayaran pengobatan dan pelayanan kesehatan yang semakin tinggi.Â