(Sambungan tulisan kemarin: "Malam Ini, Sepuluh Tahun Yang Lalu di Jogja")
Pagi-pagi hari ke dua, 28 Mei 2006, EET (Emanuel Emergency Team) sudah meluncur ke arah selatan, Bantul.Â
Perjalanan tidak semulus yang aku bayangkan, jalan Parangtritis nyaris bagai jalur satu arah dari sisi selatan. Berbagai kendaraan dipenuhi penumpang menuju ke arah utara menjauh dari laut. Bagaimana-pun isue dari mulut ke mulut tentang akan datangnya Tsunami mempengaruhi nalar sebagian besar masyarakat. Panther Biru yang kami naiki bak kendaraan melawan arus. Ada kesan aneh.Â
Singkat cerita, Panther Biru memasuki Kecamatan Bambang Lipuro. Sesuai informasi seorang staf YEU yang faham kondisi lapangan pasca gempa, kami menyusuri jalan kampung sisi timur jalan raya menuju sebuah dusun nDodotan yang konon cukup banyak korban meninggal dan luka-luka. Kami ketemu mas Tri, seorang pemuda dusun di halaman sebuah bangunan SD yang nyaris rata tanah. Setelah berbincang sejenak tentang maksud EET datang ke dusun ini, kami disarankan tinggal dan berkegiatan di halaman sekolah. Dengan bantuan beberapa pemuda, kami 'dirikan' posko kesehatan darurat. Terpal plastik biru yang kami bawa dibentangkan dengan ikatan tali ke beberapa pohon dan bangunan gedung yang tersisa.
 Berdirilah sebuah 'bangunan' beratap yang cukup lumayan untuk berlindung dari sengatan terik matahari. Dua helai daun pintu bangunan SD yang masih utuh dengan sepasang drum, kami jadikan meja tempat obat dan alat-alat periksa sederhana. Posko Kesehatan dengan 'ruang periksa pasien plus apotik' siap menerima pasien yang sudah antri sejak kami datang.
Tanpa terasa hari sudah mulai gelap ketika hujan deras mengguyur dusun nDodotan. Dengan bantuan sinar beberapa buah lilin karena arus listrik masih padam, semua pasien yang datang kami layani sampai selesai. Hujan terus turun tanpa henti, halaman sekolah mulai tergenang air dan membuat kami tidak bisa lagi berkegiatan. Ketika menunggu hujan reda sebelum kami kembali ke Jogja di base camp YEU, di balik kegelapan malam, datang dua orang pemuda membawa makanan untuk kami.Â
"Puji Tuhan!", ungkapan spontan kami hampir bersamaan. "Matur nuwun mas...." ungkapan ini-pun keluar dari mulut kami seperti layaknya paduan suara. Nasi putih dengan sayur lodeh segera kami santap sampai habis untuk menebus rasa lapar seharian. Benar-benar berkat yang luar biasa, Uenaaak banget!Â
Sampai di base camp, mataku sulit terpejam. Terbayang penduduk yang kedinginan di dusun mereka sendiri. Besok pagi akan aku sampaikan usulku membangun 'base camp' sederhana di lapangan berdampingan dengan penduduk nDodotan.
(Bersambung)