Bumi kita hampir rusak. Pemanasan global taruhannya. Namun, sebagai mahluk yang istimewa, kita memiliki tanggung jawab mengelolanya.
Bencana yang diakibatkan oleh alam, kerap melanda negeri kita. Mulai dari kekeringan, banjir, gempa bumi masih mengguncang di sana-sini, sesekali bahkan dikabarkan akan tsunami. Gunung berapi juga tak mau ketinggalan aksi. Tak sedikit korban yang mengalami kelaparan, sakit, bahkan meninggal. Para pengungsi harus berlari menyelamatkan diri. Bencana demi bencana susul-menyusul tiada henti. Apa gerangan yang sedang terjadi?
Bumi sudah tua
Ada yang bilang, ‘Bumi ini sudah terlalu tua!’. Sementara yang lain berteori seputar mekanisme terjadinya bencana alam di bumi. Namun juga tidak sedikit yang hanya pasrah tanpa peduli semua teori. Mereka beranggapan semua terjadi karena memang harus terjadi. Kekeringan, banjir, gempa bumi dan tsunami hanyalah rutinitas yang seolah terjadwal untuk memenuhi siklus alam. Kepasrahan pasif mereka acapkali mematikan kreatifitas dan daya hidup. Padahal, hidup sejatinya harus dinamis.
Sebaliknya, yang memprihatinkan, ada saja manusia yang justru merasa diuntungkan dengan setiap bencana. Bencana bahkan mereka yakini sebagai ‘berkah’. Mereka memanfaatkan kondisi ini untuk mengeruk keuntungan berlipat. Mulai dari sekadar jual jasa, jual beli barang termasuk logistik sampai dengan menjadikan bencana sebagai ‘proyek’ yang merupakan lahan subur korupsi. Entah doa apa yang mereka panjatkan sebelum melakukan setiap praktek kotor ini.
Tuhan memberi mandat yang luar biasa kepada manusia. Mandat yang tidak tanggung-tanggung diberikan manusia untuk ‘berkuasa atas semua makhluk di atas bumi’. Namun, manusia (baca: kita), hanya memanfaatkan untuk kepentingan sesaat, untuk kepentingan diri bukan menempatkan diri sebagai pribadi yang diberi kepercayaan mengelola bumi. Manusia tidak segan merusak dan mengekploitasi. Manusia tidak menyadari bahwa di balik kepercayaan Allah, mereka juga wajib memelihara alam semesta.
Perilaku egois
Perilaku tidak peduli lingkungan makin lama makin meluas. Bukan hanya di perkotaan. Di pedesaan-pun banyak kegiatan yang sarat kepedulian sosial mulai biasa digantikan dengan uang. Seolah membenarkan ungkapan orang Betawi: Elu elu, gue gue!
Membuang sampah sembarangan bahkan yang terbilang membahayakan orang lain, sudah menjadi pemandangan umum. Selokan dan sungai penuh sampah yang dapat mengakibatkan banjir. Udara bersih yang menjadi hak setiap makhluk hidup sudah sulit ditemukan. Orang dengan santainya merokok di area ‘Dilarang Merokok’. Hukuman denda tidak digubris lagi. Mereka juga tidak lagi merasa bersalah atau malu dengan perilaku egoisnya. Ironisnya, tidak banyak lagi orang yang merasa menjadi korban atas semua kondisi yang serba tidak sehat ini.
Berhemat sekaligus ramah lingkungan
Berhemat seringkali hanya diartikan secara ekonomi, tetapi sebenarnya banyak upaya berhemat yang juga berdampak positif pada bumi.
‘Think globally, act locally’, sebuah ajakan bijak kepada setiap manusia untuk berpikir secara global dan pada saat yang sama berupaya menyelamatkan bumi secara nyata. Sebenarnya sangat banyak yang bisa dilakukan manusia baik secara pribadi maupun kelompok. Bumi ini sudah terlalu panas. Kita bisa ikut andil menekan laju pemanasan bumi. Kita bisa lebih bijak menggunakan listrik, bahan bakar, produk-produk buatan pabrik.
Keterikatan manusia dengan listrik harus diakui memang sangat besar. Namun kita tetap harus bijak memakai alat-alat elektronik, matikan lampu penerangan yang tidak terlalu perlu apalagi yang jelas-jelas tidak diperlukan. Bijak mengendarai kendaraan bermotor. Makin besar kendaraan, makin banyak dibutuhkan bahan bakar dan makin banyak polusi udara yang dihasilkan.