Berpuasa selama sebulan penuh tiada lain tujuannya adalah untuk melatih diri menjadi manusia yang lebih baik. Lebih baik niatnya, perkataanya, dan perbuatannya agar pada hari lebaran nanti menjadi individu baru yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Dan setelah lebaran berlalu, dia menjadi orang dengan semangat baru yang benar-benar menjadi rahmat bagi dirinya sendiri juga lingkungannya. Makna puasa dalam arti menahan diri harus dilaksanakan jauh setelah bulan puasa itu berlalu, itulah puasa yang berhasil.
Menjalankan puasa di negara demokrasi memberikan kesempatan untuk mempraktikan diri menjadi bagian dari anggota masyarakat yang secara konstitusi menerima kebhinekaan. Bagi sebuah keluarga yang dibesarkan dari keluarga muslim, menikmati lebaran merupakan kulminasi dari seluruh perjuangan selama sebulan penuh dengan bergembira bersama menikmati hari istimewa. Bagaimana dengan keluarga yang berada sebagai bagian heterogen populasi yang secara agama, Bahasa, dan suku yang sama sekali berbeda?
Kondisi beragam, menjadi ciri khas Indonesia yang seharusnya menjadi berkah. Berlainan kepercayaan, berlainan bahasa daerah, berlainan kesukaan, berlainan gaya hidup, sejatinya hidup menjadi semarak karena setiap individu menunjukkan keunikannya. Dunia menjadi seru dan ramai karena perbedaan.
Secara alami, manusia terlahir dalam keberagaman. Milayaran manusia, walaupun katanya sama memiliki wajah, tapi tak satupun yang sama, kembar identikpun, tetap ada pembeda. Dengan kata lain, memang alamiahnya dunia ini dibangun dari perbedaan. Menjadi masalah ketika manusia membuatnya ingin menjadi sama. Sebagai contoh, karena merasa satu ide, satu pengajian, maka sibuk membuat sesuatu yang nantinya mengabikatkan ada rasa sama, yaitu seragam. Seragam hanyalah penutup luar, di dalamnya: hatinya, pikirnya, keinginannya, cara pandangnya, tidaklah ikut menjadi sama akibat memakai seragam.
Menjelang lebaran, perbedaan semakin kentara. Setiap keluarga yang bergabung pada satu ikatan pengajian, misalnya, menanggalkan dulu seragamnya, dia akan menggunakan identitas keluarganya. Memakai baju sesuai keinginannya, dan menjadi dirinya untuk tampil prima pada hari raya. Berbeda ini menjadi menarik dan mencerahkan pikiran. Memberikan ruang untuk perbedaan menjadi penting jika dari sana nanti lahir jiwa-jiwa baru yang percaya diri dan bersikap menerima perbedaan.
Perbedaan apa yang muncul mewarnai hari-hari menjelang fitri? Sebagai contoh, saya akan mengambil kota kecil Cianjur. Riak menjelang fitri telah kentara dan terasa kental. Beberapa orang berbondong-bondong mencari baju lebaran. Di Cianjur diistilahkan 'baju dulag' artinya baju yang dipakai pada saat hari lebaran dimana bedug ditabuh (dulag).Â
Semarak jalan raya, hiruk pikuk toko, mall, department store mewarnai kota kecil ini menjadi begitu meriah dan bergairah menyambut lebaran. Peluang terjadinya singgungan dan senggolan amat besar. Perut kosong, orang banyak, merupakan kombinasi yang tepat untuk mudah merasa tersinggung. Warna emosi seperti ini hanya ada di bulan puasa saja.
Warna lain yang muncul adalah geliat ekonomi. Cianjur tidak terlihat seperti kota kecil yang biasanya malu-malu dan sepi. Menjelang fitri mendadak semua santri keluar berbaur dengan warga masyarakat biasa berebut kesempatan mendapatkan barang impian. Toko baju menjadi area menarik untuk diamati. Gaya memilih pakaian, gaya menentukan barang kesukaan, gaya memilih warna idola, bahkan diri mereka sendiri yang sebetulnya memang menarik perhatian, menjadi pelengkap bukti betapa Tuhan Allah melahirkan beragam keinginan pada diri manusia untuk menjadi berkah dan sesuatu yang indah.
Secara ekonomi, gerakannya sangat terasa, sekalipun di rumah-rumah kelompok masyarakat ekonomi lemah. Para ibu tiada bosan berbagi cara membuat kue salju, kue semprit. Rumah-rumah kecil yang berada di gang-gang sempit mengepulkan bau terigu bercampur telur dan margarin yang dibakar pada oven tradisional. Dalam kondisi seperti ini, bahagia terasa benar milik semua orang.Â
Semua orang dapat menciptakan bahagia sesuai dengan kemampuan dan definisinya masing-masing. Membuat kue sederhana dengan alat sederhana, secara nilai ekonomi bisa saja dipandang tak seberapa. Tapi itu menghiasai hari-hari menjelang fitri menjadi indah. Anak-anak kecil ikut memainkan adonan, ibunya denan wajah serius menunggu oven agar kue yang dibakarnya tidak gosong. Sebuah suguhan keindahan yang hanya muncul di bulan puasa.
Warna kehidupan yang heterogen tertangkap pula di pantai. Para pengunjung pantai yang hendak ngabuburit berduyun-duyun. Â Sebagian dari mereka adalah orang-orang kota yang sengaja datang ke daerah Cianjur selatan untuk mudik sekaligus menikmati senja di pantai sambil menunggu berbuka puasa. Beragam orang dari berbagai daerah saling berbagi cerita di bawah lembayung senja. Mereka berbagi kisah yang sama, lebaran tahun ini adalah lebaran terbaik karena bisa pulang kampung.Â