Manusia terlahir kreatif. Terbukti, pada saat kecil setiap anak dengan tanpa diperintah mengambil alat tulis dan mulai mengekspresikan apa yang ada dalam benaknya ke dalam bentuk coretan sesuka hatinya. Anak-anak dengan sangat ekspresif menghiasi dinding rumahnya dengan 'karya'nya tanpa ada beban apakah akan disukai atau tidak oleh orang lain. Benar-benar ekspresi kreatif dalam bentuk seni untuk seni.Â
Kreativitas kelak menjadi tumpul bahkan bisa saja hilang. Siapa pelaku yang tega mematikan kreatifitas? Tiada lain, perusak kreatifitas adalah orang dewasa. Orang dewasa melarang jangan corat-coret di dinding rumah karena kotor. Kalau menggambar, warna daunnya harus begini, harus begitu. Kalau membuat ini, harus begini, kalau membuat itu harus begitu. Kreatifitas ditumpulkan oleh keinginan dan kelaziman menurut sudut pandang orang dewasa.Â
Siswa SMA, tiada lain adalah anak-anak yang penuh daya imajinasi yang tinggi. Mereka dapat mencoret-coret dinding dengan sesuka hati seperti pada saat mereka kecil. Tanpa ada rasa ragu, tanpa ada rasa khawatir. Guru, sebagai orang dewasa di sekolah sangat berjasa jika siswa SMA diizinkan berdaya dan berkarya kreatif tanpa dibumbui batasan karya harus seperti ini atau seperti itu.Â
Banyak tempat dan waktu yang luas bagi siswa SMA untuk berkarya kreatif tanpa dibatasi. Salah satu kesempatan yang tersedia di sekolah adalah pada saat ada kegiatan yang menuntut produk kreatif mereka. Guru, sekali lagi sebagai orang dewasa, memberikan arahan tema sehingga para siswa bisa menentukan karya kreatif apa yang bisa menunjang dan membuat tema tersebut dituangkan kedalam bentuk karya seni (lukis, tari, musik) misalnya.Â
Memberikan arahan sangat penting untuk pengembangan tema, arahan akan memberikan ruang bagi siswa SMA untuk berkarya kreatif tanpa merasa khawatir melanggar aturan harus ini atau harus itu. Kejelasan arahan dan tema membuat siswa tertantang untuk melakukan upaya terbaiknya sehingga keinginan orang dewasa bisa terpenuhi dan pada saat yang sama, kreatifitas siswa SMA tidak ditelikung. Kungkungan orang dewasa pada siswa SMA bisa muncul dalam bentuk 'banyak mengatur', yang baik adalah memberikan aturan yang jelas. Mengatur harus begini dan begitu menumpulkan ketajaman ide siswa.
Pada masa anak-anak masih kecil, para orang dewasa berkata agar menggantungkan cita-cita setinggi langit. Maka anak-anak ramai-ramai menggantungkan cita-cita yang mungkin tidak terjangkau orang tua. Seiring usia, para orang dewasa memaksa agar cita-cita dihapus dengan alasan tidak dapat diraih akibat kondisi ekonomi, misalnya. Maka matilah satu cita-cita.
Demikian pula halnya dengan kreativitas. Pada masa kanak-kanak, para orang dewasa mengizinkan anak-anak untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti membuat garis lurus pada buku gambar, dan garis lurus itu diartikan "aku sedang jalan-jalan sama kakak". Seiring usia, kemudian orang dewasa tampil dengan logika dan kepatutan, kemudian mengkritik bahwa garis lurus polos tidak bisa diartikan jalan-jalan. Maka kemudian, matilah satu kreatifitas anak.
Siswa SMA tentulah bukan anak-anak balita yang akan mencorat-coret dinding sesuka hatinya. Namun secara alami, siswa SMA adalah anak-anak dengan kreatifitas tak terbatas. Memberi mereka lahan, ruang, dan waktu untuk menuangkan daya kreatifnya, akan membantunya berdaya kreasi dengan tanpa merasa tertekan.
Tidak terlambat untuk membangunkan kembali daya kreatif siswa SMA yang mungkin pernah dikubur karena mengalami kritikan atau tuntutan keharusan dari orang dewasa pada saat mereka berkarya. Memberi kesempatan pada siswa SMA untuk menggali kreatifitasnya tanpa diatur harus begini begitu sesuai keinginan orang dewasa, bisa menjadi alternatif bangunnya dan berkembangnya kembali daya kreatifitas siswa SMA.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H