Kemdikbud mencatat  terdapat 1.812.035 siswa SMA  berasal dari 20.557 sekolah mengikuti Ujian Nasional tahun ini. Jumlah peserta ujian yang mendekati angka 2 juta tersebut dengan tidak kentara memunculkan permasalahan baru bagi Indonesia, khususnya pada bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September. Pada bulan-bulan yang disebutkan baru saja, seluruh siswa tersebut telah selesai UN dan belum menjadi mahasiswa perguruan tinggi.
Masalah yang muncul dari sekitar 2 juta orang lulusan SMA termasuk diantaranya: pertama, menyumbang angka pengangguran terselubung. Mereka sudah pasti bercita-cita melanjutkan le perguruan tinggi dan kalau mungkin mereka mendapatkan beasiswa. Dalam bulan-bulan menunggu sebelum masuk kuliah mereka kembali menjadi anggota keluarga yang terdidik namun tidak produktif.
Pada awal-awal bulan setelah UN dipandang sebagai masa rehat dari ujian. Namun sangat janggal jika rehat sampai setengah tahun dengan uang saku dan makan yang wajib ditanggung oleh orangtua masing-masing, Â padahal mereka segar bugar, berpendidikan, dan dalam masa profuktif.Â
Kedua, memicu masalah sosial. Para lulusan yang tidak mengikat diri dengan belajar tambahan, kursus tambahan, atau aktifitas lainnya sebagai persiapan mendapatkan kursi di perguruan tinggi dan menjadi mahasiswa, mereka cenderung menghabiskan waktu tanpa aktifitas yang jelas. Dari satu sisi mereka merasa malu jika mengerjakan pekerjaan yang mereka pandang rendah, Â misalnya orangtuanya petani, mereka enggan bermandi lumpur dengan alasan mereka adalah lulusan SMA masa harus berkotor-kotor di sawah.Â
Ketiadaan aktifitas yang bermutu selepas SMA,  mendorong mereka untuk menciptakan aktifitas yang menyenangkan diri sendiri tanpa memperhitungkan akibatnya bagi dirinya juga orang lain. Mengisi masa kosong sebelum kuliah misalnya dengan tidur. Bisa saja  bagi sebagian orangtua, tidur-ada-di-rumah dipandang baik.
Sesungguhnya,  menjadi  aneh, mereka yang telah mengenyam pendidikan selama 12 tahun, tapi bisa berleha-leha tidur, makan, tidur, tanpa merasa malu pada tubuh remajanya dan pikiran produktifnya yang hanya dimanfaatkan untuk tidak melakukan apa-apa. Perlahan namun pasti, jika ini berlarut-larut, masalah sosial berupa penduduk yang enggan menggerakkan otot tapi makan tetap jalan, akan tumbuh. Orangtua dan masyarakat  seharusnya tidak terbebani remaja gagah perkasa yang menyebut tidur sebagai pekerjaan.Â
Ketiga, menambah jumlah angka penduduk terdidik yang menjadi beban pembangunan negara. Para lulusan SMA berusia antara 17-19 tahun, dirancang untuk melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi (PT). Â Kenyataannya tidak seluruh lulusan SMA bisa melanjutkan ke pendidikan selanjutnya dengan berbagai alasan. Negara yang memiliki begitu banyak penduduk produktif, Â misalnya 2 juta, dan jelas-jelas tidak bekerja, negara seharusnya melihat angka ini sebagai angka peluang untuk membangun negara. Â Angka penduduk yang harus kenyang perutnya lebih tinggi ketimbang produksi dari perut-perut yang kenyang tersebut bagi kemajuan negara.
Keempat, memungkinkan munculnya masyarakat mengambang. Di satu sisi, para lulusan SMA cerdas secara kognitif. Â Di sisi lain, dengan adanya izin menggunakan pekerja asing di Indonesia maka orang-orang cerdas lokal tersebut akan tergeser karena digolongkan pada masyarakat terdidik yang tidak memiliki kesiapan bekerja. Bahkan dibandingkan dengan lulusan SMK saja, para lulusan SMA seolah harua siap menganggur karena tidak memiliki bekal keterampilan.
Masalah ketidakproduktifan selama enam bulan sebelum masuk perguruan tinggi, bisa menjadi masa tidak produktif yang lebih panjang ketika kelak mereka benar-benar tidak dapat berkuliah. Menyikapi hal ini, para orangtua dipaksa harus siap memberikan latihan keterampilan agar anaknya bisa menghasilkan produk.
Selain itu, masyarakat, melalui lembaga atau kursus, dianjurkan memberikan ruang bagi diadakannya latihan-latihan keterampilan  praktis yang membuat anggota masyarakatnya produktif . Atau, pemerintah menyediakan latihan kerja magang yang memungkinkan para lulusan SMA selama setengah tahun mendapatkan keterampilan tertentu  yang mendorongnya untuk bisa bekerja mandiri.Â
Pendidikan sampai saat ini masih dipandang sebagai jalan untuk memperbaiki nasib, lahan mewujudkan cita-cita, dan jalur untuk memperoleh pekerjaan. Semoga ketiga hal tersebut terwujud sehingga para orangtua terus menaruh kepercayaan pada pendidikan dan terus mendengungkan bahwa pendidikan adalah pilihan terbaik untuk berinvestasi.