Ayah seorang petani yang segenap cinta dan baktinya jatuh pada padi. Setiap pagi, pada saat aku masih terlelap tidur dibungkus selimut demi menolak gelisah angin subuh yang sangat dingin, ayah sudah jauh dari bilik bambu kamarnya. Kakinya yang tanpa alas telah membuat lukisan-lukisan tapak berjari lima pada pematang sawah yang basah, tangannya memastikan aliran air tidak tersumbat batu, atau dedaunan, atau ranting-ranting kayu.Â
Kaki yang itu pula yang memberi tanda pada galur-galur ladang huma. Begitu cintanya ayah pada tanaman yang dikelilingi pematang sawah dan galur huma. Ayah berulang-ulang mengingatkanku bahwa padilah yang membuat kita hidup, dan kita banyak berhutang kepadanya, kepada Dewi Sri.
'Sebagai orang Sunda,' begitu ayah memulai menjelaskan kenapa padi membuat hidup, 'dulu, dulu sekali, pada zaman manusia dan Dewa bisa bersua, bisa bertatap muka, di Kayangan, Batara Guru hendak membuat istana. Seluruh Dewa diundang untuk menyumbangkan tenaga, pikiran, keahliannya untuk membuat istana itu termegah pada zamannya. Alkisah Dewa Anta, berbentuk seekor ular, ia tidak bisa membantu menyumbangkan apapun karena kekurangn bentuk dirinya. Ia sangat sedih. Meneteslah air matanya ke bumi.'
Otak kecilku, membayangkan Kayangan berdiri di atas awan-awan putih diantara pelangi dan para Dewa tinggal juga bermain di sana. Dalam banyanganku, para Dewa Dewi semuanya seperti orang dewasa, tidak ada dewa atau dewi seusiaku, dan mungkin tidak sekolah. Kepala dewa dewi dihias tiara-tiara bertata susun berlian, yang berkilau ketika sinar bulan menerpanya.Â
Di Kayangan, tidak ada matahari, pikirku, sehingag semua Dewa Dewi berkulit putih, bersih, dan pekerjaan mereka bermain. Tidak bekerja, karena tidak ada matahari.
Otak kecilku juga membayangkan seberapa besar butiran air mata Dewa Anta. Apakah sebesar butiran hujan di pagi hari yang datang bersama kabut halimun, ataukah sebesar butiran hujan poyan yang datang bersama matahari di siang bolong, atau sebesar butiran hujan sore yang datang bersama lembayung senja. Pikiranku penuh dengan bayangan ukuran butir hujan. Ayah tidak mengetahui betapa sibuknya pikirku memikirkan tangis seorang Dewa.
Ayah tidak melihat lalu lalang sibuk pikirku, ayah melanjutkan ceritanya. "Di bumi, air matanya menjelma menjadi dua mahkluk. Satu orang perempuan cantik, yang kita kenal dengan Dewi Sri, dan satu lagi berbentuk babi, bernama Budug Bastu. Sifat kedua mahkluk ini sangat berlawanan. Dewi Sri mengusasi padi menjadi Dewi Padi dan penolong bagi manusia, dan Budug Bastu bersifat merusak padi atau Dewa perusak.'
Kembali pikirku menerawang, kenapa dua orang kembar dari air mata tidak bisa bersahabat walaupun sifatnya berbeda. Mungkin itulah ciri khas dewa, tidak sama denganku yang harus memikirkan apakah sikapku merugikan orang lain atau tidak.
Ayah menganggap Dewi Sri masih bersamanya setiap saat. Ia menghaturkan izin dan terimakasih dengan khidmat padanya. Ayah berkata, 'kita orang Islam, jangan menyekutukan Tuhan, Dewi Sri dan Budug Bastu bukan Tuhan. Namun, kamu lihat, alam adalah wujud Tuhan, yaitu kasih. Setangkai pohon Cecenet, pohon sekecil itu, kenapa dia tidak mati, padahal kamu injak tanpa sengaja, dan dahannya patah, dia bertahan hidup sampai berbuah.Â
Kamu harus tahu, pohon Cecenet bertasbih pada Tuhan dengan mengikuti kodratnya yaitu berbuah sebelum mati, dia tidak hidup untuk sia-sia. Padi ini, adalah wujud kasih Tuhan yang memberi kita kemampuan bertahan, dan Dewi Sri adalah nurullah, cahaya illahi yang menerangi manusia agar selalu memulai sesuatu dengan minta izinNya, melaksanakan sesuatu sesuai petunjukNya, dan menutup kegiatan dengan berterimakasih padaNya. Cara kita bersilaturahmi dengan tanaman adalah dengan mencintainya.'
Penjelasan ayah, panjang, dan membingungkan. Â Tanaman padi seolah jadi rumit dalam pikirku, dan karena rumitnya, tak sepatah katapun bisa kuucapkan penanda bahwa penjelasannya bisa kupahami. Ayah mengajakku menuju pasir (bukit kecil) yang ia sebut rarahan (tanah yang siap untuk ditanami) yang akan dijadikan huma (ladang padi). Tanah itu masih belum dibeli lubang (di aseuk) untuk memasukkan bibit padi, namun ayah memintaku memegang batang bambu Gombong yang besar.Â