Baru-baru ini para guru membahas berita yang didapat dari laman Kemdikbud. Berita tersebut memuat pernyataan Mentri Pendidikan yang menyampaikan bahwa sekarang banyak orang yang menjahit karya ilmiah untuk guru. Oleh karenanya ke depan, lanjut berita tersebut, segala tugas ilmiah yang membuat guru melakukan kecurangan, dihapus.
Anggap saja berita tersebut hoax. Namun, pernyataan Pak Menteri Pendidikan tersebut menarik untuk dicermati. Pertama, kementerian berencana menghapus segala tugas ilmuah yang membuat guru melakukan kecurangan. Rencana ini terdengar seperti berita menggembirakan bagi guru yang selama ini belum memulai menulis laporan tugas ilmiah. Pertanyaannya, jika benar segala tugas ilmiah dihapus, benarkah itu akan mampu menghapus kecurangan lain sebagai efek domino dari guru seperti misalnya kecurangan siswa pada saat ulangan dan ujian, atau bahkan lebih jauhnya menghapuskan bibit-bibit koruptor?
Kecurangan dalam pembuatan segala tugas ilmiah tidak dapat sepenuhnya kesalahannya ditimpakan kepada guru. Terdapat beberapa hal yang harus dikaji terlebih dahulu. Sebagai pembuka terhadap masalah ini, sudahkah para guru dibekali keterampilan menulis?
Fenomena munculnya penjahit adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan seseorang menjahit sendiri. Seseorang tidak memiliki keterampilan menjahit, karena tidak pernah dilatih menjahit sehingga dia tidak memiliki sertifikat atau penanda lainnya yang menunjukkan dirinya terampil menjahit. Dengan kata lain munculnya kecurangan dalam penuntasan tugas ilmiah dikarenakan guru tidak memiliki keterampilan menulis. Mengandalkan kemampuan menulis yang telah diperolehnya ketika di perkuliahan, terlalu riskan. Selain bagi beberapa guru pengalaman menulis tersebut telah terlalu lama terlewati, juga tidak semua lulusan memilih jalur menulis karya ilmiah akademik untuk penyelesaian pendidikan di universitasnya.
Selanjutnya, setelah seorang guru berafiliasi pada sebuah instansi kerja, adakah pemberian pelatihan menulis atau bimbingan melanjutkan keterampilan menulisnya ke tingkat yang sesuai dengan kebutuhannya? Seorang guru, ketika masuk ke lingkungan kerja sebagai pendidik, dia tidak pernah mengetahui ada pada kategori apa kemampuan menulisnya.Â
Berbeda dengan kemampuan berbahasa, TOEFL, IELTS, dan TOEIC membantu mereka yang hendak mengenali kemampuan berbahasa asingnya ada pada level atau kategori mana. Mereka dapat terus berlatih untuk mendapatkan keterampilan berbahasa seperti yang diinginkannya, misalnya dengan cara berlatih secara teratur, setelah mengetahui dirinya berada pada kategori mana. Ketika guru tidak mengetahui tingkat keterampilan menulisnya berada pada level yang mana, bagaimana dia dapat memulai latihan secara intensif agar menguasai keterampilan menulis level tertentu.
Pertanyaan lainnya, apakah pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan memberikan bekal keterampilan menulis melalui membaca dengan mewajibkan guru membaca buku? Misalnya, guru golongan III/a wajib membaca buku A, B, dan C. Guru yang bergolongan selanjutnya, harus tamat membaca buku lainnya. Membaca buku-buku tersebut menjadi program wajib yang nantinya memperkaya pengetahuan guru untuk kemudian dapat menuliskan sesuatu berdasarkan hasil bacaan. Martin (2012) mengatakan reading to learn, learning to write atau membaca untuk memperoleh pengetahuan, pengetahuan untuk modal menulis. Guru diasumsikan dapat menuliskan sesuatu setelah dia membaca. Kabarnya di Malaysia, menteri pendidikannya mewajibkan guru membaca buku mengenai pendidikan dan pengajaran. Cara ini memberikan kesempatan kepada guru untuk tidak berhenti belajar setelah menjadi guru.
Terakhir, apakah sekolah tempat dimana guru tersebut bekerja mulai dari diangkat (sebagian sampai pension) sempat memberikan pelatihan menulis secara rutin? Standar tenaga pendidik ditetapkan dalam peraturan pemerintah minimal S1. Asumsinya, selama perkuliahan, tentulah dilatihkan menulis akademik, dan khatam S1 paling tidak telah pula khatam menulis beberapa jenis tulisan akademik.Â
Ketika meniti karir sebagai guru hanya tinggal melanjutkan menulis dengan jenis tulisan akademik bernuasa keguruan seperi misalnya penelitian berbasis kelas. Pada kenyataannya, guru menghabiskan hampir semua waktunya untuk merencanakan, melaksanakan dan menilai hasil pembelajaran. Kegiatan menulis akademik tidak tersentuh. Pun, sekolah tidak menyegarkan dan melatihkan kembali keterampilan menulis pada kegiatan intern sekolah misalnya dalam bentuk workshop. Sekolah seolah hanya berkewajiban menagih produk karya tulis untuk melengkapi administrasi penghitungan angka kredit kenaikan pangkat. Sekolah seolah menuntut produk, bukan proses.
Kembali pada topik menghapus segala tugas ilmiah untuk guru sebagai upaya membersihkan sikap-sikap tidak terpuji yang mungkin dilakukan oleh oknum guru, rencana ini diharapkan bukan final. Guru tetap harus menulis karya ilmiah untuk menunjukkan bahwa dia memiliki kompetensi profesional dan pedagogis. Guru, sebagai warga akademik dan individu kompeten, wajib berbagi kepada dunia tentang kegiatan mereka selama memberikan pengalaman belajar kepada siswanya. Pintu untuk berbagi adalah tulisan akademik berbasis pengalaman mengajar di kelas. Â
Menyikapi pernyataan menteri pendidikan yang menyebutkan banyak guru yang tidak menulis sendiri laporan tugas ilmiahnya, tidak berarti segala tugas ilmiah kedepan harus dihapuskan. Menulis, sebagai sebuah keterampilan, maka menulis dapat dipelajari. Seperti halnya keterampilan lain, keterampilan menulis dapat diperoleh dengan banyak berlatih. Â Sudah saatnya dihadirkan di setiap sekolah kelas-kelas menulis untuk guru. Sudah saatnya pula guru dilatih untuk menulis agar mereka memperoleh keterampilan menulis dan tidak perlu lagi menjahitkan laporan kepada orang lain.