Mohon tunggu...
Yanestri CahyaAisyah
Yanestri CahyaAisyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Akad Muazaraah sebagai Solusi Ekonomi bagi Petani dan Pemilik Lahan

20 Juni 2024   20:18 Diperbarui: 20 Juni 2024   20:42 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Secara umum, masyarakat seringkali menjalin kerjasama di sektor pertanian antara pemilik lahan dan penggarap untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Beberapa orang tidak memiliki lahan untuk dikelola, sementara yang lain memiliki lahan namun hasilnya belum mencukupi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, mereka bekerja sama dengan pemilik lahan lain untuk berbagi hasil panen. Selain itu, ada juga individu yang memiliki beberapa bidang tanah namun tidak mampu menggarapnya sendiri, sehingga mereka menyerahkan pengelolaannya kepada orang lain dengan pembagian hasil sebagai imbalan.

Proses kerjasama pertanian dimulai dengan pertemuan antara pemilik lahan dan penggarap. Pertemuan ini bisa diinisiasi oleh pemilik lahan yang mencari penggarap atau oleh penggarap yang membutuhkan lahan untuk digarap. Pertemuan ini dapat berlangsung secara formal atau informal, dengan tujuan mencapai kesepakatan mengenai kerjasama. Kesepakatan atau akad ini bisa dibuat secara lisan atau tertulis, meskipun dalam praktiknya, sebagian besar akad dilakukan secara lisan berdasarkan kepercayaan timbal balik antara kedua belah pihak. 

Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak akan mendiskusikan berbagai aspek dari kerjasama, seperti pembagian hasil panen, tanggung jawab masing-masing, dan jangka waktu kerjasama. Kepercayaan menjadi faktor dasar dalam perjanjian ini, mengingat banyaknya akad yang didasarkan pada hubungan interpersonal dan kejujuran satu sama lain.

Rukun dalam akad muzara'ah dimulai dengan pelaksanaan lafaz ijab dan kabul pada awal perjanjian. Ijab adalah pernyataan kehendak dari pihak yang menawarkan akad (mujib), sementara kabul adalah pernyataan penerimaan dari pihak yang menerima tawaran tersebut (qabil). Dalam mekanisme kerjasama pertanian, proses ijab dan kabul ini seringkali dilakukan secara lisan oleh kedua belah pihak. 

Meskipun kerjasama ini telah memenuhi rukun-rukun yang diperlukan, sangat disarankan agar perjanjian ini didokumentasikan secara tertulis. Pendokumentasian ini harus dilakukan untuk mencegah perselisihan di masa mendatang, terutama jika lahan yang menjadi objek kerjasama memiliki luas yang signifikan. Dengan adanya perjanjian tertulis, hak dan kewajiban masing-masing pihak menjadi lebih jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini seperti firman Allah SWT, dalam QS. Al-Baqarah ayat 282
 
 
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, ketika Anda terlibat dalam transaksi yang tidak melibatkan pembayaran tunai dengan waktu yang telah ditentukan, hendaknya Anda mendokumentasikannya secara tertulis. Seorang penulis di antara Anda harus menuliskannya dengan cermat dan adil.

Dalam penafsiran ayat tersebut, dijelaskan bahwa ayat ini secara tegas menginstruksikan penulis (katib) untuk mencatat transaksi dengan akurat dan adil, tanpa merugikan pihak manapun serta tanpa adanya penambahan atau pengurangan yang tidak sesuai dengan kesepakatan. 

Dengan kata lain, ayat ini mengintruksikan pentingnya mendokumentasikan kepercayaan secara tertulis dalam transaksi yang tidak melibatkan pembayaran tunai. Tujuannya adalah untuk memastikan tidak ada kerugian yang dialami oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam kerjasama, yakni pemilik lahan dan penggarap, sehingga semua detail transaksi tercatat dengan jelas dan menghindari perselisihan di masa depan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejumlah syarat dalam akad muzara'ah telah terpenuhi, yang melibatkan aspek-aspek seperti syarat agama, tanaman, tanah, dan alat-alat muzara'ah. Selama proses penarikan kesimpulan, dapat diidentifikasi alasan-alasan yang mendorong pemilik lahan dan penggarap untuk terlibat dalam kerjasama pertanian (akad muzara'ah), antara lain:
Alasan Pemilik:
a. Tidak mampu mengelola lahan sendiri karena keterbatasan kemampuan.
b. Memiliki pekerjaan lain, sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk mengurus lahan mereka, meskipun sebenarnya bisa menggarapnya sendiri.
c. Niat untuk membantu petani yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
d. Memanfaatkan lahan yang tidak dikelola.
Alasan Penggarap:
a. Tidak memiliki lahan untuk diolah.
b. Memerlukan penghasilan tambahan.
c. Memiliki waktu lebih untuk terlibat dalam kegiatan pertanian.

Untuk mewujudkan kerjasama yang saling menguntungkan di sektor pertanian, akad muzara'ah menjadi solusi bagi pemilik lahan dan penggarap. Pemilik lahan, yang mungkin tidak mampu mengelolanya sendiri atau memiliki keterbatasan waktu, dapat memanfaatkan lahan mereka dengan melibatkan penggarap. Di sisi lain, penggarap yang tidak memiliki lahan atau membutuhkan penghasilan tambahan dapat menanam dan mengelola tanah yang diserahkan oleh pemilik lahan. Dalam proses akadnya, keduanya sepakat untuk berbagi hasil panen sesuai kesepakatan awal. 

Keberhasilan kerjasama ini didasarkan pada prinsip saling tolong-menolong, kepercayaan, dan keikhlasan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Ada berbagai alasan yang mendorong pemilik lahan dan penggarap untuk terlibat dalam muzara'ah, seperti keterbatasan kemampuan, pekerjaan lain, niat membantu, atau memanfaatkan lahan yang tidak dikelola. Di sisi penggarap, alasan melibatkan diri bisa mencakup kebutuhan akan lahan, penghasilan tambahan, atau ketersediaan waktu lebih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun