Penolakan/reposisi terhadap Ujian Nasional semakin santer terdengar, terutama saat menjelang dilaksanakannya Ujian Nasional. Berbagai contoh bentuk penilaian kelulusan dari beberapa negara, teori-teori dari beberapa pakar, gejala dan akibat yang ditimbulkan dari Ujian Nasional, menyebabkan penolakan maupun permintaan reposisi terhadap Ujian Nasional pun semakin terlihat keniscayaannya. Namun, begitu besarkah dampak negatif dari Ujian Nasional ini? Jika benar demikian adanya, mengapa Pemerintah maupun ahli-ahli pendidikan di Kementrian terkait tidak meng-iya-kan penolakan ini?
Evaluasi terhadap pembelajaran dan ketercapaian kompetensi siswa dalam bentuk ujian akhir telah dilaksanakan sejak tahun 1965 dengan beberapa kali perubahan nama. Diawali dengan sebutan Ujian Negara, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional, hingga Ujian Nasional sekarang ini. Pada tahun 2005, mulai diberlakukan nilai minimal kelulusan pada Ujian Akhir Nasional. Sejak saat itu, semakin marak bentuk penolakan, istighosah, doa bersama, ritual tahunan lainnya, eksloitasi kecurangan dan ketidak-jujuran, dan bentuk lainnya. Tidak ada yang salah dengan melakukan doa dan ibadah bersama lainnya dalam rangka menghadapi Ujian Nasional, namun jika pelaksanaannya karena ketakutan terhadap UN, dan tetap dibarengi dengan ketidak-jujuran secara berjamaah pada pelaksanaan UN, maka ibadah tersebut menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Bahkan akan semakin menyudutkan UN sebagai penyebab utama dari segala dampak yang ada.
Bentuk Pilihan Ganda adalah yang terbaik (?)
Tujuan utama dari suatu penilaian/evaluasi dari suatu proses pembelajaran adalah memperoleh data yang valid, reliable, dan berguna tentang perkembangan peserta didik (Miller, 2009). Diperlukan penentuan terhadap kompetensi apa yang akan diukur juga bagaimana cara mengukur dan menilainya. Bentuk tes pilihan ganda yang digunakan pada Ujian Nasional merupakan salah satu bentuk tes objektif. Dikatakan objektif karena memiliki satu jawaban yang benar atau yang terbaik sehingga penilaian pada bentuk tes ini didasarkan pada objektifitas hasil kerja peserta tes. Berbeda dengan bentuk tes non-objektif, seperti uraian bebas dan unjuk kinerja yang tidak memiliki satu jawaban yang paling benar sehingga penilaian terhadap bentuk tes ini memungkinkan subjektifitas yang tinggi dari yang menilai (penyekor).
Selain pilihan ganda, ada beberapa contoh lain dari jenis tes objektif, misal benar-salah, mencocokkan, melengkapi dan uraian singkat. Dibandingkan dengan tes objektif lain, pilihan ganda memiliki beberapa kelebihan, antara lain (Miller, 2009) :
- Adanya alternatif jawaban membuat ambiguitas dan ketidakjelasan seperti yang biasa muncul pada tes jawab singkat dapat dihindari.
- Dibandingkan dengan tes benar-salah, tes pilihan ganda membuat siswa harus tahu jawaban yang benar (bukan hanya sekedar tahu yang salah tanpa tahu kebenarannya).
- Memungkinkan kita untuk mengukur kemampuan pemahaman siswa (dengan menanyakan tentang alasan terbaik, metode terbaik, maupun interpretasi terbaik).
- Item soal dianggap lebih reliabel dibanding item tes benar-salah.
- Dibandingkan dengan tes mencocokkan, tes pilihan ganda tidak membutuhkan topik yang homogen dalam jumlah yang relatif banyak.
- Relatif terbebas dari response set.
- Dengan menggunakan beberapa alternatif yang masuk akal akan membuat hasil tes dapat dipertanggungjawabkan untuk didiagnosis (kecenderungan jawaban salah yang dipilih oleh siswa mengindikasi adanya ketidakpahaman yang membutuhkan koreksi).
Bentuk tes pilihan ganda dapat mengukur kompetensi kognitif yang lebih tinggi dibandingkan bentuk benar-salah, mencocokkan, maupun bentuk melengkapi. Namun untuk kompetensi yang lebih kompleks sepeti kemampuan memformulasikan masalah, mengorganisir, mengintegrasi, analisis, menulis, komunikasi, dan interpretasi data akan lebih cocok menggunakan bentuk tes unjuk kerja seperti uraian bebas, portofolio, atau dalam bentuk produksi seperti karya ilmiah, makalah, software, maupun hardware. Namun bentuk tes unjuk kerja ini tidak dapat mengukur subjek kompetensi yang lebih luas dan detail. Beda dengan pilihan ganda yang dapat mengukur lebih banyak kompetensi dan indikator apalagi dengan begitu banyak kompetensi yang dipelajari selama 3 tahun di sekolah. Selain itu, bentuk tes ini memiliki kelemahan yaitu memerlukan waktu yang lama dalam penilaian/penyekoran dan juga tergolong unreliability of scoring atau memiliki subjektifitas yang tinggi dalam penilaian.
Berdasarkan lampiran Permendiknas no. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, begitu banyak standar kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh lulusan tiap jenjang studi. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa bentuk pilihan ganda merupakan bentuk tes yang sangat mungkin dilakukan untuk mengukur ketercapaian siswa terhadap banyaknya kompetensi dasar yang disyaratkan. Patut dicatat, bahwa kesimpulan yang kita dapatkan di sini adalah bahwa UN dengan bentuk pilihan ganda merupakan yang sangat mungkin (baca: terbaik) untuk mengukur ketercapaian siswa, belum pada kesimpulan sebagai penentu kelulusan.
Sekolah, guru, peserta didik dapat dipercaya (?)
Tak dapat dipungkiri, desentralisasi pendidikan memiliki beberapa dampak negatif. Begitu banyak sekolah negeri dan guru yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga pelaku-pelaku pendidikan tersebut tidak dapat bekerja secara independen. Sekolah dan guru menjadi tidak kreatif dan bergantung pada pemerintah. Akibat hirarki kepemimpinan tersebut menyebabkan ada hubungan ‘kepatuhan, ketakutan, dan ketergantungan’ hingga mampu men-degradasi nilai kejujuran dalam interaksi sosial bangsa ini. Perilaku ‘asal bapak senang’, diduga menjadi marak dalam rangka menyambut hadirnya UN. Segala cara dilakukan. Struktur vertikal dari Gubernur hingga guru, dengan garis “komando” yang samar, menyebabkan pen-degradasi-an nilai kejujuran seakan-akan suatu kewajiban untuk menyelamatkan anak bangsa. Dan hal ini semakin diperparah dengan pandangan dari orang tua peserta didik dan masyarakat terhadap hasil UN dari suatu sekolah. Jika hasil buruk, sesuai dengan iklan salah satu instansi pemerintah, ‘Apa Kata Dunia?’. Selayaknya, semua penelitian dan argumentasi yang menggunakan data hasil ketidak-jujuran secara otomatis tak dapat diakui ketepatannya. Namun anehnya, dengan alibi berpikir positif, kita semua meng-iya-kan kepura-puraan itu dan mencari-cari alasan, bukan untuk membenarkan, tapi untuk hidup bersama ketidak-jujuran itu.
Bagaimana dengan sang peserta didik? Tidak dapat dihindari, merekapun turut dilibatkan para orang dewasa yang disebut pelaku pendidikan itu. Maka pen-degradasi-an nilai kejujuran pun diwariskan pada peserta didik. “Mari, kita bersama-sama tidak jujur”. Jujur dan tidak jujur memiliki perbedaan yang tipis, hanya dibedakan pada tujuan akhir. Tidak ada lagi nilai kejujuran pada tataran niat dan proses (pelaksanaan). Menyontek itu baik jika tujuannya adalah untuk kelulusan. (sebagai catatan, sudahkah menonton film dokumenter Temani Aku Bunda?)
Jika kita mengamini situasi di atas, apakah wacana kelulusan yang ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan bisa dijamin lebih valid, reliabel dan terpercaya daripada pelaksanaan yang distandarisasi secara nasional? Tentu saja jawaban akan pertanyaan ini akan berbeda-beda. Dan tulisan inipun bukan untuk men-judge, namun sebagai wacana perbandingan.
UN sebagai penentu kelulusan (?)
Dalam Permendikbud no. 3 tahun 2013 Bab II tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan tertulis bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan setelah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran, lulus ujian S/M/PK untuk mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lulus UN. Ternyata, UN bukanlah satu-satunya syarat lulus dari satuan pendidikan. Pada pasal selanjutnya terdapat penjelasan tentang syarat-syarat tersebut, termasuk pembobotan 60% dari UN dan 40% dari nilai S/P/MK yang diuji sebagai kriteria Nilai Akhir kelulusan, nilai rata-rata dari semua NA adalah 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0.
Apakah ada yang merasa berat dengan syarat kelulusan lainnya selain lulus UN? Secara pribadi, belum pernah mendengar keluhan tersebut. Dapat dimaklumi, karena syarat kelulusan selain lulus UN dilakukan di masing-masing satuan pendidikan. Dengan semangat yang sama pada proses pen-degradasi-an nilai kejujuran, maka syarat kelulusan selain UN bukan merupakan suatu hambatan.
Mari kita perhatikan sejenak perhitungan kelulusan tersebut. Dengan asumsi bahwa semua peserta didik memperoleh nilai baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran, lulus ujian S/M/PK untuk mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai minimal 7,5, maka tiap peserta didik hanya perlu menjawab 17 soal dengan benar dari 40 soal yang diberikan. Tidak perlu menjawab benar hingga setengah dari keseluruhan soal.
Apakah itu suatu hal yang mustahil setelah pembelajaran selama 3 tahun? Patut diingat bahwa kompetensi dan kemampuan yang dapat diukur dari soal pilihan ganda bukanlah kompetensi dan kemampuan kompleks seperti yang telah dibahas sebelumnya. Jika demikian adanya, ketakutan terhadap UN merupakan suatu hal yang berlebihan. Apalagi hingga mengadakan pembelajaran berbasis bimbingan tes selama satu semester sebagai persiapan menghadapi UN di sekolah.
Guru dan Sekolah sebagai penyebab utama (?)
Apakah perlu reposisi terhadap UN yang merupakan penentu kelulusan (katanya) menjadi hanya sekedar alat pemetaan terhadap kondisi pendidikan di Indonesia dengan bentuk sampling, masih perlu untuk dilihat lebih jauh lagi pada akar permasalahan yang sebenarnya. Memang benar bahwa di beberapa negara telah meniadakan ujian standar sebagai penentu kelulusan. Namun, dengan pembagian 60% pada hasil UN (penilaian akhir) dan 40% dari S/P/MK sebagai bentuk penilaian proses, kiranya perlu juga diapresiasi sebagai bentuk pengakomodiran dan fleksibilitas dari pemerintah terhadap wacana penolakan dan anti UN.
Berdasarkan penelitian Prof. John Hattie dari Universitas Auckland dalam presentasi Mae Chu Cang (Bank Dunia), guru merupakan faktor penting dalam perkembangan peserta didik (30%). Masih dalam presentasi tersebut, disebutkan bahwa guru yang profesional dapat meningkatkan kemampuan siswa saat Ujian Nasional menjadi 90% setelah 3 tahun bersekolah. Sedangkan guru dengan kualitas yang rendah malah menurunkan kemampuan siswa menjadi 37%.
Selain itu, dalam laman kemdiknas.go.id, Mendiknas menyatakan bahwa KTSP hanya mengakomodir tidak lebih dari 70% kompetensi yang diujikan pada studi global seperti PISA, TIMSS dan PIRLS. Namun, dengan kompetensi sebanyak 70% yang telah diajarkan, ternyata tidak mampu meningkatkan peraihan rata-rata dalam studi-studi tersebut, bahkan pada studi TIMSS tahun 2011, Indonesia hanya memperoleh 43% pada soal kategori low, 15% pada intermediate, 2% pada soal kategori high dan 0% pada soal kategori advanced. Dapat disimpulkan bahwa kelemahan itu bukan hanya pada terlingkupinya semua materi/kompetensi yang diujikan pada studi internasional pada kurikulum nasional kita, namun lebih pada proses pembelajaran juga termasuk kompetensi guru dan metode pembelajarannya.
Diperlukan metode pembelajaran yang dapat menghasilkan pembelajaran bermakna bagi siswa hingga siswa mampu berpikir kritis, kreatif, dan memiliki kemampuan pemecahan masalah (HOTS=High Order Thinking Skills). Menurut Ausubel, pembelajaran bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif peserta didik. Beda belajar bermakna dengan belajar hafalan adalah pada belajar hafalan, peserta didik tidak mengaitkan informasi baru tersebut dengan konsep yang relevan yang telah dia miliki. Pembelajaran bermakna lebih lama tersimpan dalam struktur kognitif daripada hafalan. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, guru harus berusaha memberi makna pada setiap informasi baru tersebut.
Jika proses pembelajaran hanya berorientasi pada UN, dapat kita yakini bentuk pembelajaran di kelas akan berupa latihan/drill. Dan ini merupakan bentuk dari belajar hafalan (Ausubel, 1968). Ciri yang dapat dilihat dari belajar hafalan adalah menerapkan rumus untuk memecahkan masalah dan pemecahan dengan coba-coba.
Begitu besar peran guru dalam pendidikan, namun dalam kurikulum 2013 yang akan dilaksanakan pada Juli 2013, justru ada kecenderungan untuk semakin mengkerdilkan peran guru. Guru tidak dilatih dan dididik untuk kreatif, peka terhadap kebutuhan dan mengerti perbedaan masing-masing peserta didik, namun dilatih untuk menjalankan panduan yang terdapat dalam buku Babon yang dirilis secara nasional. Kemampuan guru dapat dilatih agar sesuai dengan buku panduan, namun pemerintah lupa bahwa kebutuhan, kemampuan, kecerdasan, pemahaman, kondisi psikologi dari tiap siswa secara individu maupun regional berbeda. Apakah mereka (penulis buku Babon) dapat menjamin bahwa panduan yang mereka cantumkan dalam buku merupakan kebutuhan dan sesuai kemampuan seluruh peserta didik di seluruh Indonesia? Secara pribadi penulis sangsi bahwa para penulis buku Babon pernah mengajari peserta didik pada sekolah di pelosok Indonesia.
Jadi, apakah UN atau strategi pembelajaran di kelas yang merupakan masalah dari kondisi pendidikan bangsa Indonesia?
Pada bagian akhir ini, penulis berkesimpulan bahwa perlu adanya moratorium terhadap pelaksanaan UN ini mengingat dampak yang ditimbulkannya. Perlu waktu untuk mengkondisikan kembali pemahaman yang sebenarnya tentang belajar, baik oleh guru maupun oleh peserta didik juga masyarakat. Selain itu pula, sentralisasi guru (bagi guru PNS, berada di bawah Kemendikbud bukan Pemda) untuk pemerataan kualitas pendidik di seluruh Indonesia dan pendidikan serta pelatihan berkelanjutan bagi setiap guru merupakan hal penting lainnya yang perlu diprioritaskan pemerintah selama pelaksanaan moratorium terhadap UN.
Terima Kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H