Merupakan kebanggaan orang tua jika memiliki anak yang mampu berpikir cerdas dan kreatif. Secara umum, dapat kita katakan bahwa anak tersebut pintar. Coba kita lihat kondisi tersebut dari sisi negatif, ketika pada derajat kepintaran yang sama, kecerdasan dan kreatifitas tersebut digunakan untuk hal-hal yang tidak diharapkan banyak orang, maka istilah cerdas bisa saya ganti dengan licik.
Cerdas dan licik memiliki perbedaan yang sangat tipis, setipis niat yang mencabangkan konsep ilmu dan pengetahuan yang dimiliki mengarah pada perilaku dan produk-produk lainnya yang tidak bermoral dan bertentangan dengan norma-norma yang dianut (baca: karakter bangsa/Pancasila). Misal Korupsi. Jelas, seluruh bangsa Indonesia memiliki satu suara bahwa korupsi bukanlah karakter bangsa ini, namun seakan-akan ini telah menjadi budaya yang berkembang sporadis dan sangat mencandu.
Ya, pendidikan karakter dibutuhkan bangsa ini untuk berubah. Tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa moral dan karakter bukan untuk diajarkan atau mungkin menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga, bukan sekolah. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa saat ini keluarga Indonesia lebih banyak menaruh harapan kepada sekolah untuk mendidik anaknya, "menitipkan" pada ustad untuk belajar agama, dan sebagainya. Sekolah saat ini memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk membina anak-anak bangsa!
Moral lebih baik dicontohkan bukan diajarkan, namun dengan mengarahkan dalam proses pembelajaran yang bermakna, mampu memberikan pengalaman kepada siswa bahwa mana yang memiliki nilai baik dan mana yang tidak dapat diterima oleh masyarakat luas. "Dilarang korupsi" bukanlah yang harus diteriakkan di dalam kelas sebagai proses transfer konsep, tapi dengan mengajarkan manfaat dari pajak yang dapat membangun peradaban dan membantu bagi warga negara yang membutuhkan, bisa menyentuh sisi manusiawi tiap siswa. Selanjutnya, tanyakan kepada mereka, bagaimana jika uang tersebut dirampok. Jika anda pernah kecil, saya yakin tidak semua nilai, moral, dan karakter yang baik anda dapatkan dari contoh orang tua anda maupun orang yang lebih tua di sekitar anda. Anda juga pasti dapatkan dari membaca, diceramahi, menonton, dan diajari.
Kurikulum 2013 Sebagai Bentuk "Pemaksaan" Secara Sistem
Dalam kaitan terhadap pengembangan kompetensi Guru, telah adanya perubahan yang dilakukan pemerintah. Misal untuk kenaikan pangkat diwajibkan bagi Guru melakukan penelitian, dan beberapa syarat lainnya. Untuk merangsang dan perbaikan kesejahteraan diberikan tunjangan profesi Guru bagi yang telah memiliki sertifikat pendidik melalui penilaian portofolio dan pendidikan profesi. Selain itu, bentuk intervensi pemerintah terhadap pengembangan kompetensi Guru juga melalui Standar Kualifikasi Akademik Guru yang diwajibkan memiliki kualifikasi minimal adalah Sarjana. Berbagai bentuk pemaksaan yang dilakukan pemerintah terhadap Guru sudah selayaknya dipandang dari sisi positif, demi kebutuhan anak bangsa.
Bagaimana dengan kurikulum 2013? Paradigma pendidikan abad 21 ini telah mengalami pergeseran, dari yang bersifat teacher centered menjadi student centered, dari mengajar yang sekedar transfer of knowledge menjadi pembelajaran bermakna yang lebih kontekstual. Sejak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dibuat, paradigma tentang pendidikan abad 21 pun telah dikumandangkan. Pembelajaran yang konstruktif dan kontekstual yang dapat merangsang cara berpikir tingkat tinggi siswa diharapkan dapat dilaksanakan di kelas. Namun apa daya, kenyataan yang terjadi adalah sebagian besar cara pembelajaran di kelas belum sesuai yang diharapkan. Silabus dan RPP merupakan saduran/jiplak, berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat di sini.
Benar, jika ada yang berpendapat bahwa, jika Guru belum mampu membuat silabus, jangan kurikulum yang dirubah, tapi latih Guru. Sesuai janji pemerintah, akan dilaksanakan pelatihan terhadap Guru. Yang perlu kita suarakan adalah bahwa pelatihan Guru bukan hanya untuk kurikulum ini saja. Jarak antara pengetahuan Guru-Guru di Indonesia terhadap metode mengajar sudah sangat jauh, apalagi jika ditambah dengan variabel lain dalam dunia kependidikan. Pelatihan itu hak setiap Guru, dan merupakan kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi. Dosa ini harus segera dibayar. Selain dari hak mendapat pelatihan bagi Guru, kurikulum pun patut diperhatikan. pembelajaran tematik integratif telah ada di KTSP, kenapa tidak dijalankan dan kenapa sekarang diributkan? Dapat disimpulkan bahwa butuh pemaksaan yang lebih eksplisit dalam kurikulum agar mampu diterjemahkan secara jelas oleh Guru dan sekolah. Sejak dulu, Guru di SD merupakan Guru kelas yang mampu mengajarkan berbagai bidang studi. Berdasarkan usia mereka, siswa SD akan lebih 'nyaman' melakukan pembelajaran dengan bermain sesuai tema yang ada daripada harus belajar mata pelajaran matematika yang menurut cerita dari kakak mereka merupakan 'momok'.
Materi Kompetensi Dasar Yang 'Lucu'
Awal membaca Kompetensi Dasar Kurikulum 2013 yang beredar di internet pasti akan terheran-heran dengan Kompetensi Dasar yang meruakan pejabaran dari kompetensi inti pertama dan kedua. Misal Kompetensi Dasar 2.1 pada SD kelas I, 'Menunjukkan perilaku patuh pada aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai prosedur/aturan dengan memperhatikan nilai tempat puluhan dan satuan'. Masih banyak Kompetensi Dasar lainnya yang akan menjadikan kita bertanya-tanya, bagaimana mengukurnya, bagaimana mengajarkannya?
Tinggalkan sejenak ke'lucu'an Kompetensi Dasar tersebut. Coba kita perhatikan Kompetensi Dasar yang merupakan penjabaran dari Kompetensi Inti ketiga dan keempat (kompetensi konsep dan implementasi). Dalam opini yang dapat dibaca di sini, Mendikbud menyatakan bahwa untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP. Dengan kata lain terdapat 30% materi yang diujikan di TIMSS belum pernah diajarkan pada siswa kelas VIII. Pada kurikulum 2013, masalah tersebut terfasilitasi. Patut diingat, bahwa ini adalah Kompetensi Dasar pejabaran dari Kompetensi Inti konsep dan implementasinya.