Inspektur Edison segera mendekati Alif, tapi Santoso lebih dulu bergerak dan membisikkan beberapa kata ketelinga inspektur polisi itu. Wajah lelaki tiga puluhan tahun itu berubah. Tapi dia segera melanjutkan langkahnya.
"Tuan minum teh sendirian, apa enaknya?!" Ucap Inspektur Edison. Dia duduk didepan Alif sambil mengambil gelas dan menuangkan teh. Tapi teko teh disambar Alif.
"Jika inspektur ingin menemani, itu akan bagus sekali. Aku akan bertindak sebagai tuan rumah menuangkan teh. Tapi seringkali, terlalu banyak orang tidaklah begitu elok!" Alif menuangkan teh, kemudian mengedarkan pandangannya ke beberapa polisi yang ikut masuk bersama Edison.
Edison tertawa setelah tertegun beberapa detik. Dia mengangkat gelas yang hanya berisi dua pertiga gelas. Meneguknya sambil memejamkan mata. "Kalian tunggu aku diluar saja!"
Ali Akbar mengerutkan alis. Sudah sampai begini kalau dia masih tidak tahu bersikap, bukankah dia sangat bodoh? Dia ikut duduk di samping Edison dan ikut menuangkan teh. Tapi Inspektur polisi itu menahannya. "Kenikmatan teh itu bukan soal siapa yang meracik, atau produksi siapa. Teh ternikmat didunia ketika di seduh oleh seorang sahabat!"
Setelah mengatakan hal itu, dia mengambil teko dan menuangkan teh untuk Ali Akbar. Alif tersenyum melihatnya dan tidak mengatakan apa-apa. Sementara Ali Akbar juga paham dengan maksud Edison.
Tiba-tiba telepon satelit Alif berdering lembut. Dia mengeluarkan benda elektronik berkesan kuno itu dan berkata "Inspektur, ijin sebentar!"
Tanpa menunggu tanggapan Edison dan Ali Akbar, Alif menekan tombol terima, telepon langsung tersambung. "Sudah selesai, Letnan! Dasar bajingan, klan Panji baru mau melepaskan Rumah Sakit dengan harga seratus sepuluh Milyar. Anda tidak keberatan bukan?"
"Ini hanya menunjukkan daya negosiasi anda sudah turun beberapa level!" Jawab Alif cemberut.
"Bajingan! Bukankah seharusnya kau berterimakasih padaku?" Suara manja diseberang sana membuat wajah Alif memerah.
"Oke. Terimakasih, sampai jumpa!"