Sastri Bakry dan Calon Presiden Republik Indonesia
Tahun 2014 bagi bangsa Indonesia adalah tahun terpanas dalam kancah perpolitikkan. 9 April yang lalu bangsa ini telah melaksanakan pesta demokrasi pertama untuk menentukan para wakil rakyat yakni Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Pimpinan Rakyat, baik dari tingkat kabupaten hingga tingkat provinsi serta tingkat nasional. Setelah pesta demokrasi tersebut dengan segala hiruk pikuknya, tidaklah selesai sampai disitu karena pada tahun yang sama di tanggal 9 Juli, Bangsa Indonesia akan menentukan nasibnya selama 5 tahun kedepan dengan adanya penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2014 – 2019.
Kancah politik Indonesia saat ini benar-benar berada dalam satu titik yang menegangkan. Bayangkan saja, tiap diri merasa jagoannyalah yang paling benar dan hebat serta paling layak memimpin Indonesia. Dua kubu saling menyerang, saling menjelekkan dan saling sama-sama merasa benar. Semua berteriak ingin melakukan perubahan/ tanpa mau mengidentifikasi permasalahan (Negeri Tanpa Hati, Halaman 25).
Tahun ini juga, banyak orang yang hendak menganalisa dan memberikan sumbangsih pemikiran dalam berbagai macam bentuk, semisal acara televisi yang terus melakukan debat politik, mencari sosok pemimpin Indonesia, iklan dari kedua kubu yang bertarung menonjolkan kehebatan masing-masing, janji-janji manis mulai bertebaran demi mendulang suara. Dari ranah sastra pun tidak mau ketinggalan ikut ambil bagian menafsirkan siapa calon pemimpin dan bagaimana sikap sebagai seorang pemimpin yang kelak pada akhirnya memimpin Indonesia sampai 5 tahun nanti. Berbagai macam bentuk tulisan yang juga ikut andil mempengaruhi banyak orang untuk memilih semisal essai, cerpen, novel, opini publik dan juga puisi. Bahkan salah satu petinggi sebuah partai yang mendukung salah satu calon pernah menuliskan puisi yang menyindir calon pemimpin yang di usung oleh partai lain. Artinya sebuah tulisan mampu mempengaruhi siapa saja agar orang yang membaca tersebut pada akhirnya memilih jagoannya masing-masing.
Sebagai Pejabat Eselon II sekaligus seorang sastrawati yang mumpuni di bidangnya, Sastri Bakry tak mau kalah dan tertinggal dalam hal mengemukakan pendapatnya mengenai siapa calon presiden yang pantas memimpin Indonesia selama 5 tahun kedepan. Dalam buku kumpulan puisi yang berjudul “Sastra Sastri Dalam Puisi” yang berisi 70 judul puisi, Sastri Bakry mencoba menyuarakan kegelisahan hatinya tentang Indonesia terutama tentang kepala pemerintahannya.
Puisi-puisi Sastri Bakry dengan lugas dan terkesan tanpa tedeng aling-aling lagi menyentil segala macam kejadian yang ada di sekitar kita. Membaca kumpulan puisi yang tergabung dalam buku ini, seolah kita melihat realitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini juga seakan menyidir pemerintah agar mampu bergerak cepat dalam memberantas kesenjangan social, penindasan, ketidakadilan, keserakahan, nepotisme, korupsi yang telah mendarah daging serta kebobrokkan lainnya.
Satu contoh yang membuat sastri terus berada dalam kegelisahannya mengenai nasib para pekerja Indonesia di luar negeri yang notabene adalah penyumbang devisa Negara terbesar, tetapi terkesan sangat disepelekan. Banyak kasus-kasus yang dialami para TKI yang kurang perhatian oleh pemerintah. Hal ini dituangkan sastri dalam puisi berjudul “ Surat Untuk Tuan Presiden” (Halaman, 72)
Tuan Presiden
Ini surat-surat cinta dari mereka yang kita yang kita tinggalkan
Mereka yang kita banggakan
Lalu kita butakan
Mereka adalah pahlawan devisa
Pahlawan yang ikut meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Kita elu-elukan dalam setiap pidato-pidato
Seluruh pejabat di negeri ini
Tuan Presiden
Cinta sejati mereka berikan pada bangsanya
Tidak dihargai oleh cinta bangsanya
Mereka dibiarkan terjungkal dalam ketidakadilan
Dalam perlakuan yang penuh zalim
Tuan Presiden
Bisakah anda bayangkan
Mereka dipaksa minum air kencing
Mereka dipaksa memakan babi
Mereka tidak lebih
Berharga dari anjing yang menjilat tuannya
Dalam buku kumpulan puisi ini, Sastri Bakry seakan menuntut siapa saja yang akan menjadi calon presiden Indonesia nantinya agar mampu menjadi pengayom masyarakat kecil, mampu menjaga stabilitas ekonomi, perdagangan, keuangan, dan jangan pernah ada lagi yang memalukan Indonesia dimata dunia dengan tetap konsisten menjaga keutuhan NKRI. Jangan lagi ada gejolak yang timbul dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Puisi yang berjudul “Suara Papua” (Halaman, 112), seakan mewakili perasaan Sastri Bakry yang teriris melihat bangsanya yang kian miris
Ibu,
Kami tak menyuarakan kemerdekaan
Karena pemerintah telah mengalokasikan dana otonomi khusu yang besar
Ibu,
Tidak ada itu perjuangan untuk kemerdekaan
Karena kemerdekaan kami menyatu dalam NKRI
Pesta demokrasi kedua dalam memilih Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden kian dekat, Bangsa Indoensia kembali akan menggelar Pemilu untuk memilih pemimpin masa depan. Dalam kacamata Sastri Bakry Pemilu adalah ajang pemilihan yang menuntun siapa pun yang bertarung di dalamnya haruslah legowo dengan berlapang dada menerima hasil pemilu yang berisi ratusan juta suara rakyat Indonesia. Jangan pernah ada sengketa lagi, jangan ada lagi gontok-gontokkan, jangan ada lagi kecurangan-kecurangan dan politik uang. Pemilu kian malu menampakkan wajah demokrasi yang agung bila hal terjelek dalam pesta ini terjadi.
PEMILU YANG PEMALU (Halaman, 58)
Hoiiiiiiiii KPU
Di pundakmu semua harapan tergatung demi hari depan yang luas
bekerjalah dengan hati yang melekat
Daftarkan semua dalam urutan yang benar bagi mereka yang memilih
Jangan tinggalkan nama mereka demi kepentingan sesaat
Hentikan dulu jalan-jalanmu keluar negeri demi menyatunya semua usaha yang memuncak
Hoiiiiiiiiii para politikus
Jangan bicara tanpa data dan fakta
Bersuara dengan nada minor namun harmoninya tak indah di telinga rakyatmu
Seolah memperjuangkan kebenaran menggugat DPT namun menghilangkan jejak awal kekisruhan
Hoiiiiiiii masyarakat pemilih
Jangan berteriak-teriak saja tanpa nama tanpa ada usaha memperjuangkan kebenaran yang benar
Tunjukkan partisipasi aktifmu sebagai pemilik bangsa ini
Yang diamanatkan para pewaris
Masyarakat harus paham pesta ini adalah pesta kita
Pesta kita akan usai dengan bahagia jika kita semua berdansa bersama
Jangan duduk terpaku di situ
Ketika pesta usai kau berteriak “kenapa tidak diajak berdansa?”
Hoi pemerintah
Jujurlah pada diri, bukalah !
Bukan buka-bukanya seluruh tubuh agar semua melihat koreng-koreng di tubuhmu
Biarkan mereka melihat semuajerawat di wajahmu
Yang tak akan membuat jelek dirimu
Semua kita pasti menari dalam kebersamaan tanpa rasa saling curiga
Hoi bekerjalah
Hoiiioiiiooo………… Aku
Hentikan bicaramu yang terjebak orang lain
Suara sumbangmu tak terdengar lagi
Karena kita semua sudah selesai
Asyik dengan diri kita
Langit sudah cerah, pemimpin terpilih pun sudah jelas
Kita berjuang untuk apa????
Akujadi malu
Kamu…??????
Mestinya “apalagi”
Buku kumpulan puisi ini layak dibaca bagi siapa saja yang hendak mengetahui bagaimana cara pandang penulisnya yang mampu merealisasikan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam sebuah tulisan ringan, lugas dan cepat dicerna tanpa harus dahi berkerut ketika kita membacanya.
***
Data Buku
Judul : Sastra Sastri Dalam Puisi
Penulis: Sastri Bakry
Penerbit: FAM Publishing
Cetakan : Pertama, Juli 2013
Tebal: 147 Halaman
ISBN: 978-602-7956-24-7
Yandigsa
Kotabumi, 05 Juni 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI