Poligami adalah topik yang sering muncul  dalam debat di dalam hukum Islam (fiqh). Keempat madhab Sunni yang utama (Hanafi, Maliki, Shafi'i, dan Hanbali) umumnya memperbolehkan poligami, tetapi dengan berbagai syarat. 4 madhab melihat poligami pada  ayat Al-Quran dalam Surah An-Nisa (4:3), yang mengizinkan seorang pria untuk menikahi hingga empat wanita, dengan syarat ia dapat memperlakukan mereka dengan adil. Syarat utama yang diterima oleh semua madhab adalah keadilan dan kesetaraan di antara istri-istri yang mencakup perlakuan yang adil dalam hal dukungan finansial, waktu, dan perhatian emosional.
Madhab Hanafi  menekankan keadilan dan kemampuan suami menyediakan kebutuhan bagi beberapa istri, Madhab Hanafi  tidak mengharuskan persetujuan istri pertama untuk pernikahan selanjutnya.
Madhab Maliki menekankan keadilan dan kemampuan finansial, dan menyoroti pentingnya niat suami dan kesejahteraan istri serta anak-anaknya.
Madhab Shafi'I mensyaratkan keadilan dan kemampuan finansial, Â menekankan tanggung jawab moral dan etika suami.
Madhab Hanbali  menekankan syarat keadilan dan kesetaraan dengan ketat, Madhab Hanbali  memperbolehkan poligami tanpa persetujuan istri pertama,  tetapi menekankan akuntabilitas suami untuk memastikan tidak ada istri yang dirugikan.
Di banyak negara mayoritas Muslim modern, poligami diatur oleh hukum negara yang memberlakukan syarat atau pembatasan tambahan, misalnya, beberapa negara mengharuskan persetujuan istri pertama atau persetujuan pengadilan sebelum seorang pria dapat menikahi lagi. Praktik poligami sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-ekonomi, dalam beberapa konteks, Â dipandang sebagai solusi untuk masalah sosial tertentu, seperti merawat anak yatim.
Banyak yang berpendapat bahwa jika dipraktikkan dengan adil, itu bisa menjadi sarana kesejahteraan sosial.Poligami umumnya diperbolehkan di  empat madhab Sunni yang utama, dengan syarat ketat tentang keadilan dan kesetaraan, kerangka hukum modern di berbagai negara Muslim mengatur praktiknya untuk melindungi hak-hak wanita dan anak-anak.
Para ulama Salafi melihat  poligami berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis, Al-Qur'an, pada Surah An-Nisa (4:3) dikutip untuk berdiskusi lebih lajut tentang poligami, dengan syarat  suami dapat menjaga keadilan di antara istrinya. Praktik ini mulai didiskusikan lebih lanjut bila ada kondisi tertentu pada rumah tangga yaitu, ketidakmampuan istri pertama untuk melahirkan, permintaan dari istri pertama, atau ketertarikan suami pada wanita lain. Pernikahan poligami sama seperti dengan pernikahan monogami  juga bisa terjadi  ketidakharmonisan dan konflik dalam keluarga, namun bila melakukan kepemimpinan yang tegas dari suami  keluarga poligami bisa mencapai keharmonisan. Selama suami dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial dari semua istri dan anak, keluarga ini bisa berjalan dengan baik. Kegagalan untuk melakukan praktik ketegasan dan keadilan dapat membuat praktik tersebut menjadi tidak sah menurut jurisprudensi Islam.
Para cendekiawan seperti Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur menawarkan interpretasi yang bervariasi tentang poligami. Rahman menekankan keadilan dalam aspek emosional dan fisik, sementara Syahrur fokus pada kemampuan suami untuk merawat anak yatim. Stabilitas ekonomi sangat penting karena dapat mengurangi banyak tekanan yang terkait dengan pernikahan poligami. Pria dengan kekuatan ekonomi yang lebih tinggi dan pekerjaan yang stabil cenderung lebih berhasil dalam mengelola hubungan poligami. Dukungan sosial memainkan peran signifikan dalam mengurangi gejala depresi dan meningkatkan kesehatan yang dinilai sendiri di antara wanita dalam pernikahan poligami.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan posisi sosial ekonomi yang lebih baik dapat mempengaruhi dinamika pernikahan poligami secara positif. Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung melaporkan hasil kesehatan mental yang lebih baik.