Pendidikan. Mereka menyebut kebijakan pemberlakuan Kurikulum Merdeka ini sebagai pemaksaan, belum dilengkapi naskah akademik yang menjelaskan filosofi pendidikan dan kerangka konseptual yang jelas. Kritik-kritik ini mencerminkan tantangan nyata yang dihadapi dalam proses implementasi kurikulum ini dan memberikan landasan penting untuk evaluasi yang mendalam. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya baik kritik tajam dan tantangan terhadap pemberlakuan Kurikulum Merdeka (Kurmer) mendapatkan perhatian serius Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) baru, Prof. Dr. H. Abdul Mu'ti, Tokoh sekaligus Sekretaris Umum PP Muhammadiyah.Dengan beragam kritik yang muncul, Prof. Mu'ti mengusulkan Kurikulum Pembelajaran Mendalam (Deep Learning). Kurikulum Deep Learning direncanakan untuk mengganti kurikulum Merdeka. Menurut Mu'ti, deep learning bertujuan memberikan pengalaman belajar lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa. Kurikulum Deep learning memiliki tiga elemen utama, yaitu Mindfull Learning, Meaningfull Learning, dan Joyfull Learning. Pada intinya deep learning atau pembelajaran mendalam adalah pendekatan belajar dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas siswa.Namun dalam perjalanannya, dalam upaya pelaksanaan gagasan kurikulum baru tersebut, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) membuat rancangan naskah akademik dengan mencantum dasar filosofis pendidikan KH. Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara tanpa melibatkan filosofi pendidikan KH. Hasyim Asy'ari, mengapa?
Mengapa Harus KH. Hasyim Asy'ari?
K.H. Hasyim Asy'ari memiliki nama lengkap K.H. Hasyim Asy'ari bin Wahid bin Abd Al-Halim. KH Hasyim Asy'ari dilahirkan di Jombang Jawa Timur pada Hari Selasa Kliwon, pada tanggal 14 Februari tahun 1871 dan wafat pada tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H. KH. Hasyim Asy'ari menempuh pendidikan pesantren dimulai pada umur 15 tahun dengan berkelana mencari pengetahuan agama Islam ke beberapa pesantren. Di antaranya Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis Semarang, Pesantren Kademangan Bangkalan Madura, dan Pesantren Siwalan, Surabaya hingga ke Hijaz.
Setelah menempuh pengembaraan mencari ilmu, KH. Hasyim Asy'ari mulai konsen berjuang melalui jalur Pendidikan khususnya pondok pesantren, dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. KH. Hasyim Asy'ari melihat pendidikan dapat dijadikan sarana untuk memperbaiki moral masyarakat dan membangkitkan semangat juang melawan penjajah menuju Indonesia Merdeka. Konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy'ari tertuang dalam kitab Adab al-Alimwa al-Muta'allim yang meliputi: etika guru terhadap diri sendiri, etika guru dalam pembelajaran, etika guru terhadap peserta didik, dan etika terhadap kitab sebagai sumber belajar.
Konsep pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh KH. Hasyim Asy'ari sangatlah penting dalam upaya mengawal karakter suatu bangsa. KH. Hasyim Asy'ari mengatakan juga bahwa tujuan pendidikan dalam Islam tidak sebatas paham atas ilmu pengetahuan saja, namun juga bertujuan untuk mendidik kepekaan moral masyarakat sehingga mereka dapat memahami ajaran Islam dengan jelas dan konsisten menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, akhlak yang mulia akan menjadi pilar utama dalam tumbuh dan berkembangnya peradaban suatu bangsa. Karakter suatu bangsa untuk bertahan hidup ditentukan oleh sejauh mana rakyat dari bangsa tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak dan moral. Semakin baik akhlak dan moral suatu bangsa, semakin baik pula bangsa tersebut.
Relevansi Pendidikan yang digagas KH. Hasyim Asy'ari sangatlah tepat diterapkan saat ini, disaat munculnya degradasi nilai yang semakin terkikis oleh perkembangan jaman. Disaat munculnya kasus demi kasus, mulai guru dilaporkan kepada pihak berwajib, dikriminalisasi, bahkan sampai ada yang menjadi pesakitan dan mendekam di balik jeruji. Â Kasus guru diketepel oleh wali murid di Bengkulu, karena tak terima anaknya dimarahi saat ketahuan merokok di lingkungan sekolah, selain wali murid, siswa pun berulah terhadap guru, seperti kasus seorang guru Madrasah Aliyah di Demak, dibacok muridnya gegara perkara nilai. Kasus menghebohkan adalah kasus Ibu Supriyani, Guru Honorer dari Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang dikriminalisasi oleh aparat yang juga orang tua siswa, karena dituduh menganiaya anaknya, selain kasus pelecehan seksual dan masih banyak kasus lain yang menandakan kondisi pendidikan kita sangatlah darurat, problematik dan perlu diagnosis lebih jauh, jangan hanya memikir soal kurikulum yang hanya berbasis peningkatan kecerdasan siswa secara kognitif, namun perlu juga kecerdasan emosional serta pembentukan karakter lewat, akhlak, moral maupun etika yang perlu ditanamkan.
Dengan dasar pijakan menekankan pentingnya pendidikan karakter, moral, dan etika, serta pengembangan potensi siswa secara holistik tersebut, maka Pendidikan yang digagas oleh KH. Hasyim Asy'ari adalah sebuah keharusan, perhatiannya terhadap moralitas masyarakat sangat tinggi bahkan ia berpendapat bahwa menyiarkan agama berarti memperbaiki moral masyarakat yang belum baik. Dengan moralitas yang tinggi masyarakat dapat hidup tentram dan damai, dengan serta merta turut membuat fondasi peradaban yang baik ketika generasi yang baik itu telah dibentuk.
Dengan demikian, sumbangsih KH. Hasyim Asy'ari turut mewarnai salah satu gagasan corak sistem Pendidikan di Indonesia, disamping Ki Hajar Dewantara dan KH. Ahmad Dahlan. Oleh karenanya, ketiga tokoh Pendidikan ini mewakili corak sistem pendidikan di Indonesia. Corak nasionalis direpresentasikan oleh Ki Hadjar Dewantara, yakni Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, corak agamis modernis direpresentasikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, yakni pendiri perguruan modern Muhammadiyah sekaligus pendiri Muhammadiyah, dan corak agamis tradisionalis direpresentasikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari, yakni peneguh pendidikan tradisional pesantren, sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sebuah organisasi terbesar di Indonesia bahkan dunia.
Perlunya kolaborasi untuk Pendidikan lebih baik
Dalam mengubah kurikulum perlu adanya Upaya menghimpun kekuatan serta dapat mengakomodir semua elemen bangsa agar program yang digagas mendapatkan warna serta masukan demi masukan untuk perbaikan kurikulum yang dikira memiliki kelemahan dalam implementasinya, yang paling penting adalah kontinuitas atau keajegan program untuk menghindari bongkar pasang kurikulum setiap pergantian kekuasaan demi menuruti selera penguasa. Keharusan pelibatan elemen bangsa, misal organisasi profesi guru bukan hanya mutlak milik PGRI, namun masih banyak organisasi profesi guru lain misal Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), Ikatan Guru Indonesia (IGI) serta organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang memiliki lembaga pendidikan semisal Nahdlatul Ulama (NU) dengan Ma'arif NU, Perguruan Muhammadiyah, persatuan Islam (Persis) dan organisasi lain yang memiliki lembaga pendidikan di bawah naungannya.
Upaya mematangkan rancangan naskah akademik perlu pembahasan mendalam apalagi implementasi kurikulum perlu keputusan yang matang dengan mempertimbangkan kesiapan elemen pendidikan, baik guru, siswa serta masyarakat, termasuk orang tua, karena merekalah yang merasakan secara langsung implementasi kurikulum tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H