Mohon tunggu...
yana arsyadipramono
yana arsyadipramono Mohon Tunggu... Lainnya - konsultan, pengamat kehidupan

mendirikan PT Yana Arsyadi Consulting, tahun 2006, setelah beberapa tahun sebelumnya bekerjasama dengan PT Bina Edukasi Nusantara, mendirikan Center for Professional Excellence. Klien2 termasuk Conocophillips, Asian Agri, Cargill, Elnusa, Pertamina JOB-Hess, Pertamina ONWJ, Bank BCA, UOB, Bank Permata, Premier Oil, Amerada Hess, Energi Mega Persada dll. Tahun 2013, men-freeze perusahaan, lebih bergiat dalam kegiatan2 penunaian Kewajiban2/Tanggungjawab sosial, baik buat perusahaan maupun personal.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hotel Heritage dan Ruhnya

1 April 2019   01:18 Diperbarui: 1 April 2019   01:35 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Suatu ketika, saya mendapat kesempatan menginjak Majestic Hotel di Melaka, termasuk hotel termahal di kota ini. Saya tidak bisa ditarik pulang oleh yang mengantar saya, sibuk memotret dari sudut ke sudut. Ia kebetulan kenal dengan General Manager hotel ini, sehingga saya bisa puas berkeliling.

Hotel direvitalisasi dengan memperhatikan cermat sejarah era bangunan. Perancang hotel memilih elemen interior  yang mengirimkan pesan  pas buat jiwa gedungnya, menciptakan ulang ambiance Malaya era sebelum perang.

Kapital cukup memungkinkan pemilihan arsitek kompeten dalam bidang heritage, disainer interior yang berkaliber tinggi, berpengetahuan tajam, wawasan luas, dana untuk riset sehingga terwujud dalam elemen interior yang pas.

Mengamati hotel-hotel heritage hampir dua puluh tahun, saya menduga keras bahwa halangan utama bukan pada modal. Tidak semua hotel berhasil mengembalikan kejayaan gedung heritage yang dihuninya, walau dana revitalisasi berlimpah. Bahkan kadang justru ambisi untuk mengesankan kemewahan, menjadi sandungan untuk menghembuskan jiwa asli bangunan.

Heritage Hotel di Jakarta misalnya. Saya mendapat kesan hotel ini terjebak pada "nafsu" ingin terlihat megah. Saya tak melihat bahwa pemilik, operator hotel, arsitek yang terlibat, dll, berkeinginan untuk bercerita tentang bangunan ini.

Mereka tidak terkesan peduli untuk bisa menyimpan jejak dalam perjalanan gedung, kecuali sebagai tempelan.. Bagaimana sejarahnya? Bagaimana visi pendiri bangunan ini sebelumnya? Di era apa bangunan ini berdiri?

Hotel Dharmawangsa, jauh lebih berhasil dalam menyiratkan keanggunan bangunan heritage, padahal bangunan baru. Hermitage juga tak jauh lebih klasik daripada Hotel Gran Mahakam yang jelas-jelas bukan hotel heritage, dan bahkan tidak berupaya untuk berbau jadul. Lha ini, Hermitage berada dalam bangunan dengan sejarah panjang, penting, milik bangsa Indonesia pula!!!
 
 @@@
 
Saya tidak mau berpanjang-panjang bicara tentang Hermitage, walaupun kening saya bisa keriput seperti kertas basah setelah dikeringkan jika berbicara tentang "kasus" ini. Banyak sekali pertanyaan tercantol di dalam kening, bagaimana proses kerjasamanya, bagaimana pemilihan operator hotel, berapa besar pembagian profit untuk pemilik asal, pemerintah? Tapi seperti saya katakan, tak ingin berkutat di topik ini.

Bangunan milik pemerintah, sejatinya milik rakyat. Mudah-mudahan dalam waktu dekat akan ada mekanisme membereskan semua cegukan-cegukan dalam proses. Warga sudah cukup cerdas untuk mencegah kemungkinan terjadinya kejadian-kejadian bodoh. Contoh yang masih melekat di kepala saya adalah diberikannya kekuasaan tak terkontrol pada saat merevitalisasi Hotel Indonesia kepada Kempinsky.

Sejarah yang bertebaran di koridor hotel, di semua tingkat, tercatat dalam banyak buku penting ( termasuk dalam buku kontraversial: "The Year of Living Dangerously" oleh si wartawan Aussie, Christopher Koch). Dalam upaya "revitalisasi", jejak sejarah ini terhapus dalam keklimisan pintu kaca, langit-langit model atrium, bingkai pintu, jendela.  Teman saya Kunthi Dewitri, antropolog yang ahli hukum, memiliki argumen tajam yang didukung penelitian tentang hal ini.
 
 @@@
 
Waaah, belum juga saya masuk topik lagi. Ok, ok, saya tinggalkan bagian uneg-uneg, masuk lagi ke topik utama, interior yang diupayakan untuk menghidupkan kembali bangunan tua.

Beberapa Hotel Heritage, terekam dalam ingatan, tak bisa hilang. Tjampuhan Hotel di Ubud, misalnya. Saat saya berada di beranda, misalnya, setting yang ada masih bisa memungkinkan hadirnya imaji Walter Spies dan kompatriotnya minum kopi, sambil berdiskusi mengenai aliran yang mereka sedang perkenalkan lewat kelompok Pita Maha.

Hotel-hotel jenis ini, tak ubahnya wanita. Bisa menjadi tua, tetapi apa yang dilakukannya dalam perjalanan menua itu, yang menentukan takdirnya, terlupakan, atau menjadi klasik. Dalam hal Hotel Salak, Bogor, operasi plastik yang dilakukannya tidak terlalu sukses. Tidak fatal sehingga mematikan, tetapi juga tidak berhasil membuatnya hinggap menetap dalam daftar "Hall of Fame".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun