Kemarin saya ngeblog dan menyempatkan buka X. Ternyata di sana penuh caci-maki terhadap warga Jateng atas kemenangan perhitungan cepat Ahmad Lutfhi dan Taj Yasin. Kata mereka rakyat Jateng bodoh, miskin, dan mau aja makan bansos.
Ternyata Warga Indonesia Raya (WIR) yang menyalahkan itu mostly bukan orang Jateng. Sebagai orang Jateng yang sudah 10 tahun tinggal di Jateng saya juga kecewa dengan kemenangan itu.
Akan tetapi, orang Jateng yang waras gak akan marah-marah karena semua warga Jateng sejatinya adalah korban.
Pemilihan gubernur Jateng kali ini di luar nurul melebihi film India bahkan yang paling absurd sekalipun.
Kupon Berhadiah
Seperti biasa tiap pagi saya belanja di Mbak Sayur yang datang ke rumah. Saya iseng tanya, "Kemarin nyoblos siapa, Mbak?" dan beginilah cerita Mbak Sayur.
Hatinya sebetulnya lebih sreg memilih pasangan calon (paslon) nomor urut 01, tapi karena diberi kupon dia jadi belok memilih paslon 02. Kupon apa itu?
Beberapa hari menjelang pencoblosan dia diberi kupon dan diberi pesan, "Nanti kalau 02 menang kuponnya bisa ditukar sembako dan uang." Mbak Sayur bilang itulah yang bikin dia belok jadi mencoblos paslon 02.
Sementara itu anak dan suaminya tetap mencoblos paslon 01 karena katanya kuponnya buat satu orang, bukan sekeluarga.
Beberapa saat kemudian, masih bersama Mbak Sayur, datanglah tetangga saya yang bernama Mbah Yu yang juga ingin beli sayur. Ndilalah, Mbah Yu cerita kalau dia diberi kupon. Ternyata kupon yang sama seperti punya Mbak Sayur. Tidak seperti Mbak Sayur yang awalnya sudah punya pilihan calon gubernur, Mbah Yu belum.
Maka itu dengan mudahnya Mbah Yu sekeluarga mencoblos gambar paslon 02 di kertas suara. Katanya, "Untung ada kupon, kalo nggak saya bingung nyoblos siapa."
Sepertinya target paslon 02 memang warga seperti Mbak Sayur dan Mbah Yu yang tidak pernah terinformasi soal politik, korupsi dan nepotisme, apalagi media sosial. Mbak Sayur dan Mbah Yu sama-sama tidak punya ponsel dan jarang bepergian. Sudut pandang mereka terbatas karena kurangnya wawasan, pengetahuan, dan informasi sehingga masuk kategori tidak berpendidikan.
Litbang Kompas pada survei Pilgub Jateng yang dilakukan 15-20 Oktober 2024 menemukan bahwa pemilih muda, kelas menengah atas, dan yang berpendidikan tinggi cenderung memilih paslon 01. Mereka yang berkebalikan dengan kategori itu cenderung memilih paslon 02.Â
Pihak yang paling mengerti mana warga yang tidak berpendidikan dan yang well-educated tentu saja kantor desa, sebab data semua penduduk ada di sana.
Baliho dan Keterkenalan
Tanpa kupon berhadiah pasangan calon 02 amat mungkin bisa menang. Sebabnya baliho dan spanduk calon gubernur nomor 02 sudah ada di seantero Jateng sejak Lebaran yang jatuh pada April 2024. Itu berarti rakyat Jateng sudah rutin melihat wajahnya sejak tujuh bulan lalu.
Baliho, reklame, billboard, spanduk, atau apa pun namanya merupakan alat iklan paling tradisional sekaligus paling efektif. Penduduk Jateng tiap hari bepergian ke kantor, pasar, sekolah, atau plesir ke tempat wisata di seputar Jateng. Baliho dan spanduk dapat menarik perhatian dan mempengaruhi opini.
Namun, kalau cuma mengandalkan baliho dan spanduk, kemenangan itu belum pasti dalam genggaman. Paket sembako murah sudah disebar, kaus juga sudah, endorsement dari presiden dan mantan presiden sudah tayang, tapi, kok, elektabilitas malah turun.
Maka perlu cara lain untuk menghindari tuduhan money politic. Sebab pada pemilihan kepala daerah Bawaslu Jateng nampak berani bergerak dibanding saat pemilihan presiden. Kompascom memuat berita Bawaslu Kota Semarang menggerebek pertemuan Kades se-Jateng yang diduga mendukung paslon 02.
Karena itulah perlu kupon berhadiah yang dibagikan untuk warga uneducated seperti Mbak Sayur dan Mbah Yu. Orang-orang seperti mereka, saking lugunya, ternyata tidak terpengaruh dengan baliho sebab tidak berhubungan langsung dengan hidup mereka.
Fakir Miskin Dipelihara Negara
UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 berbunyi fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara.
Tidak sedikit tetangga saya yang hidupnya seperti Mbak Sayur dan Mbah Yu. Kadang mereka pinjam uang untuk makan. Mereka miskin bukan karena pemalas tidak mau kerja. Mereka sudah sepuh. Anak-anak mereka juga ternyata sulit cari pekerjaan. Jadilah turun-temurun dari bapak ke anak kerjanya serabutan.
Kebetulan ada program bedah rumah tahunan dari kantor desa untuk tiap dusun. Orang-orang seperti Mbah Yu sudah beberapa kali mengajukan ikut bedah rumah karena rumah mereka bertambalan di sana-sini saking jeleknya.
Nyatanya yang terpilih bedah rumah selalu orang kelas menengah, bukan orang miskin. Menurut BPS kelas menengah adalah mereka yang pengeluarannya Rp2,04jt-Rp9,9jt per bulan.
Malahan ada orang yang setelah dapat bedah rumah terus dia beli mobil. Mobil bagi orang Jateng, meskipun bekas, termasuk dalam kebutuhan tersier yang mana hidup kita masih bisa bahagia walau tidak punya.
Dengan demikian, alih-alih membantu hidup orang miskin dengan memberinya rumah layak, orang miskin seolah tetap dibiarkan hidup tidak layak. BPS Jateng mencatat jumlah orang miskin sampai Maret 2024 ada 3,70 juta orang.Â
Kalau mau pakai cocoklogi jumlah orang miskin dengan pemilih calon gubernur, jumlah pemilih calon 01 berdasarkan perhitungan KPU Jateng ada 7.841.476 suara sedangkan calon 02 dapat 11.350.609 suara.
Selisih antara calon 01 dan 02 ada 3.509.133 suara. Selisih ini bisa saja berasal dari orang-orang miskin selain dari kader dan simpatisan tujuh parpol parlemen yang mendukung paslon 02. Kalau mau sarkas, fakir miskin dipelihara negara untuk dipanen suaranya tiap ada pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah.
Jateng Gayeng
Warga Indonesia Raya (WIR) yang menyalahkan orang Jateng mayoritas berdomisili di Jabodetabek. Mereka membandingkan kemenangan Pramono-Rano dengan kekalahan Andika-Hendrar.
Pemprov Jateng mencatat luas wilayahnya 32.800 km persegi. Sementara itu Jakarta luasnya 661 kilometer persegi. Tanpa mikir berat kita tahu tidak mungkin calon gubernur mengelilingi wilayah yang luasnya puluhan km persegi dengan cuma dua bulan masa kampanye. Kalaupun fisik cagubnya kuat seperti rambo, duitnya yang nggak kuat.
Mengawasi pelanggaran dan kecurangan kampanye di wilayah seluas itu juga tidak semudah mengawasi daerah yang luasnya cuma 661 km persegi. Tambahan lagi, dari 38 provinsi, Jakarta menempati peringkat ke-11 sebagai daerah dengan persentase penduduk yang punya handphone-nya besar. Sedangkan Jateng ada di peringkat 13.
Itu artinya lebih banyak orang Jateng yang tidak tahu soal kecurangan kampanye pilkada daripada orang Jakarta. Sebab biasanya kecurangan dan pelanggaran pilkada masif diinformasikan di media sosial dan media online, tapi minim sosialisasinya di dunia nyata. Banyak orang Jateng yang menerima bansos dan uang karena tidak tahu hal itu merupakan bentuk pelanggaran dan kecurangan kampanye dalam memilih gubernur, bupati, dan wali kota.
Menyalahkan warga Jateng karena memenangkan Ahmad Luthfi-Taj Yasin sama saja dengan menjadikan korban sebagai pelaku dan membiarkan pelaku yang sesungguhnya bebas.
Rakyat Jateng itu korban. Korban haus kekuasaan, korban politik uang, bahkan korban perasaan karena kami diimpit aparat dan pejabat sampai akal manusia tidak lagi bisa mencernanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H