Litbang Kompas pada survei Pilgub Jateng yang dilakukan 15-20 Oktober 2024 menemukan bahwa pemilih muda, kelas menengah atas, dan yang berpendidikan tinggi cenderung memilih paslon 01. Mereka yang berkebalikan dengan kategori itu cenderung memilih paslon 02.Â
Pihak yang paling mengerti mana warga yang tidak berpendidikan dan yang well-educated tentu saja kantor desa, sebab data semua penduduk ada di sana.
Baliho dan Keterkenalan
Tanpa kupon berhadiah pasangan calon 02 amat mungkin bisa menang. Sebabnya baliho dan spanduk calon gubernur nomor 02 sudah ada di seantero Jateng sejak Lebaran yang jatuh pada April 2024. Itu berarti rakyat Jateng sudah rutin melihat wajahnya sejak tujuh bulan lalu.
Baliho, reklame, billboard, spanduk, atau apa pun namanya merupakan alat iklan paling tradisional sekaligus paling efektif. Penduduk Jateng tiap hari bepergian ke kantor, pasar, sekolah, atau plesir ke tempat wisata di seputar Jateng. Baliho dan spanduk dapat menarik perhatian dan mempengaruhi opini.
Namun, kalau cuma mengandalkan baliho dan spanduk, kemenangan itu belum pasti dalam genggaman. Paket sembako murah sudah disebar, kaus juga sudah, endorsement dari presiden dan mantan presiden sudah tayang, tapi, kok, elektabilitas malah turun.
Maka perlu cara lain untuk menghindari tuduhan money politic. Sebab pada pemilihan kepala daerah Bawaslu Jateng nampak berani bergerak dibanding saat pemilihan presiden. Kompascom memuat berita Bawaslu Kota Semarang menggerebek pertemuan Kades se-Jateng yang diduga mendukung paslon 02.
Karena itulah perlu kupon berhadiah yang dibagikan untuk warga uneducated seperti Mbak Sayur dan Mbah Yu. Orang-orang seperti mereka, saking lugunya, ternyata tidak terpengaruh dengan baliho sebab tidak berhubungan langsung dengan hidup mereka.
Fakir Miskin Dipelihara Negara
UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 berbunyi fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara.
Tidak sedikit tetangga saya yang hidupnya seperti Mbak Sayur dan Mbah Yu. Kadang mereka pinjam uang untuk makan. Mereka miskin bukan karena pemalas tidak mau kerja. Mereka sudah sepuh. Anak-anak mereka juga ternyata sulit cari pekerjaan. Jadilah turun-temurun dari bapak ke anak kerjanya serabutan.
Kebetulan ada program bedah rumah tahunan dari kantor desa untuk tiap dusun. Orang-orang seperti Mbah Yu sudah beberapa kali mengajukan ikut bedah rumah karena rumah mereka bertambalan di sana-sini saking jeleknya.
Nyatanya yang terpilih bedah rumah selalu orang kelas menengah, bukan orang miskin. Menurut BPS kelas menengah adalah mereka yang pengeluarannya Rp2,04jt-Rp9,9jt per bulan.