Sabtu (11/3) kemarin Gunung Merapi batuk-batuk dan mengeluarkan abu vulkanik. Para penambang pasir yang berada di radius 5 kilometer dari puncak Merapi bergegas pergi meninggalkan lokasi sebelum abu dan awan panas menghunjam mereka lebih banyak lagi.
Sewaktu mengangkat jemuran di longkang saya belum tahu kalau Merapi sedang erupsi. Saya hanya melihat ke langit dan membatin, "Itu awan, kok, bentuknya aneh, ya. Yang putih normal, tapi yang abu-abu kok geraknya cepet banget."
Muntilan termasuk daerah cagar yang tidak boleh ada bangunan melebihi tinggi Candi Borobudur. Makanya saya dengan mudah bisa melihat langit sampai jauh karena tidak ada bangunan tinggi yang menghalangi pandangan.
Setelah suami pulang dari rumah ketua kelompok tani, baru saya tahu kalau Merapi sedang erupsi dan yang saya lihat di langit adalah abu vulkanik yang sedang bergerak ke arah barat tertiup angin.
Syukurlah rumah saya berada di selatan jadi tidak kena guyuran abu vulkanik. Rumah bulik suami yang berada di Kecamatan Secang terguyur abu lumayan tebal.
Orang Magelang dan yang tinggal di dekat Merapi, bisa mengenali gejala alam yang ditimbulkan Merapi dari hawa panas-yang-tidak-biasa. Sejak seminggu lalu, kami memang merasakan cuaca panas-bukan-seperti-panas kemarau, juga bukan karena matahari bersinar terik.
Saya lalu menghubungkan erupsi kemarin dengan siaran cuaca dari Radio Gemilang Magelang yang sejak 2 minggu lalu saya dengar bahwa status gunung Merapi ada di Waspada II.Â
Berarti erupsi kemarin sudah diprediksi dari aktivitas seismik dan vulkaniknya. Kapan waktu persis terjadinya erupsi, hanya Allah dan Merapi yang tahu.
Selain Merapi, Magelang dikelilingi empat gunung, yaitu Sindoro, Sumbing, Merbabu, dan Andong, jadi udara di sini lumayan sejuk dibanding Yogya. Kalau ada hawa panas bukan dari musim kemarau atau matahari yang bersinar terik, warga bisa merasakan kalau itu dari aktivitas gunung Merapi, berdasarkan pengalaman-pengalaman erupsi sebelumnya.
Aktivitas vulkanik Merapi sering terjadi karena gunung itu merupakan gunung api teraktif di Indonesia. Gunung setinggi 2.930 mdpl (pasca erupsi tahun 2010) membentang di Jawa Tengah dan DIY melewati Kabupaten Sleman di Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Klaten, dan Boyolali di Jawa Tengah.
Erupsi Merapi 2010 dan Abu yang Merontokkan Pohon Rambutan
Erupsi Gunung Merapi pada 2010 termasuk yang berdampak besar. Magelang diguyur hujan abu lebat sampai pohon rambutan di depan rumah orang tua suami rontok dan tumbang.
Sehari setelah hujan abu, suami saya-waktu itu belum menikah dengan saya, izin dari kantor dan pulang ke Muntilan. Suami mengungsikan orang tuanya ke saudara di Purworejo selama dia membersihkan rumah dari abu.
Jalanan Magelang masih dipenuhi abu Merapi sampai bertahun-tahun kemudian.Â
Sampai hari ini abu dari letusan Merapi tahun 2010 masih ada di pekarangan dan sering dimainkan anak-anak kami tiap musim kemarau. Pekarangan kami memang masih tanah, sengaja dibuat begitu untuk resapan air, sementara jalan dusun sudah dicor untuk memudahkan pemilik mobil memasukkan dan mengeluarkan mobil mereka.
Batu Hasil Muntahan Merapi Berkualitas Wahid
Batu-batuan yang dimuntahkan oleh letusan Merapi oleh warga Muntilan dijadikan cobek dan patung. Warga Muntilan yang memahat batu ini adalah keturunan para pemahat yang membuat relief di Candi Borobudur. Jadi memahat sudah ada dalam darah mereka.
Karena itu pulalah mereka tetap menjual cobek, patung, dan kerajinan pahat batu lainnya dari generasi ke generasi walau jarang dibeli orang. Paling ramai orang membeli cobek kalau Lebaran dan libur Natal saja. Patung amat jarang ada yang beli karena umat Islam haram menaruh patung di rumah mereka.
Jadinya patung-patung dibeli oleh gereja, rumah ibadah selain masjid, dan para penyuka patung dan seni pahat.
Saya juga baru tahu kalau cobek buatan Muntilan kualitasnya paling bagus dari teman-teman saya di Jabodetabek. Ketika mereka tahu saya sekarang tinggal di Muntilan mereka lalu pesan cobek dan munthu (ulekan) sekalian.Â
Saya bilang, Kenapa beli cobek jauh-jauh dari tempat gw, di pasar sana, kan, banyak." Mereka bilang cobek dari Muntilan kualitasnya bagus, enak buat ngulek dan tahan lama. Dan akhirnya saya menerima pesanan cobek dan munthu 11 pasang untuk teman-teman saya.
Ongkos kirimnya hampir menyamai harga cobek dan munthunya, hahaa! Saya tidak punya usaha cobek dan munthu karena saya cuma jastip. Cobek dan munthu itu saya beli di beberapa toko, tidak di satu tempat. Tujuannya pemerataan saja, sih.
Pasir dari Tambang Merapi Kualitas Sejati
Soal pasir saya malah baru tahu saat mudik Lebaran 2022 lalu. Berhubung jalan tol dibuka cuma untuk pemudik yang kearah Jawa, kami yang ke arah Jakarta harus menempuh perjalanan lewat kota-kota di Pantura.
Di Brebes saya tidak sengaja lihat depo bertuliskan Jual Pasir Muntilan Asli. Saya tanya ke suami, kok ada  yang jual pasir Muntilan, sejak kapan Muntilan jadi sentra pasir?
Di Magelang memang ada beberapa depo pasir, tapi di Muntilan tidak ada. Depo terdekat ada di Kecamatan Salam yang bersebelahan dengan Muntilan. Suami bilang kalau pasir dari semburan Gunung Merapi dikenal orang sebagai pasir Muntilan. Kualitasnya memang bagus (untuk bangun rumah).Â
Lalu saya baru ingat, bapak teman sekolah anak-anak saya ada beberapa yang bekerja jadi penambang pasir atau jadi operator di depo pasir. Mungkin banyak pekerja dari Muntilan secara tidak langsung membuat pasir Merapi dikenal sebagai pasir Muntilan.
Warga dan Merapi Jadi Bestie
Mengingat gunung Merapi memberi manfaat bagi warga yang tinggal di sekitar lerengnya, sulit bagi mereka untuk pindah ke tempat yang tidak terjangkau dampak letusan. Mereka sudah turun-temurun tinggal di sana. Apalagi abu Merapi membuat tanah di sana subur yang bisa menumbuhkan pangan juga pakan ternak.Â
Warga sendiri sudah paham kapan harus mengungsi dan kapan masih bisa beraktivitas normal. Menurut mereka, yang pernah saya tanyai langsung,Â
Kami siap mengungsi kalau monyet-monyet sudah keluar hutan, apalagi kalau harimau sudah turun.
Soal harimau ini antara percaya tidak percaya karena harimau Jawa sudah lama punah sejak 1980-an. Namun peneliti UGM mendapat kiriman foto harimau Jawa pada 2018 dari komunitas pemburu babi hutan. Foto itu kemudian dipublikasikan pada 2020.
Jadi masuk akal kalau warga lereng Merapi mengatakan, "Kalau monyet sudah turun dan harimau sudah kelihatan, baru kami mengungsi ke bawah."
Jadi saat erupsi Sabtu kemarin walau sudah ada awan panas dan semburan abu, masih banyak warga bertahan di rumah mereka.Â
Yang disebut warga lereng adalah mereka  yang tinggal di radius 3-5 kilometer dari puncak Merapi. Kalau seperti saya yang berjarak 22 kilometer sudah bukan lereng namanya, walau kadang kena abunya kalau Merapi batuk-batuk.
Abu tipis pernah mengguyur Muntilan pada 2018, membuat anak-anak TK-SD dipulangkan lebih cepat.Â
Itu pertama kalinya saya melihat langsung abu turun dari langit. Berhubung masih norak dengan abu vulkanik, saya memvideokan hujan abu itu dan mengirimnya ke saudara-saudara di Jabodetabek. Sayangnya mereka ternyata tidak antusias, hahaha!
Orang Jawa percaya kalau gunung itu hidup. Bukan hidup seperti jin atau demit, apalagi manusia, melainkan hidup karena didalamnya ada kehidupan alam. Flora, fauna, manusia, hidup harmonis dan bergantung pada ekosistem Merapi.Â
Maka wajar kalau saya bilang gunung Merapi dan warga dilerengnya adalah bestie sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H