Jodi mengamati ada yang tidak beres diantara ratusan orang yang diamatinya sedang bermain air dan berendam di pantai. Dia mencari dari balik teropongnya untuk memastikan ada orang tenggelam atau tidak. Ada!
Matanya mencari Tisa untuk minta bantuan, tapi Tisa terlalu jauh untuk dipanggil. Kerumunan orang dan deburan ombak juga membuat Jodi urung minta bantuan karena sekeras apapun teriakannya, Tisa pasti tidak dengar.
Jodi melongok ke dalam. Olav tidak kelihatan. Dia mungkin sedang di loker mengecek obat-obatan. Rizky sedang patroli ke arah barat yang sama jauhnya dengan Tika.
"Olav, aku turun!" Jodi berteriak ke dalam pos jaga.
Dia menuruni tangga landai, lari ke pantai untuk mencemplungkan diri, dan berenang ke arah orang yang tenggelam, enam puluh meter dari bibir pantai.
Makin dekat Jodi menuju orang itu makin kelihatan bahwa yang sedang gelagapan di air ternyata perempuan.
Jodi ingin cepat menarik tangan perempuan itu supaya tidak lagi timbul-tenggelam dan kemasukan banyak air, tapi diurungkan karena kuatir perempuan itu tidak ingin disentuh olehnya yang bukan mahram.
Olav pernah dilaporkan ke polisi oleh suami yang merasa istrinya dilecehkan saat terseret ombak karena digendong Olav ke pantai.
Peduli amat! Jodi melempar papan pelampung ke arah si perempuan, tapi belum sempat meraih, perempuan itu tenggelam lagi ke air. Kali ini tidak muncul lagi ke permukaan.
Jodi mencari ke sekeliling, berharap si perempuan muncul entah dari sebelah mana.
Lima detik berlalu, Jodipun menyelam. Ketemu! Ditariknya tangan si perempuan yang, untungnya baru tenggelam di kedalaman lima meter, jilbabnya sudah lepas.
Diletakkannya tangan si perempuan ke atas papan pelampung dan Jodi berenang menarik papan itu ke pantai.
Kerumunan orang menyemut di pantai ingin melihat keadaaan orang yang tenggelam. Seorang pria muda dan dua lanjut usia menunjuk-nunjuk dan berteriak memanggil si perempuan yang rupanya bernama Anisya.
Tisa mencebur diri ke air membantu Jodi supaya cepat sampai ke darat.
Olav, yang sudah siap dengan oksigen portabel dan kotak P3K, segera menghalau kerumunan orang agar mundur dan memberi ruang agar Anisya bisa ditolong tanpa terganggu.
Sepuluh menit kemudian setelah Olav memberinya oksigen, Â Anisya sudah bisa berdiri dan berjalan dipapah suaminya.
Kerumunan bubar dan orang-orang meneruskan kembali keasyikan mereka di pantai yang berpasir halus warna hitam.
"Orang-orang yang tidak pakai baju renang sangat melelahkan ditolong," ucap Jodi pada Tisa ketika mereka berjalan kembali ke Pos Jaga 4.
"Mereka meronta-ronta?" tebak Tisa.
Jodi menggeleng, "Baju mereka berat, aku harus menarik mereka pakai tenaga ekstra."
Tisa tertawa dan menepuk-nepuk pundak Jodi.
"Apa?"
"Berarti kau kurang olahraga."
"Dan menolong perempuan selalu sulit, apalagi kalau mereka bersuami," cetus Jodi.
Tisa mengerti yang dimaksud Jodi. "Kalau darurat, kan, tidak apa-apa. Olav saja akhirnya aman dari tuntutan."
Olav, yang berjalan di depan mereka, tiba-tiba mempercepat langkahnya ke pos setelah menjawab handy-talkie yang diikat di bagian bahu baju renangnya.
Dia memanggil Rizky yang baru kembali dari patroli dan memintanya melakukan sesuatu.
Semenit kemudian Rizky keluar dan menaiki ATV sambil membawa dua tabung oksigen portabel.
"Mau dibawa kemana oksigen itu?' kata Tisa pada Jodi yang hanya dijawab Jodi dengan mengangkat bahu.
Di Pos Jaga 5, tiga ratus meter dari pos tempat Jodi menyelamatkan Anisya, Bram sedang menekan dada seorang remaja.
Dua remaja rupanya kebablasan saat bercanda. Mereka bercipratan air lalu saling menenggelamkan kepala sampai yang satu pingsan dan yang satunya hampir kehabisan napas menelan air laut.
Seorang ibu menangis sambil berteriak Allahu Akbar meratapi si remaja yang pingsan. Lima remaja laki-laki bergantian mengusap air mata yang jatuh ke pipi mereka sambil sesekali memanggil pelan si remaja pingsan yang bernama Arif.
Marni datang dan langsung memasang bag valve mask. Dipompanya kantung itu sepuluh kali lalu dilanjutkan oleh Bram menekan dada si remaja.
Si remaja membuka matanya lalu batuk-batuk. Bram memiringkan badannya ke kiri agar air laut bisa keluar.
"Alhamdulilah, Arif!" seruan-seruan yang memanggil penuh syukur berkelebatan.
Bram minta Arif menjawab: ini tahun berapa, sedang dimana, dan siapa namamu, untuk memastikan Arif tidak mengalami cedera kepala.
Bram dan Marni lalu mengangkat Arif masuk ke pos untuk diperiksa tekanan darah dan kadar oksigennya.
Marni menyiapkan oksigen yang diterimanya dari Rizky dan memakaikan selangnya ke hidung Arif.
Sepuluh menit kemudian setelah Arif dapat baju ganti dari temannya dan sudah kuat berjalan, dia dan rombongannya pulang meninggalkan pantai.
"Anak itu sedang henti napas waktu kau datang," ujar Bram pada Marni.
"Apa kau sempat membantu napas mulut ke mulut?" tanya Marni agak kuatir.
"Hampir, untung kau cepat datang," jawab Bram.
Marni lega. Bantuan pernapasan mulut ke mulut sudah sangat dihindari karena berisiko tinggi menularkan penyakit.
"Bram, Bram. Olav. Semua beres?" suara Olav terdengar di radio panggil yang terikat di bahu baju selamnya.
Bram memencet tombol kecil di radionya, "Beres. Sebentar lagi kuisi tabungmu ke pusat dan kukembalikan ke Pos 4," jawab Bram sambil meneguk air mineral di gelas yang diisinya dari galon.
"Oke, Bram. Satu jam lagi Pos 4 ganti shift, tapi aku akan menunggumu andai kau belum datang."
"Trims, Olav."
Menit demi menit berlalu. Hari makin sore dan matahari hampir terbenam. Pantai berangsur-angsur sepi. Tidak banyak yang tinggal karena sunset tertutup awan tebal dan hanya memburatkan sinar oranye tipis.
Tisa, Jodi, dan Rizky sudah meninggalkan Pos Jaga 4 karena shift mereka sudah selesai.
Olav sudah menerima dua tabung oksigen yang dikembalikan Bram. Seruput demi seruput wedang jahe yang masih mengepul dinikmatinya sambil menunggu dua orang tim jaga malam yang akan datang dua puluh menit lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H