Saya dan banyak orang yang sewaktu SD menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI sepakat bahwa film itu menimbulkan ketakutan dan kecemasan.Â
Adegan penculikan para jenderal, dialog-dialog yang tegang, suara teriakan dan tembakan, dan musik yang mencekam bahkan masih menimbulkan kecemasan sampai kami dewasa.
Jika merunut pada PP No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film (LSF), ada empat klasifikasi usia penonton untuk film, yaitu:
- Semua umur (SU).
- 13+ (di atas 13 tahun).
- 17+ (dewasa di atas 17 tahun). Di kategori ini, adegan yang berkaitan dengan seksualitas hingga kekerasan boleh disajikan secara proporsional dan edukatif.
- 21+ (dewasa di atas 21 tahun). Pada kategori ini adegan visual dan dialog tentang seks, kekerasan, aserta sadisme dapat ditampilkan.
Maka film G30S/PKI tidak seharusnya diwajibkan untuk ditonton anak SD dan SMP (bahkan SMA) mengingat film itu banyak adegan kekerasan, kesedihan, dan kepedihan yang bertolak belakang dengan dunia anak-anak yang harusnya bahagia dan ceria.
Sementara itu, menurut Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) dalam Pasal 33 PKPI 02 Tahun 2012, siaran TV di Indonesia terbagi dalam lima klasifikasi usia penonton, yaitu:
- SUÂ (semua kalangan diatas usia 2 tahun)
- PÂ (anak usia prasekolah usia 2-6 tahun)
- AÂ (anak usia 7-12 tahun)
- RÂ (remaja usia 13-17 tahun)
- D (remaja 18 tahun ke atas dan orang dewasa)
Maka, tayangan G30S/PKI di TVRI pada 1984 dan 13 tahun setelahnya, juga harusnya tidak ditonton anak-anak karena terbukti menimbulkan vicarious trauma bahkan sampai mereka dewasa.
Mengingat rezim orde baru yang merusak mental anak-anak seperti itu, saya termasuk yang menolak anggapan bahwa zaman orde baru lebih baik dari sekarang.
Vicarious trauma adalah pengalaman gejala trauma yang dapat terjadi karena berulang kali terpapar trauma orang lain dan cerita tentang peristiwa traumatis. Gejalanya mirip dengan gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Umumnya, orang yang berisiko terpapar vicarious trauma adalah orang yang bekerja dan menjadi sukarelawan di bidang penegakan hukum, psikolog, psikiater, tenaga medis, tenaga kesehatan, pemadam kebakaran, dan profesi terkait lainnya, karena paparan terus menerus terhadap korban trauma dan kekerasan.
Namun, studi yang dilakukan Dr. Pam Ramsden dari University of Bradford Inggris, menemukan bahwa menonton peristiwa traumatis dari televisi dapat pula menimbulkan vicarious trauma, terutama pada anak-anak. Pun demikian dengan memainkan video game dan menonton media sosial yang berisi kekerasan.
Di beberapa daerah, pelajar SD-SMP-SMA di sepanjang 1984-1997 yang menontonnya siang hari di bioskop bersama guru-guru mereka, mungkin tidak memicu trauma, tapi bagi anak-anak menontonnya di TVRI dengan durasi 3 jam pada malam hari setiap tahun, ketakutan dan ketidaknyamanan itu terbawa sampai dewasa dalam bentuk trauma.