Ketika dewasa saya baca juga karangan Radhar Panca Dahana karena terpengaruh ayah. Sementara koleksi buku-buku ibu karangan Maria A. Sardjono, Sandra Brown, dan Agatha Christie dilungsurkan ke saya.
Saya dan ketiga sahabat (Lia, Desi, dan Tatun) secara rutin kumpul seminggu sekali sepulang sekolah di rumah Lia di Jalan Wijaya untuk membaca buku. Kalau sedang bosan membaca, kami nonton film bareng sambil makan mie ayam.Â
Sejak kelas 1 (sekarang kelas 7) kami berempat sudah beda kelas dan ikut ekstrakurikuler yang berbeda, jadi yang menyatukan kami adalah buku.
Ndilalah, setelah kami rutin membeli, semua buku di Gramedia disampul rapat. Tidak lagi boleh dibaca gratis. Awalnya sulit menentukan mana buku yang harus kami beli karena tidak bisa membaca cuplikannya di halaman dalam. Informasi hanya tersedia di belakang buku.
Sebagai jalan aman supaya tidak salah beli (karena kami bukan anak-anak sultan yang boleh keluar uang seenaknya) kami mencari di rak "Best Seller" atau "Buku Baru".
Kadang tanpa diminta ada pegawai Gramedia yang menunjukkan buku-buku bagus terbaru yang bisa kami pilih, lengkap dengan sinopsisnya (saking seringnya kami ke sana si pegawai sampai hapal).
Apakah kami lantas jadi kutu buku? Tidak, yang kutu buku hanya Lia, mungkin karena kebetulan kedua orang tuanya adalah guru di SMUN 6, salah satu SMA unggulan di Jaksel. Dulu SMA sempat ganti nama jadi SMU.
Kesukaan kami membaca buku mungkin mendasari pola pikir kami di masa dewasa untuk memanfaatkan waktu seefektif mungkin. Selulus SMP kami sekolah di SMU dan kampus berbeda, namun kami punya kesamaan.
Pada waktu anak kuliahan lain sibuk rapat BEM atau nongkrong kesana-kemari, kami sudah bisa menghasilkan uang sendiri meski tidak banyak.Â
Kami membuat makalah untuk mahasiswa yang malas, menjadi asisten dosen, melatih taekwondo, menjadi wartawan lepas, jadi band kafe, bekerja paruh waktu di production house, jadi guru les, sampai jadi baby sitter menjaga anak ekspatriat.