Saya punya kesan jelek terhadap guru di masa kecil. Sejak SD-SMP saya belajar di sekolah negeri di Jakarta Selatan.Â
Mayoritas gurunya galak, suka menjewer, dan kalau menjelaskan lebih banyak membentak daripada sabar. Guru yang saya sukai hanya guru seni musik dan elektro. Mungkin dengan murid hampir 40 orang per kelas kalau bicaranya tidak keras tidak kedengaran juga, ya. Â
Jadi saya dulu menganggap guru itu adalah orang yang suka bentak-bentak saja kalau bicara.
Baru pada SMA saya masuk sekolah swasta. Masa-masa SMA adalah masa paling menyenangkan karena semua gurunya super sabar, cara menjelaskannya enak, dan kalau ada siswa yang bertanya akan dijelaskan sampai siswa itu mengerti.
Entah kenapa zaman dulu guru di sekolah negeri lebih galak dan seram daripada guru sekolah swasta. Banyak teman yang bersekolah di SD dan SMP Negeri di seantero DKI menceritakan hal serupa ketika kami bertemu di bangku kuliah.
Buruk sangka saya pada guru negeri masih berlanjut saat pindah ke Magelang. Suami bersikeras anak kami harus masuk SD Negeri karena sekolah itu, katanya, yang terbaik se-kabupaten.
Sedangkan saya ingin anak masuk ke SD Islam Terpadu. Alasan suami selain karena sekolah terbaik, suami juga ingin anak terbiasa berinteraksi dengan orang yang beragama selain Islam. Memang di kelas anak saya ada 3 siswa Katolik dari total 30 anak. Gurunya pun tidak semuanya Islam.
Ternyata di sekolah anak saya semua gurunya baik hati sekali. Mereka friendly, sopan, dan enak diajak diskusi tentang kegiatan belajar-mengajar.
Sudah dapat sekolah bagus dengan guru yang seperti malaikat, masih juga saya tidak bersyukur.
Kecerewetan saya kambuh ketika pada 16 Maret 2020 kabupaten Magelang secara resmi menutup sekolah dan memulai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Sekolah anak saya masih memberikan banyak tugas padahal sudah ada kurikulum darurat yang membolehkan sekolah menyederhanakan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran.Â
Pun orang tua dikejar-kejar harus membantu anak menyelesaikan materi seusai kurikulum 2013.
Â