Beberapa hari lalu Kemenparekraf bekerja sama dengan Jakarta Good Guide mengadakan wisata virtual selama dua jam menjelang buka puasa ke kedai-kedai kopi yang ada di Jakarta yang memiliki latar cerita menarik untuk di eksplorasi.Â
Toko Kopi Luwak Gondangdia, Toko Kopi Sedap Jaya Jatinegara, Toko Kopi Warung Tinggi, dan Warung Kopi Takkie, Phoenam, Kwang Koan, Kong Djie dan Bakoel Koffie (ehem, yang ini kebetulan tempat favorit saya dan suami, heheh! #Pamer) adalah tempat-tempat yang dikunjungi oleh para wisatawan secara online.
Jika Kemenparekraf dan Jakarta Good Guide mengadakan "kunjungan" ke kedai kopi, maka Wisata Kreatif Jakarta mengadakan plesiran virtual ke tempat-tempat unik di Jakarta, Tangerang, Jogya, Batam, sampai ke Paris, Amsterdam, Hainan, dan Mekah.Â
Biaya yang harus dibayar para peminat antara Rp25rb-Rp35rb untuk wisata dalam negeri dan Rp50rb untuk wisata mancanegara, semua dipandu tour guide berlisensi.
Yang terbaru adalah wisata gunung api purba di desa wisata Nglanggeran di Gunungkidul, DIY. Desa wisata itu tutup selama pandemi dan ide membuat wisata virtual di Desa Nglanggeran, menurut tayangan TVRI, karena kegiatan bertani dan beternak warga masih punya nilai jual terutama untuk orang yang belum pernah merasakan tinggal di desa dan tamasya ke gunung api purba.
Untuk "datang" berwisata dan "bercengkrama" dengan penduduk desa, satu orang dikenakan biaya Rp25rb, dua orang Rp50rb, dan 5 orang Rp100rb. Wisatawan akan diajak "jalan-jalan" dan berinteraksi dengan pemandu dan warga desa secara online.
Kemdikbud juga membuat wisata virtual. Tetapi virtual versi Kemdikbud hanya membuka tautan yang disediakan di situs Kemdikbud lalu ada bacaan mengenai tempat wisata edukasi di Indonesia dan juga tautan ke Google Arts & Culture.
Apa asyiknya wisata online? Tidak bisa melihat langsung, tidak bisa merasakan hawa sejuk, aura mistis ataupun bau-bauan khas di desa wisata dan museum yang kita kunjungi. Apa bedanya dengan melihat di YouTube, kalau begitu?
Di YouTube kita hanya melihat apa yang sudah dilihat orang. Kita juga tidak bisa bertanya untuk menjawab rasa penasaran karena tidak ada pemandu. Jika menonton dari YouTuber seringkali mereka lebih banyak menceritakan dirinya sendiri daripada tempat yang dia dikunjungi.
Pada wisata online kita "jalan-jalan" secara live karena ada interaksi dengan pemandu sehingga sensasinya beda dengan YouTube yang hanya menonton video dengan durasi dan informasi yang sangat terbatas. Spot wisata dan pemandangan yang kita lihat di wisata virtual juga tentu beda dengan di Youtube.
Lagipula dengan mengikuti tur virtual berbayar secara tidak langsung kita membantu tempat-tempat wisata itu tetap "bernapas" dan menafkahi para pegawainya.