Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nyadran, Bukan Makan di Kuburan

11 April 2019   19:02 Diperbarui: 11 April 2019   19:13 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebentar lagi bulan Ramadan. Masyarakat khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah biasa melakukan tradisi menjelang puasa yang namanya nyadran.

Nyadran dilakukan setiap bulan Ruwah pada kalender Jawa atau Syaban pada kalender Islam. Meski nyadran bukan asli ajaran Islam tapi banyak umat Islam yang melakukannya sebagai reminisensi (kenangan) terhadap upacara Hindu. Hindu dahulu adalah agama mayoritas di tanah Jawa.

Pada masa lalu, untuk menghilangkan pengaruh Hindu pada umat Islam, Sunan Kalijaga mengganti ritual Hindu dengan pembacaan ayat suci Al-Quran, tahlil, zikir, dan doa bersama.  

Sejatinya, nyadran bukan kenduri atau makan-makan di kuburan.  

Orang-orang Jawa pada bulan Syaban biasanya membersihkan kuburan orangtua dan saudara-saudara mereka untuk mengingat bahwa kelak mereka juga akan mati dikubur dalam tanah.  

Kemudian bersih-bersih kuburan kurang lengkap tanpa mendoakan arwah orang yang kuburnya mereka bersihkan. Setelah energi terkuras untuk bersih-bersih maka mereka menyantap bekal atau hidangan yang mereka bawa sendiri.

Bersih-bersih kuburan akan terasa berat kalau dilakukan sendirian, apalagi zaman dulu kuburan identik dengan kesan seram dengan pepohonan besar dimana-mana. Jika dilakukan beramai-ramai akan menghilangkan kesan seram sekaligus menjaga kebersamaan antar warga kampung.  

Jadi nyadran bukan makan bersama di kuburan. Filosofi dibalik nyadranlah yang utama. Makan-makan hanya kegiatan wajar karena lapar setelah  beraktivitas. Jika tempat makannya di kuburan, itu karena sebelumnya ada aktivitas membersihkan dan berdoa di kuburan itu juga.

Ini sama dengan kalau ada kerja bakti membersihkan selokan di komplek perumahan, makan-makannya juga di pinggir jalan dekat selokan itu, kan, bukan di restoran.

Ziarah kubur untuk mendoakan arwah keluarga, menjalin kebersamaan dan silaturahim warga, dan pengingatan akan kematian itulah filosofi nyadran.  

Nyadran tidak bertentangan dengan ajaran Islam, juga bukan bid'ah, kalau bid'ah tentu Sunan Kalijaga tidak akan mengasimilasikan kebudayaan itu dengan Islam. Sunan Kalijaga mengganti ritual Hindu dengan doa-doa Islam supaya ajaran Islam bisa diterima masyarakat tanpa melanggar ajaran Islam itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun