Sama-sama berinisial WB, Warren Buffett dan Warung Bopet (Mini) punya kemiripan. Di tengah2 arus deras perubahan (era “next two hours” menurut pakar chaos, DJ Patil) bisnis yang bertahan lebih dari tiga dasawarsa tergolong langgeng. Usaha kedua WB menunjukkanhal demikian. Berkshire Hathaway yang dikelola Warren Buffett, multimilyader Amerika, berumur 44 tahun. Warung Bopet (Mini) yang terjepit diapit kios di tengah pasar Bendungan Hilir, hampir sama tua, 31 tahun. Jika Warren Buffett menggema di dunia (mBah Google mengeluarkan 7.660.000 situs yang memuat kata kunci namanya, hanya dalam 0,19 detik), Warung Bopet (Mini) cuma tenar di kandang sendiri. Ya iyalah Yana – begitu kudengar teman2 protes – masak Warren Buffett dibandingkan dengan kios sederhana di tengah pasar Bendungan Hilir? Mana tempatnya nyempil pula, terjepit di antara kios alat pembuat kue, barang kelontong plastik dan pecah belah. Eitt, jangan salah, warung ini cukup ngetop lho. Dalam 0,29 detik google mengeluarkan 24.000 hasil yang memuat nama legitimatenya, Bopet Mini. Sampai di paragraph ini memang kupelesetkan judulnya menjadi Warung Bopet karena bunyinya mirip sekali dengan nama orang ketiga terkaya Amerika yang dermawan itu. Pendiri Warung Bopet (Mini) yang juga dermawan, Ibu Et (nama lengkapnya Revmaningsih) mengatakan bahwa kata Bopet berarti warung. Mungkin sekali berasal dari kata ‘buffet’ yang berarti prasmanan. Jajaan di warung Ibu Et dijajar di etalase maupun dalam wadah berbagai tipe dan bentuk, plastik, alumunium, stainless steel maupun baskom jaman dulu, seperti sistem buffet. Tahun 1981 itu, saat dibuka, yang dijual hanya makanan untuk sarapan : ketupat sayur, serabi padang, macam2 talam dan serikaya ketan serta juaranya: bubur kampiun. Seperti namanya, bubur kampiun memang pantas dijagokan. Tak kutemui di propinsi lain, bubur unik ini memadukan berjenis bubur dalam harmoni dalam satu mangkuk: bubur candil, kacang hijau, kolak pisang, sumsum, pacar cina. Serabi padang tak seperti yang kita kenal di Jawa; yang ini gemuk sintal dengan kuah santan gula kelapa yang rasio campurannya pas surapas. Favoritku adalah ketan serikaya. Penyajiannya : seonggok ketan pulen mengkilat, ditangkringi oleh beberapa gunduk serikaya sexy yang disendok langsung dari baskom tempat dimasaknya. Srikaya serupa puding yang dibuat dari santan, telur dan gula malaka. Menurut ulasan pakar kuliner di situs resmi dan setengah resmi yang kujumpai di internet, masakan Bopet Mini terjaga keotentikannya, asli minang! Tak heran jika tempat ini selalu laris manis. Memasuki tahun 90-an, Ibu Et merasa tergerak untuk membuka warung nasi, di kios di depan Bopet, berukuran lebih besar. Banyak yang tak setuju – keluarga meragukan kemampuan menjalankannya. Namun seperti yang dikatakan Rina, anak bungsu Ibu Et, pebisnis wanita ini intuisinya tajam. Segera warung nasi malah lebih melejit dari warung jajaan sarapan. Saat aku datang ke sana, jam 11 siang, warung nasi sudah penuh separuh kapasitas, dan antrian di warung sarapan tak berhenti. Walaupun Bopet Mini saat ini memiliki cabang di gedung Arthaloka, jalan Sudirman, tetap saja outlet di pasar Benhil ini adalah primadonanya. Tampilan Bopet Mini yang bersahaja dan unik, di tengah pasar ini mungkin sekali malah menjadi kekuatannya. Rina menunjukkan air muka heran ketika kutanya bagaimana trend perkembangan Bopet Mini. “Seperti bisnis lainnya, semakin lama semakin berkembang dong bu”, jawabnya (mungkin Rina sambil berpikir, pertanyaan aneh model apa ini?). Dibesarkan oleh orangtua yang ulet, kurasa tak terpikir oleh Rina bahwa yang namanya usaha bisa juga nyungsep. Yang disaksikan Rina selama ini adalah ibunya yang kebetulan berkualitas OK, sehingga mendorong kurva trend terus menukik ke atas. Selain intuisi bisnis yang tajam, menurut Rina, kualitas ibunya yang menonjol adalah disiplin. Ketika ditanyakan langsung ke Ibu Et (mereka kuajak bicara dalam waktu berbeda), beliau mengiyakan. Terdengar klise memang, tapi sungguh menarik mendengar bagaimana si Ibu menjabarkan disiplin. “Disiplin itu, kalau mengantuk tidur, kalau lapar makan, kalau waktunya kerja, serius” Tadinya aku tersenyum mendengar betapa sederhananya definisi Ibu Et. Setelah kurenungi, dalam juga ternyata. Kurasa yang dimaksudkannya adalah kemampuan pengelolaan diri, memimpin diri sendiri. Dalam dua jam aku ngobrol dengan si Ibu, bertaburan contoh mengenai hal ini. “Selepas sholat subuh, lewat sedikit dari pukul 5, saya berangkat kerja. Jadi anak-anak bisa melihat bahwa sayapun disiplin, bukan hanya menuntut”. (Yang disebutnya “anak-anak” adalah karyawan maupun putera-puterinya sendiri). Bahkan di tahun ke 31 inipun ia masih sering turun ke pasar. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena “senang saya ikut memilih-milih bahan masakan itu. Ada saja ide muncul” begitu jelasnya. Bagian terakhir dari definisi disiplin versi Ibu Et “....kalau waktunya kerja, serius” diterapkannya dengan tegas terhadap anak-anaknya. Tiga dari empat anaknya bekerja di Bopet Mini, diberi gaji seperti karyawan dengan jam kerja yang tetap. Saat bekerja, mereka bukan lagi keluarga pemilik, tetapi bagian dari angkatan kerja Bopet Mini. @@@@ Insight bisnis yang ia miliki sekarang diperolehnya dengan harga mahal. Di tahun sembilan puluhan pertengahan, ia hampir kehilangan Bopet Mini. “Saat itu, besar pasak dari tiang” ia menguak cerita lama. Warung yang ramai membuatnya menderita euforia. Sebuah rumah di Taman Mini, mobil kijang, dicicilnya dengan antisipasi bahwa penerimaan sehari-hari dari warung akan cukup buat menutupi cicilan per bulan. Perkiraannya meleset, rumah terpaksa dijual, mobil ditarik karena tak kuat bayar. Untung ia biasa hidup susah. Disiplin ketat membuatnya bangkit dari kesulitan ini. Dan akhirnya disiplin menjadi panduan utama dalam menjalankan usaha Bopet Mini. The rest is history. Ibu Et sekarang berusia 60 tahun, wajahnya masih licin, air muka berseri. Mungkin dari air wudhu sholat dhuhanya yang tidak putus. Cintanya terhadap pekerjaannya juga tak putus-putus. Ia bercerita dengan antusias tentang rencananya untuk bulan puasa nanti, menu apa saja yang akan ditampilkannya. Setiap ramadhan, kios tengah yang saat ini terisi meja kursi belaka, disulapnya menjadi dapur. “Kami mulai masak jam tujuh pagi dan kompor baru mati jam empat sore.” Berbagai stasiun teve datang meliput “atraksi’ masak-memasak di tengah pasar ini. Di sela-sela pembicaran denganku, sempat-sempatnya ia -bagai jenderal di tengah perang- mengeluarkan instruksi kepada karyawannya yang hilir mudik melewati kami : ‘Satu kilo cabainya ya, bawang merah setengah saja”... atau “panci ini digosok dulu ya, mau dipakai buat rebus santan” dst..... (Ternyata kesibukan “perang” ini berkaitan dengan pesanan untuk pesta perkawinan di malam harinya). Sekilas perilaku ini terlihat seperti micro managing, bertentangan dengan teori kepemimpinan modern. Namun kurasa ia dengan kesederhanaannya sedang membangun suksesi dengan cara mencontohkan gaya pengelolaan model Ibu Et. Memang kemampuan manajerial terlihat merupakan kekuatannya. Para pegawai dipondokkannya di asrama miliknya tak jauh dari pasar. “Seperti kos-kosan saya buat. Setiap beberapa kamar satu kamar mandi. Untuk orang kepercayaan saya kamar dibuat lebih besar, bisa menampung satu keluarga dengan kamar mandi di dalam”. Yang disebutnya sebagai orang kepercayaan ada dua, Mbak Timi, tukang masaknya berbelas-belas tahun, serta satu lagi (namanya saya lupa), penyelia warung yang suaminya dibukakan Ibu Et warung kelapa di pasar Bendungan Hilir juga. Ini satu lagi gaya manajemen Ibu Et dalam hal mengelola SDMnya, satu keluarga dia urusi. Memang cara tradisional, namun esensinya mungkin bisa ditiru. Kunci penting lain dari kelanggengan bisnis Ibu Et adalah passionnya, semangatnya, kecintaannya akan bisnisnya. Matanya berbinar-binar menceritakan berbagai aspek warung ini, aspirasinya, rencana-rencana masa depannya. Namun kurasa di atas segala-galanya, kemampuan memberi teladan (role-modeling) adalah landasan terpenting yang menyebabkan bisnis ini bisa bertahan lama. Semua nilai yang beliau usung, kesederhanaan, ketekunan, ulet, disiplin, pantang menyerah, tertib kelola dsb., ditunjukkan dan diamalkannya dalam kesehariannya. Ibu Et bukan manusia sempurna. Pengelolaan bisnisnya juga bukan yang paling tanpa cacat, suatu ketika perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun aku yakin banyak yang bisa dipelajari dari Bopet yang bertahan tanpa sistem franchising, belum menggunakan cash register yang mencatat uang masuk secara sistem, bertahan di tengah pasar, tidak bersolek dalam ruang ber-AC dan tetap berkibar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H