Artikel tersebut berfokus pada hubungan antara kesehatan mental dan kekerasan pada orang dewasa, dengan penekanan khusus pada dampak konflik bersenjata terhadap kesejahteraan psikologis. Trauma akibat konflik bersenjata dapat mengganggu keyakinan dasar individu dan mempengaruhi sistem kepercayaan inti mereka.
Konsep PTG mengacu pada perubahan positif yang dialami individu sebagai hasil dari perjuangan dengan peristiwa traumatis. PTG telah diamati pada individu yang mengalami berbagai peristiwa traumatis, termasuk bencana alam, konflik militer, dan kekerasan.
PTG bisa meliputi perubahan dalam persepsi diri, perubahan dalam hubungan dengan orang lain, dan perubahan dalam keyakinan agama atau spiritual. Agama dan spiritualitas sering dianggap sebagai sumber daya penting dalam menghadapi trauma dan dapat mendukung pertumbuhan pascatrauma.
Fayaz mengeksplorasi bagaimana agama dapat memberikan kerangka kerja untuk pencarian makna, dukungan sosial, mekanisme koping, dan ketahanan dalam menghadapi trauma. Ia melakukan tinjauan sistematis menggunakan pedoman PRISMA, dengan fokus pada literatur yang membahas trauma akibat konflik bersenjata dan PTG.
Ditemukan bahwa penelitian tentang peran agama/spiritualitas dalam PTG pada korban konflik bersenjata masih jarang dibandingkan dengan trauma lainnya.
Beberapa penelitian mengidentifikasi hubungan positif antara komitmen agama dan strategi koping agama dengan PTG. Ditemukan bahwa orang yang mengalami trauma akibat konflik bersenjata dapat mengembangkan keyakinan agama yang lebih kuat.
Agama dapat menjadi strategi koping yang efektif, memberikan kenyamanan, ketahanan, dan pertumbuhan pascatrauma. Temuan ini memberikan wawasan tentang bagaimana keyakinan agama dan praktik keagamaan dapat memainkan peran penting dalam mendukung ketahanan, pencarian makna, dan pertumbuhan pascatrauma.
Fayaz menyarankan pentingnya mengakui dan mendukung dimensi agama dalam perjalanan penyembuhan individu untuk memfasilitasi kesejahteraan psikologis mereka dan pemulihan. Ia menyoroti hubungan signifikan antara PTG dan agama di antara individu yang terpapar konflik bersenjata, menunjukkan bahwa agama dapat memfasilitasi PTG dengan menyediakan kerangka kerja untuk pencarian makna, dukungan sosial, dan mekanisme koping.
Diperlukan studi lebih lanjut untuk membedakan antara agama dan spiritualitas serta untuk mengembangkan alat ukur yang lebih tepat dalam menilai kontribusi keduanya terhadap pengalaman pertumbuhan pasca trauma. Namun minimal ini bisa memberikan wawasan penting tentang peran agama dalam mendukung individu yang menghadapi trauma, khususnya dalam konteks konflik bersenjata.